Sosok

In Memoriam Ajip Rosidi

SUNGGUH tidak pernah saya menyana, bisa bertemu dengan sastrawan-budayawan Ajip Rosidi dan mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2008 dari Yayasan Kebudayaan Rancage, sebuah lembaga rintisan Ajip Rosidi yang setiap tahun rutin memberikan penghargaan kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah, dimulai dari sastra Sunda (1989) menyusul sastra Jawa (1994), dan sastra Bali (1998). Lalu, sastra Lampung sepuluh tahun kemudian pada 2008, sastra Batak (2015), sastra Banjar (2017), dan sastra Madura (2020). Dengan begitu, hingga saat ini Rancage memberikan penghargaan kepada tujuh bahasa daerah: Sunda, Jawa, Bali, Lampung, Batak, Banjar, dan Madura.

Di rumah sastrawan Ajip Rosidi di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Januari 2020.

Bisa bertemu dan bertatap muka langsung dengan Pak Ajip, bagi saya sebuah keajaiban. Berbeda dengan Sapardi Djoko Damono yang hingga akhir hayatnya tak pernah bersua. Bahkan, saya mengikuti pesannya, “Kita bersua lewat karya. Tak terlalu penting bertemu muka.”

Keajaiban menurut saya karena dari segi umur, saya dan Pak Ajip terpaut 32 tahun. Terus, saya juga jarang melakukan perjalanan budaya. Hehee… Kalau mau dibilang jago kandang juga boleh. Saya menulis sejak puisi, cerpen, dan esai sejak 1987 ketika masih duduk di kelas satu SMAN 2 Bandar Lampung. Mula-mula di majalah dinding sekolah. Baru mencoba ke media umum. Lebih banyak ditolak redaktur. Untunglah ada yang nyangkut dan dimuat di Suara Karya, Merdeka Minggu, Simponi, Swadesi, dan Sahabat Pena

Diam-diam saja. Tidak seperti Ahmad Yulden Erwin, Panji Utama, Iswadi Pratama, Pondi, Muchtar Ali, dan lain-lain yang sudah dikenal sebagai penyair Lampung tahun 1980-an ketika mereka masih berseragam putih abu-abu, bahkan putih-biru. Belakangan setelah kuliah di FISIP Universitas Lampung mulai menulis untuk koran daerah sendiri, Lampung Post, Tamtama (Lampung Ekspres), Radar Lampung, dan tentu sajak pers mahasiswa tempat saya beraktitas, tabloid Teknokra dan majalah Republica.

Untungnya ketika di pers mahasiswa (1991—1996), saya lebih sering dipercaya menjadi redaktur opini sekaligus redaktur budaya, yang bertugas memuat tulisan berupa puisi, cerpen, esai, resensi, dan lain-lain kiriman dari luar redaksi. Posisi redaktur opini merangkap redaktur budaya ini berlanjut ketika saya bekerja di Sumatera Post, Lampung Post, Borneo News, Fajar Sumatera, dan Lampung News — semua di Bandar Lampung, kecuali Borneo News di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah – sejak 1998 hingga kini. Setelah bekerja di koran, saya relatif jarang mengirim karya ke media lain; kecuali diminta. Masalahnya, siapa pula saya, sehingga harus dimintai tulisan. Hahaa…

Jadi, sebenarnya saya tidak terlalu produktif menulis puisi, cerpen, dan novel. Sebagai penanggung jawab opini dan tajuk rencana, saya lebih sering menulis untuk kolom (esai) pendek dan tajuk rencana, minimal menjadi editor akhir sebelum dibaca pemimpin redaksi. Bahkan,acap pula menulis dua sekaligus sehari kolom dan tajuk. Tapi, tetap saja saya susah menulis banyak karya sastra. Makanya saya masih saja bingung kenapa saya menerbitkan buku puisi, cerpen, dan novel berbahasa Lampung. Terpaksa kali lebih tepatnya.

Akan halnya Ajip Rosidi, yang kelahiran Jatiwangi, Majalengka, 31 Januari 1938, sungguh saya tak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya. Seperti dikatakan Noorca M Massardi, Ajip Rosidi sudah menulis sejak umur 12 tahun ketika masih Sekolah Dasar. Pada saat SMP, ketika usianya masih 16 tahun, ia sudah diakui sebagai sastrawan nasional, karena karya-karya prosa dan puisinya, banyak dimuat di pelbagai media sastra dan kebudayaan, sejajar dengan karya-karya Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka, dan Angkatan 1945, yang usianya belasan bahkan puluhan tahun di atasnya.

Artinya, Ajip sudah terkenal sejak 1950-an alias 20 tahun sebelum saya lahir. Ia salah seorang penggagas dan pendiri Taman Ismail Marzuki (TIM), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Akademi Jakarta (AJ), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ–kini Institut Kesenian Jakarta–IKJ). Meski tidak tamat Sekolah Menengah, ia dipercaya mengajar sebagai dosen sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan Jepang. Sejak 1981 diangkat menjadi guru besar tamu di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka) sambil mengajar di Kyoto Sangyo Daigaku (1982–1996) dan Tenri Daigaku (1982–1994). Pada 2011, menerima doktor honoris causa bidang ilmu budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Jabatan mentereng pernah ia sandang seperti Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1972-1981), penndiri Yayasan Lembaga Pusat Dokumentasi Sastra (LPDS) HB Jassin (1977), perintis Yayasan Kebudayaan Rancage yang rutin memberikan Hadiah Sastra Rancage kepada sastrawan daerah sejak 1989, pendiri penerbit Pustaka Jaya, serta menerbitkan dan memimpin aneka majalah sastra dan kebudayaan sejak remaja hingga hari ini. Ratusan buku sastra-budaya dalam bahasa Indonesia dan Sunda telah lahir dari tangannya dan sebagian karyanya telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa: Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Perancis, Kroasia, dan Rusia.

Lah, saya, … ahai. Hahaa…

***

Bertemu tokoh sekaliber Ajip dan menerima Hadiah Sastra Rancage yang pertama untuk sastra Lampung itu luar biasa. Hadiah Sastra Rancage 2008 untuk Buku puisi berbahasa Lampung saya, Mak Dawah Mak Dibingi (diterbitkan BE Press, 2007), juga Rancage pertama untuk luar Jawa dan Bali.

Banyak pertanyaannya yang mengemuka, mengapa sastra Lampung? Mengapa bukan sastra Batak, Minang, Madura, atau sastra daerah lain yang lebih dikenal? Saya juga kurang paham. Sebab, pada awalnya saya juga tak pernah bisa menyangka jika sastra Lampung bisa menerima Hadiah Sastra Rancage. Saya pikir. Rancage itu memang khusus untuk Sunda, Jawa, dan Bali saja.

Jadi begini, saya menulis puisi berbahasa Lampung awalnya sama sekali tak memikirkan aka ada lembaga yang memberikan penghargaan. Ya, menulis saja karena khawatir dengan nasib bahasa Lampung yang dikatakan akan punah dalam waktu 3-4 generasi atau 75—100 tahun jika tidak dilakukan upaya pencegahannya sebagaimana disinyalir Asim Gunarwan (1999).

Didorong kondisi itu, saya mulai menulis puisi berbahasa Lampung, diawali dengan menerjemahkan sajak pemenang Lomba Cipta Puisi Naratif Wisata Budaya Lampung yang diselenggarakan dalam rangkaian Festival Krakatau 1999, “Bagaimana Mungkin Aku Bisa Lupa” menjadi “Repa Nyak Dapok Lupa”. Terhimpunlah sajak berbahasa Lampung pada tahun itu juga. Tapi, saya frustasi karena tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkannya.

Untunglah, ada Redaktur Budaya Sumatera Post Panji Utama yang menerbitkan beberapa puisi saya dalam manuskrip itu di koran tersebut pada 2000. Boleh dibilang itulah pertama kalinya, puisi modern Lampung dimuat koran. Sebagian juga diminta Iswadi Pratama sebagai redaktur sastra untuk dimuat Lampung Post.

Melalui Proyek Pelestarian dan Pemberdayaan Budaya Lampung pada Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, 2002, akhirnya buku puisi Momentum terbit juga setelah dijadikan dwibahasa Lampung-Indonesia.

Begitu saja. Saya kapok bikin buku sastra Lampung.

Tapi, ketika di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan bekerja di Harian Borneo News (2006—2009), melalui dunia maya saya berkenalan dengan (alm) Irfan Anshory. Orang Talangpadang, Tanggamus yang berkeluarga dan bermukim di Bandung. Ngobrol ke sana ke mari, sampailah dia ke pertanyaan, “Katanya, pernah menerbitkan buku puisi berbahasa Lampung?”

Saya ceritakan buku puisi Momentum.  Terus terang, saya awalnya ogah-ogahan membukukan lagi buku puisi Lampung. Namun, Bang Irfan bersemangat bercerita bahwa aktif di Pusat Studi Sunda dan Yayasan Kebudayaan Rancage, selain sekali-sekali menulis artikel berbahasa Sunda. “Saya kenal baik dan sering berdiskusi dengan Kang Ajip, pendiri Yayasan Rancage. Kau terbitkan lagi buku puisi Lampung. Sudah saatnya Lampung menerima Hadiah Rancage,” tulis Bang Irfan berapi-api dalam emailnya.

Di Lampung, ada Y. Wibowo dan Budi Hutasuhut. Sebelumnya berangkat ke Borneo, kami sudah merintis upaha penerbitan buku bersama Sigid Nugroho yang tinggal di Yogyakarta. Maka, lahirlah buku puisi berbahasa Lampung saya yang kedua, Mak Dawah Mak Dibingi yang diterbitkan BE Press, Bandar Lampung, 2007 yang dikerjakan dari tiga kota: Pangkalan Bun, Bandar Lampung, dan Yogyakarta.

Hmm, Bang Irfan benar-benar serius rupanya. Buku puisi Mak Dawah Mak Dibingi menerima Hadiah Sastra Rancage 2008 yang pertama untuk sastra Lampung. Ia juga mengingatkan untuk menjaga kontinuitas penerbitan sastra Lampung seperti yang dipesankan Ajip Rosidi.

***

Awal Juni 2008, saya terima undangan dari untuk menerima Hadiah Sastra Rancage 2008 yang disampaikan sekretariat redaksi Borneo News.

Sehari sebelum hari H, kami tiga-beranak terbanglah dari Bandara Iskandar, Pangkalan Bun ke Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta untuk selanjutnya menuju Wisma Unpad. Karena masih siang, kami main-main ke mal sebentar. Tapi, tak lama karena mendapat telepon dari Bang Irfan yang mengatakan Kang Ayip mau ketemu.

Ketika tatap muka dengan Pak Ayip, saya kecele mengira-ngira perawakan Pak Ajip. Masih terlihat sangat muda dengan rabut hitam lurus hampir tak terlihat ada uban, yang tersisir rapi. Padahal kala itu ia berusia 70 tahun.

Sosok yang sangat mengesankan!

Sastrawan Udo Z. Karzi mewakili pemenang Hadiah Sastra Rancage 2008 menyampaikan sambutan dalam acara penyerahan Rancage di Unpad, Bandung, Sabtu, 14 Juni 2008.

Penyerahan Hadiah Sastra Rancage 2008 di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad Jalan Dipati Ukur Bandung, 14 Juni 2008 terasa berarti dalam hidup saya. Saya paling muda di antara para penerima Rancage:  Godi Suwarna karya sastra Sunda Sandekala, Grup Teater Sunda Kiwari pimpinan R Dadi Danu Subrata, Turiyo Ragilputra dengan karya Bledheg Segara Kidul, Sriyono sebagai Pengembang Sastra Jawa, I Nyoman Manda dengan karyanya Depang Tiang Bajang Kayang-kayang, I Made Suatjana dalam kategori Jasa, Udo Z Karzi atas karya kumpulan sajak Mak Dawah Mak Dibingi, serta penghargaan Samsudi kepada Ali Koraliati dengan karyanya Catetan Poen Rere.

Dalam kesempatan itu pula, saya mewakili para penerima hadiah, memberikan kata sambutan. Saya tak terlalu ingat apa yang saya katakan. Yang jelas sastrawan dan masyarakat Lampung dan juga daerah lain tentu sangat berterima kasih kepada Ajip Rosidi dan Rancage yang ia rintis. “Semoga ini bisa memacu kemajuan bahasa dan sastra Lampung nantinya,” ujar saya yang kelak tetap membuat saya masgul hingga kini.

Ferdinan Indiarto dan Y. Wibowo dari BE Press, Bandar Lampung menghadiri Penyerahan Hadiah Sastra Rancage 2000 di Bandung, 14 Juni 2008.

Dalam hati, saya tambahkan, ini juga menjadi kado ulang tahun saya ke-38 dua hari sebelumnya, 12 Juni. Bahagia juga melihat istri berseri-seri dan anak pertama saya, Aidil Liwa (berusia 1,5 tahun yang lagi getol-getolnya berjalan-jalan) tak henti-hentinya mengajak mamanya berkeliling kampus Unpad sampai saya mencari-cari di antara para pengunjung, dan akhirnya tahu berdua pulang ke Wisma Unpad duluan naik taksi. Y Wibowo dan Ferdinan Indiarto dari BE Press, Bandar Lampung yang menerbitkan buku Mak Dawah Mak Dibingi, ikut menjadi saksi acara penganugerahan Rancage 2008 ini.

Di Lampung, ada lagi acara syukuran yang digelar teman-teman Lampung Post.

***

Tak seperti saya bayangkan semula, perkembangan sastra (berbahasa) Lampung ternyata tersendat-sendat. Tidak setiap tahun terbit buku sastra Lampung. Setelah 2008, hanya baru Asarpin Aslami dan Fitri Yani yang menerima Hadiah Sastra Rancage masing-masing 2010 dan 2014. Setelah itu macet lagi.

Meliom neram (malu kita),” kata Bang Irfan Anshory, Juri Rancage Lampung pertama, sebelum ia berpulang ke rahmatullah, 15 Maret 2011.

Sampai kemudian… “Gimana Lampung, masih mau menerbitkan buku sastra?” tanya sastrawan Ajip Rosidi di sela-sela Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Bandung, 2-4 Agustus 2016.

Muka saya mungkin merah padam karena malu. Sudah lama memang Lampung tidak menerbitkan buku sastra Lampung, sejak terakhir 2013.

Barangkali karena itu, Pak Ajip meminta saya menjadi narasumber dalam Kongres Bahasa Daerah Nusantara pertama ini. Maka, saya membawakan makalah berjudul “Penerbitan Buku Bahasa Lampung: Bukan Sekadar Menunda Kekalahan”.

“Insya Allah, Pak,” kata saya akhirnya setelah mengumpulkan keberanian menjawabnya.

Demikianlah, setelah ngadat mulu, saya kembali menerbitkan buku dan menerima Hadiah Sastra Rancage 2017 untuk novel berbahasa Lampung, Negarabatin (Pustaka LaBRAK, 2016). Menyusul Muhammad Harya Ramdhoni pada 2018 untuk buku puisinya, Semilau  (Pustaka LaBRAK, 2017) dan Semacca Andanant pada 2020 untuk bukunya, Lapah Kidah Sangu Bismillah: Bandung dan Hahiwang (Pustaka LaBRAK, 2018).

Setelah ini, sastra (berbahasa) Lampung mesti terus terbit dan berkembang; ada atau tidak ada Hadiah Sastra Rancage yang dirintis Ajip Rosidi, dari urang Sunda dan bukan jak ulun Lampung!

Ajip Rosidi yang tak pernah berhenti mendorong dan membela sastra daerah. Sosok yang sangat menginspirasi.  

Kini ia telah berpulang ke hadirat Allah Swt. Ia menghembuskan napas terakhirnya di usia 82 tahun dalam perawatan pasca-operasi di RSUD Tidar Kota Magelang, Jawa Timur pada Rabu, 29 Juli 2020 sekitar pukul 22.30 WIB. Ia dimakamkan di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, di samping kanan istrinya Patimah yang meninggal pada 14 Oktober 2014.

Semoga Allah Swt memberikan ahmarhum Pak Ajip tempat terbaik di kampung akhirat sesuai dengan amal-ibadahnya. Amin. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top