Perempuan Pertama yang Kubawa ke Rumahku
Cerpen Depri Ajopan
AKU duduk mematung di teras rumahku yang dikelilingi pagar terbuat dari bambu. Tanganku tegak memegang dagu, sedangkan kepalaku mendongak ke langit, terpukau melihat bintang gemintang yang berkelip terang. Pikiranku melayang-layang gentayangan. “Affan, kau jangan terlalu lama menikah, menyesal kau nanti, soal reski akan datang sendiri jika kau berusaha,” pesan pamanku setahunyang lalu, sebelum kematiannya. Di depan mataku tampak jelas mulutnya yang besar menganga, aku diberi nasihat lebih satu jam, sampai aku bosan. Bahkan ceritanya waktu itu sampai ngelantur ke mana-mana, lari dari topik pembicaraan. Suaranya yang keras sampai sekarang masih bersemedi mengisi telingaku. Meskipun aku korek, dia tidak akan bisa menyingkir sebelum aku melaksanakan perintah, betul-betul aku tidak ingin menyelami perintahnya waktu itu. Kata-kata itu pesan terakhir dari almarhum, ia ingin pesannya itu terwujud, jadi nilai moral yang paling berharga dalam hidupku untuk mengikis masa mudaku.
Aku membayangkan pamanku masih hidup, dan ia tentu bahagia melihatku sekarang membawa seorang perempuan yang kuseriusi ke rumahku. Apalagi perempuan itu pandai sekali mengambil hati ibu, mereka sudah cerita panjang lebar, termasuk tentang kuliahnya perempuan itu yang hampir selesai dalam tahun ini. Dialah perempuan pertama yang kubawa ke rumahku. Pamanku yang melihat dari kubur akan tutup mulut, tidak menyuruh-nyuruhku lagi segera menikah walaupun lewat mimpi. Di ujung kata-katanya itu dia sebut, menyesal kau nanti, menikah saja walaupun kehidupanmu belum matang, aku muak mendengarnya.
Ungkapan pamanku bertabrakan sekali dengan pesan Torkis si raja warnet itu, dia kawan baikku. Berkali-kali dia bilang padaku, aku tidak akan menikah sebelum mendapatkan pekerjaan yang layak, dan bisa menjamin kehidupan keluarga dan masa depan anak-anakku nanti. Aku tidak mau melihat anak-anakku pontang panting lari ke sana sini cari pekerjaan untuk biaya sekolah kerena Bapaknya hidup di bawah garis kemiskinan, dan tidak sanggup memberi. Pantangan bagiku melihat anakku bersedih terputus cita-citanya yang ingin kuliah keluar negeri karena kekurangan biaya, aku takut sekali hatinya mati, seperti yang aku rasakan, gagal menyentuh cita-cita karena kemiskinan.
Akhirnya aku mati hati. Lagi pula memikirkan biaya itu bukan kewajiban seorang anak semasa ia masih duduk di bangku pendidikan. Tugasnya belajar dan terus belajar, sampai ia jadi orang pintar. Selesai itu barulah dia dapat pekerjaan. Aku tinggal menikahkan, aku pun lepas tanggung jawab untuk membiayainya. Aku pegang kepalaku yang berat, menarik napas dalam-dalam, mengingat itu semua, kemudian aku mendengus seakan mengeluh. Mana jalan yang aku pilih, ada dua pendapat yang berbeda, pikirku.
Ya Tuhan apa yang seharusnya aku lakukan? Lirihku di dalam hati yang perih. Sementara pikiranku masih kacau diaduk-aduk kebingungan. Sedangkan Gresi masih sibuk membantu ibu memasak di dapur. Ibuku senang dan suka dengan dia, mereka masih cerita panjang lebar. Tapi aku belum sempat sampaikan pada ibu, tentang cinta kami yang terlarang oleh kedua orang tua Gresi . Apalagi tentang kami yang berbeda agama.
***
“IBU, aku mau bicara sebentar, boleh?”
Aku memberanikan diri membuka topik pembicaraan selesai kami makan, dan mencicipi masakan berupa gorengan. Piring-piring belum bergeser dari meja. Posisi bangku kuputar menghadap wajah ibu, aku dan perempuan yang harus kujadikan nomor satu dalam hidup ini saling bertatapan. Sementara Gresi mengambil segelas kopi atas perintahku, meletaknya di atas meja amat hati-hati. Asapnya masih mengepul terbang terbawa angin menerpa wajahnya yang jelita. Setelah melaksanakan tugasnya, Gresi duduk sengaja ikut mendaftarkan diri dalam perbincangan ini.
“Kalau Kalian ingin menikah, ibumu yang tua renta ini setuju,” perempuan yang sudah berumur itu mendahului putranya bicara untuk memberi restu, aku diam membisu, bukan itu maksudku, ibu belum tahu apa yang ingin kukatakan.
Belum tahu ia memberi restu, setelah ia tahu cerita yang sesungguhnya aku dan Gresi beda agama.
“Aku juga ingin cepat dapat cucu,” masih ibu yang bicara, kali ini ia tertawa sendiri.
Mendengar itu Gresi tersenyun manis, aku lihat secercah kegembiraan menyelimuti wajahnya yang masih lemas, setelah naik bus kemarin seharian, ia pemabuk. Mungkin ia tersenyum karena dia teringat perutnya sudah diisi, tinggal menunggu benihku.
“Tapi menurutku lebih baik kalian selesaikan dulu kuliahnya. Kalau kalian menikah sebelum wisuda aku khawatir kuliahnya terbengkalai. Yang terpenting sekarang, kalau ada waktu dan aku diberi kesehatan secepatnya perkenalkan aku dengan keluarga Gresi. Cuma itu maslahnya, aku belum kenal keluarga si cantik ini,” Ibu memeluk Gresi penuh cinta, aku yang menyaksikan terbelalak.
Di satu sisi aku lega mendengar jawaban ibu yang bijaksana. Napasku yang tadi sesak jadi lapang. Dia langsung menyetujui Gresi yang baru ia kenal sekilas dijadikan mantu di rumah ini. Aku tahu alasannya, karena ibuku percaya juga pada diriku yang bukan anak kecil lagi dalam memilih jodoh. Tapi ia belum tahu latar belakang Gresi secara keseluruhan. Pelan-pelan aku harus cerita.
“Tepat, dan tidak salah lagi perempuan pilihanmu Nak,” ibu menggoyang kepalanya.
Mendengar penjelasan ibu wajah Gresi merah padam, mukanya antara sedih dan bahagia. Mungkin ibu yang tenang dibandingkannya dengan kedua orang tuanya yang kejam. Tunggu dulu Gresi jangan merasa dirimu sudah menang, dan sudah resmi diterima oleh ibuku, sesungguhnya pertarungan belum selesai, tapi baru dimulai untuk menghadapi konflik baru. Masih ada beberapa langkah lagi jalan yang harus kita tempuh sayang. Jika lolos berbahagia hatilah kau denganku. Karena kita berdua mampu melawan kegetiran yang akan menghancurkan perasaan cinta kita.
“Ada masalah di antara kami Bu, aku dan gadis ini beda agama.”
Mendadak wajah ibu berubah pucat pasi, jantung berdebar, sekujur tubuh bergetar.
“Tapi dia mau masuk agama kita Bu Bu, bolehkan aku menikah dengan dia?”
Ibu tak mendengar lagi. Ia mendadak jatuh tak sadarkan diri. Aku dan Gresi mengangkat ibu ke mobil milik tetangga, setelah aku cerita keadaan ibu, ia siap membantu. Kami melarikan ibu ke rumah sakit terdekat. Aku panik dan terus bersangatan panik. Pikiranku buyar, dunia serasa roboh menimpaku. Ibu menghembuskan napas terakhir di rumah sakit, aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya punya Gresi.
“Sekarang kita pulang saja ke kampungmu. Aku serahkan kau secara baik-baik kepada kedua orang tuamu.”
Gadis itu mengigit bibirnya, menarik napas dalam-dalam.
“Kamu mau membatalkan pernikahan ini?”
Aku mengangguk-anggukkan kepala, merasa menyesal berlayar dalam bahtera yang sama dengan perempuan itu menuju pulau yang sama, dari Jawa ke Sumatera. Karena kelakuanku yang nekat, semua jadi kacau. Kesalahan letaknya ada pada diriku. Perbuatanku yang terkutuk sepertinya tidak bisa ditoleransi.
“Aku dan kau telah melakukan kesalahan besar Gresi. Tuhan marah pada perbuatan kita.”
Tiba-tiba Gresi menampar wajahku berbekas. Dia menampakkan kemurkaan. Kemudian lari terpatah-patah sambil menangis terisak-isak, duduk lesu di bawah pohon rindang, seakan dia butuh teman berbagi nasib yang dikoyak-koyak penderitaan panjang setelah berbagi hati denganku, panjangnya sampai menyentuh bintang.
“Lelaki pengecut, kenapa kau datang ke mari, apa pedulimu denganku? Kau hanya menginginkan tubuhku bukan cintaku. Sekarang pergi dari hadapanku. Tuhan itu marah padamu, bukan pada perbuatan kita yang ingin menyatukan hati, seperti dugaanmu,” tangisnya semakin meledak, suaranya yang membahana seakan terdengar ke seluruh penjuru.
Sepuluh titik airmatanya jatuh ke tanah, aku yang mencintainya merasa kasihan. Perempuan yang sudah aku tembus kesuciannya itu mendorong keras dadaku dengan kedua tangannya. Mungkin bermaksud mengusir dan menyuruhku pergi, aku jatuh terpojok, aku bangkit lagi bersama keperihan yang menggumpal.
“Maafkan aku. Apa kau masih percaya aku bisa membahagiakamu dalam kesendirianku? Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Ayah dan ibumu saja yang wajib kau hormati begitu membenciku.”
“Lelaki pengecut, ke mana kekuatanmu kau letak, kenapa keyakinanmu tiba-tiba goyah? Kau masih punya aku,” gadis cantik itu menghapus airmata sedih ketika aku memeluknya.
Airmataku juga ikut jatuh tak tertahan tanpa diiringi suara. Aku ingin membawanya terbang melayang-layang ke awang-awang. Setelah aku menjatuhkan tubuhnya dalam pelukanku yang mampu melunakkan hatinya, dia langsung luluh. Kebencian yang menyelimuti dirinya hanya tumbuh sesaat, ia tidak bisa lama-lama membenciku. Pelukanku yang hangat dan penuh kemesraan bisa mengusir kebenciannya yang meluap-luap dan menutup mulutnya yang berkoar-koar marah.
“Maafkan aku sayang,” aku mencium keningnya dengan kelembutan sambil mengelus-elus rambutnya yang lurus mengusir kesedihan. []
—————
Depri Ajopan, lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online. Novel barunya, Pengakuan Seorang Novelis. Sekarang aktif di Rumah Kreatif Suku Seni Riau mengambil bagian sastra.