Cerita Pendek

Hari Reuni buat Hari

Oleh Adolf Ayatullah Indrajaya

UNDANGAN, pakai bahasa Inggris. Hari tak paham arti persisnya apa. Tapi intinya, minggu depan, angkatan SMP-nya reuni. Reuni dua puluh lima tahun sejak tahun kelulusan. Bahasa kerennya Reuni Perak.

Tiap-tiap ada undangan model begini, Hari resah hati. Terselip minder yang kuat nian.

“Tanggalnya sih pas. Kosong tak ada jadwal. Tapi kosong tak kerja itu artinya peluang cari sampingan. Siapa tahu ada tetangga yang minta dibabatkan rumputnya, dicat sedikit pagarnya. Atau kalau yang paling asyik sih bantu-bantu kenduri. Honor mungkin sedikit, tapi pulang bawa gembol makanan,” itu yang terlintas di benak Hari. Dia galau.

Ceting! Ceting! Lampu hijau di pojok ponselnya kedap-kedip. “Wah, mesti rame lagi di grup WA. Makin dekat hari H, makin sering kumpul,” gumam Hari membatin. HP murahnya blank, setelah di-restart dia pencet tombol left. Sebelum keluar dia mengetik pesan. [Aku left sebentar, pamit dulu.]

*

Hari Supriyadi. Alumnus salah satu SMP paling elite di kotanya. SMP boleh elite, garis tangan orang beda-beda. Ada kawannya yang sekarang eselon satu di kementerian. Tak terhitung lagi yang pejabat pemda. Pengusaha? Ini juga banyak. Kawan-kawan sukses, Hari melanjutkan nasib kedua orangtuanya, miskin.

“Har, malem besok kumpul yok. Bahas reuni,” ajak kawan sekelasnya Bambang via telepon whatsapp.

“Di mana Beng? Siapa aja yang bakal dateng?” balas Hari, nadanya kurang antusias. Buat Hari, kumpul sama kawan sekolah itu, pulangnya pasti dia sumpek. Minder dan tentu saja iri.

Bambang kemudian menyebut sekian nama. Paling tidak tiga di antaranya pernah sekelas waktu di kelas tiga. “Ayolah loe dateng. Udah berapa kali meet-up loe nggak nongol,” ujar Bambang, nadanya merayu.

Hari bukan tidak mau datang. Tapi otaknya memeras pikiran karena malu hati kalau datang cuma pakai sandal lecek. Kemeja yang dipakai cuma yang biasa dikenakannya untuk Sholat Jumat dan celana levis knock-off. Itupun dibelinya lebaran tiga tahun silam. Sembilan puluh ribu harganya.

“Pengen sih, tapi aku siang ada kerjaan. Maklum kuli, bos. Ada angkutan gede, biasanya pulang kerja badan capek banget,” balas Hari, nada beralasannya kentara sekali.

Bambang sebetulnya paham kenapa Hari selalu sungkan diajak meet-up apalagi minggu depan itu reuni besar. Alumnus sekolah mereka sudah menyebar seantero Nusantara. Bahkan ada yang di Jepang, Singapore, US dan beberapa negara lain. Hari minder karena tak sukses, hidupnya payah. Belum menikah pula.

“Ayolah sekali-sekali. Pokoknya loe kujemput jam delapan ke rumah. Inget besok malam,” Bambang menetapkan hati, kalau tak dipaksa tak mungkin Hari mau ikut.

*

[Broe Dicky, besok malem kita meet-up, bahas reuni minggu depan]

Demikian kiriman WA Herdian ke sohibnya sejak SMP. Herdian dan Dicky itu akrab sampai kuliah. Selalu satu sekolah dan kampus. Kerjapun hampir sama, daftar CPNSD sama-sama tembus setahun setelah wisuda.

Keduanya sekarang sama-sama eselon tiga. Tapi beda pemda. Kalau tak ada tsunami rejim misal ganti bupati atau walikota, dua-tiga tahun lagi bisa jadi kepala dinas. Kalau beruntung dekat dengan kepala daerah, jadi kadis di tempat seksi.

[Oke broe, jemput gua ya. Pajero gua kayaknya mo dipake bini. Masak gua meet-up naek gojek] balas Dicky.

Tampak notifikasi Herdian sedang mengetik, Dicky menunggu sebentar karibnya membalas. [Deal! Jangan lupa loe bawa jam tangan titipan gua waktu loe ke Singapore minggu lalu]

Dicky nggak menjawab, dia tau kalau sudah centang biru dobel, Herdian sudah paham.

*

Meet-up dilakukan di resto outdoor hotel paling bonafide. Kopi di resto itu harganya delapan puluh ribu rupiah segelas. Makan pisang cokelat, tambah seratus sepuluh ribu lagi. Belum tips tentu saja.

Sekitar sembilan alumnus SMP datang. Perempuannya ada tiga. Satu masih pakai seragam PNS, jilbabnya warna senada. Yang satu pakai kaftan hitam dengan bordir emas khas negara timur-tengah, jilbabnya warna senada. Berikutnya pakai baju kurung muslim modis sekali. Jilbabnya warna senada. Perempuan jaman sekarang, kata kuncinya itu; pakai jilbab warna senada.

Enam yang laki-laki tentu saja tak pakai jilbab. Tapi fashion pria bukan berarti ketinggalan jauh. Taukah harga ikat pinggang kulit dengan kepala logam bermerek? Di butik, barang itu harganya setara dengan motor skutik gres.

Jangan bicara soal jam tangan. Bisa syok! Susah menalar logikanya, selingkar aksesoris itu, banderolnya sampai seratus ribu dollar. US Dollar.

Sementara Hari, sendal kulit, celana jins belel, kemeja hijau pupus karena sering dicuci-setrika.

Duduk di resto lantai tinggi gedung dan melirik lipatan daftar menu, tangannya berkeringat. Dia kerja dua hari berturut-turut delapan jam, bayarannya cuma bisa buat “ngupi” sekali. Pasti kalah kenyang kalau dibanding makan di warteg Mbok Marni dekat proyek bangunan.

*

“Jadi besok, reuni kita pake artis. Mereka kondang di jaman kita sekolah. Sekarang sih sudah berumur, tapi kalau sudah mulai nyanyi, semacam blast from the past. Kita kembali ke jaman sekolah,” papar Sumarni, salah satu panitia inti.

“Iya Suri, aku setuju. Pilihan artisnya brilian!” balas Bambang. Sejak pindah rumah ke kawasan elite, nama Sumarni jarang dipakai kawannya itu. Suri lebih jetset kedengarannya. Mirip nama anak aktor ganteng Tom Cruise.

Yang lain menimpal berganti-gantian. Kopi, jus, kue dan makanan tak setop. Hari menghitungnya pusing. Tagihan bill-nya pasti lebih banyak daripada pendapatan dia sebulan. Dua jam meet-up, kawan-kawan sekolah bubar. Minggu depan mereka semua janji datang.

*

Sampai di rumah Hari tak mau mandi. Sisa suasana resto tadi nyaman sekali. Kalau dia mandi, Hari takut nanti rasanya bakal lenyap. Bau parfum kamar mandi hotel wanginya lebih memanjakan hidung dibanding aroma kamar tidurnya.

Hari lalu mengambil ponsel dan mengetik WA ke Bambang sahabatnya.

[Beng, pas reuni besok aku dateng, tapi nebeng ya berangkatnya]

Bambang menerima WA itu dan langsung tersenyum lebar. [So pasti Har. Begitu dong, dua puluh lima tahun loh. Kapan lagi kita bisa kumpul]

Hari membacanya sambil tersenyum. [Iya Beng, aku tau. Bukan soal hari ini udah sukses apa belum. Udah kaya apa belum. Anak berapa mobil merek apa. Reuni itu kumpul sahabat. Tak bisa dinilai dengan materi] ketik Hari. Tulisannya bijak betul.

Bambang menghela nafas lega. Tadi pulang meet-up dia ditelepon lama oleh Suri. “Bambang, loe kudu memastikan Hari dateng. Acara besok nggak seru kalau nggak lengkap. Kalo sampe dia nggak mau dateng, loe nggak gua kirimin puding sama salad buah lagi,” cerocosan itu di kuping Bambang seolah diikuti berenteng emoticon macam-macam.

Setelah membaca WA dari Hari, dia lalu kirim WA ke Suri. [Aman Bu! Loe kenal gua kan? Negosiator paling lihai sekabupaten dan sekitarnya. ]

Suri mengetik pencarian di kontak, nama Hari ditekan dan dimasukkan lagi ke grup WA reuni.

Cetang-ceting cetang-ceting.

[Welcome back Hari, jangan left lagi yaaa]

[Wooooi kumis! Besok loe pas reuni jangan sampe nggak pake kaos seragam]

[Hari ganteeeeeeng! Kemane aje loe. 25 tahun loh kita nggak ketemu]

Cetang-ceting cetang-ceting, grup WA ini dahsyat banget. Sempat tak dibuka satu jam saja, ratusan bahkan seribu lebih pesan tak terbaca. Banyak sekali yang kirim pesan pake tagar #gueDateng.

Hidup memang tak melulu senang terus. Ratusan anak waktu dia dewasa nasibnya pasti beda-beda. Tapi, kumpul sahabat selalu menyenangkan. Reuni besok pasti rame dan heboh. Kawan semua loh yang kumpul. Insya Allah. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top