Masalah Keluarga
Oleh Yulputra Noprizal
AKU dan Ibu terbangun tengah malam karena ada yang mengetuk pintu. Tak kami sangka, Uda (kakak laki-laki) Suardi yang sudah sepuluh tahun tidak menginjakkan kaki di Ranah Minang yang menetuk pintu. Uda Suardi, kakak sulungku beda Ayah, hampir saja aku lupa padanya kalau ia tak memelukku. Cahaya lampu LED ruang tamu seperti menyuruhku untuk mengingat memori sepuluh tahun yang lalu ketika Uda Suardi pulang ke kampung sewaktu ia masih kuliah di sebuah universitas negeri di Jawa. Waktu itu aku masih SMP dan Uda Suardi sudah semester IV di bangku kuliah.
Ibu menyambut Uda Suardi penuh haru. Begitu pun aku.
Setelah Uda Suardi duduk di kursi ruang tamu dan Ibu membikinkan teh hangat, kami bercengkrama dan mengabarkan keadaan masing-masing. Uda Suardi bertanya banyak tentang kerjaku–aku bekerja sebagai karyawan di toko sembako. Sedangkan Ibu menanyakan kabar keluarga di Jakarta–kakak dan adik-adik Ibu. Uda Suardi menceritakan keadaan mereka masing-masing dengan mendetail.
Walau ada HP dan Whatsapp, kami di kampung tak selalu berhubungan dengan Uda Suardi. Ibu tidak punya HP, nomor HP dan WA Uda Suardi ada di HP-ku. Ibu tak pernah mau menelepon Uda Suardi. Karena menurut Ibu, mungkin Uda Suardi sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya. Ibu pernah mengeluh karena Uda Suardi lama sekali tak menghubungi Ibu. Kubilang waktu itu, karena aku pun hampir putus asa karena Uda Suardi tak menelepon, mungkin Uda Suardi sudah tak kangen kita lagi.
Setelah menghabiskan segelas teh hangat yang dihidangkan Ibu, begitu pun aku, setelah mengobrol banyak tentang keadaannya sekarang dan pekerjaan, Uda Suardi mengatakan–yang menurutku itulah alasan kepulangan Uda Suardi.
“Mengapa Sofyan tak Ibu suruh pulang kampung saja,” kata Uda Suardi.
Uda Sofyan adalah kakakku yang nomor dua. Aku bungsung, Uda Sofyan, dan Uda Suardi. Begitu urutannya. Aku dan Uda Sofyan sama, satu ibu satu ayah.
Terakhir Uda Suardi menelepon dua bulan yang lalu. Ibu bilang waktu itu, Uda Suardi bercerita banyak tentang pendidikan anak-anaknya.
Uda Sofyan adalah seorang berandal kampung. Tidak punya pekerjaan tetap. Punya istri, anaknya dua. Kepada Ibu saban hari ia mengeluhkan tentang susahnya menafkahi keluarganya. Oleh Ibu ia kemudian disuruh merantau ke Bandung–lima tahun yang lalu. Mencari Uda Suardi di sana, untuk meminta modal. Baik juga ia di kota itu buka usaha.
Mula-mula Uda Sofyan buka usaha warkop. Bertahan setahun, lantas bangkrut. Setahun pertama tinggal di Bandung kontrak rumah dan uang bekal adalah pemberian Ibu–uang simpanan Ibu buat jaga-jaga. Lantas, minta modal lagi kepada Uda Suardi, sekaligus minta uang kontrak rumah. Begitu seterusnya: bangkrut, minta modal lagi, dan minta uang kontrak rumah lagi. Lima tahun lamanya begitu sampai Uda Suardi pulang malam itu ke kampung.
“Kalau di kampung ia sering mabuk-mabukan. Dapat uang istrinya tak pandai berhemat. Sudah tahu lakinya jarang dapat kerja, ia hidup berboros-boros. Ibu iba melihatnya, makanya Ibu menyuruh dia ke Bandung. Maksud ibu bukan untuk menumpang hidup. Untuk modal mintalah dulu sama Uda-mu, begitu pesan ibu padanya,” Ibu berbicara terbata-bata.
Wajar Ibu berbicara terbata-bata. Karena kami sudah berprasangka yang bukan-bukan terhadap Uda Suardi karena selama dua bulan dia tidak menelepon Ibu di kampung. Rupanya Uda Sofyan sudah memberatkan–numpang periuk-nasi–Uda Suardi di Bandung.
Riwayat hidup kami memang berbeda. Aku dan Uda Sofyan dibesarkan Ibu dan Ayah. Sedangkan Uda Suardi–karena Ayah yang notabene Ayah tiri Uda Suardi tidaklah mampu secara ekonomi–dibesarkan Mamak (kakak laki-laki Ibu) di Jakarta. Andai Uda Suardi dibesarkan di kampung tentu tak kan jadi orang, begitu Ibu selalu bilang. Karena begitu sulitnya ekonomi keluarga kami. Ayah, untuk menghidupi anak kandungnya, aku dan Uda Sofyan pun sudah payah. Ayah juga seorang laki-laki yang masa bodo dengan anak-anaknya, apalagi anak tirinya. Ayah seorang laki-laki yang hampir mirip dengan Uda Sofyan, tidak punya pekerjaan tetap. Cuma Ayah bukanlah seorang berandal–Ayah sendiri sudah meninggal. Juga, Ibu sebagai istri Ayah tidak sama dengan istri Uda Sofyan yang boros.
“Gajiku belum besar Ibu,” kata Uda Suardi dengan sedikit menangis. “Dari gajiku. Cicilan rumah, cicilan mobil, dan biaya sekolah anak-anak. Sementara istriku hanya honorer. Sofyan tiap bulan minta uang. Minta beras. Minta uang buat lauk-pauk. Sekolah anak-anaknya aku yang tanggung. Sampai-sampai tempat tidur dan tivinya yang bekas minta dibelikan baru. Aku tulung punggung keluargaku. Ditambah tulang punggung keluarga Sofyan, aku sudah tak sanggup Ibu.”
Ibu yang mendengarkan kata-kata Uda Suardi dengan wajah pilu, tiba-tiba menangis. “Ibu tidak menyangka Sofyan begitu. Ibu pikir, dengan ia tinggal di Bandung ia bisa berubah. Kalau di kampung ia juga begitu. Sering benar meminta uang pada Ibu. Uang hasil berjualan lontong Ibu kadang habis untuk keluarga dia saja. Terkadang ia minta uang gaji Randi yang tak seberapa. Padahal Randi sendiri belum mampu berkeluarga,” kata Ibu.
Randi adalah aku. Begitulah Uda Sofyan, kami di kampung sudah tidak tahan dengan perangainya. Ia sering juga mengumpat terhadap kakak dan adik-adik Ibu yang tinggal di Jakarta. Katanya, mengapa mereka tidak mengirimi Ibu uang ke kampung padahal hidup mereka di Jakarta makmur.
Sejak Uda Sofyan masih remaja Ibu memang sering kewalahan dengan perangainya. Sekolah SMP-nya tidak tamat. Ibu bukan melarang Uda Sofyan untuk bergaul dengan keluarga Ayah (adik-adik Ayah) tapi adik-adik Ayah tidak mengajarkan hal yang baik kepada Uda Sofyan. Pernah Ibu mendengar Uda Sofyan berkata,”Kata Apak (adik Ayah) untuk apa aku sekolah. Mamak-mu sudah kaya di Jakarta. Minta modal saja sama Mamak.” Ya, Uda Sofyan memang begitu terobsesi dengan keberhasilan kakak dan adik-adik Ibu di Jakarta.
“Lantas bagaimana keadaan istri dan anak-anakmu sekarang,” kata Ibu sesenggukan.
Padahal Uda Suardi sudah menceritakan istri dan anak-anaknya sebelumnya kepada Ibu.
“Istriku minta cerai Ibu,” kata Uda Suardi, kali ini ia langsung menekur.
Aku memerhatikan wajah Ibu yang langsung canggung. Uda Suardi, setelah menekur, berkata,”Kata istriku, kalau terus-menerus keluarga Suardi aku yang tanggung, biarlah anak-anak ikut dengannya. Katanya aku berasal dari kelaurga yang berantakan.”
Suasana begitu hening. Sekali-kali terdengar kendaraan lewat di jalan. Sekali-kali pula binatang malam bernyanyi.
Ibu memandang wajah Uda Suardi lekat.
“Besok pagi biarlah ibu telepon Sofyan, menyuruhnya pulang. Ke kampung ia sering juga minta uang,” kata Ibu. []
—————-
Yulputra
Noprizal, lahir di Air Haji,
11 November 1985. Penyuka dan penikmat sastra. Tinggal di Air Haji, Kabupaten. Pesisir Selatan, Sumatera Barat.