Saat Pandemi itu (Turut) Nelangsa
Cerpen Gunung Mahendra
“AKU tidak pernah melihatmu memasukinya.”
Sepenggal kalimat itu tak ubahnya semilir angin. Sekadar menyapu anak rambut Lasat, jenggot sewenang-wenangnya. Tak menyerah, lelaki berperut rakus di sampingnya ngotot membangun kalimat, mendesak perhatiannya.
“Di kota ini, hanya kau saja yang … apa istilahnya, ‘suci’?”
Seusai bersolek, hingga menggantung di petala, matahari begitu setia mengawasi Lasat yang memaku tatapannya kepada bangunan berbentuk balok yang tertancap dua meter di atas trotoar, terbungkus kaca gelap padat. Orang-orang menyebutnya bilik berdawai. Sebagian adalah alih fungsi bilik disinfektan.
“Caranya mudah,” Di antara gigi berkarat dan bau laut yang merongrong hidung, lidah pria itu taat mengganyang Lasat. “Tancapkan saja dawainya ke salah satu bagian tubuh. Biarkan aliran lembut mengalir … dan, setelahnya … ahhh. Cobalah sendiri.” Pria itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Meski efek sampingnya temporer, setidaknya sampar itu akan berpikir berkali-kali untuk mendekat.”
Di ujung kalimat pria itu, Lasat mendesah.
“Rugi kau tidak mencobanya.”
Pendek, Lasat menjawab. “Aku tidak tertarik.”
“Bah! Lima menit saja tidak ada!”
“Kurasa pembicaraan ini tidak ada gunanya.”
Pria itu menelan sanggahannya. Melipat dahi. “Aku berani bertaruh,” katanya, setelah melepas napas. “Kau tidak akan mampu terus-menerus mematung dan menatap bodoh bilik itu.” Lelaki itu menutup obrolan satu arahnya dengan meludah. Nyaris saja melumuri kaki lawan bicaranya andai Lasat terlambat mengelak. Pria yang membungkus diri dengan pakaian cokelat kekuningan itu berlalu.
Di seberang, bilik itu kembali menelan seseorang. Puluhan orang berikutnya tergeret. Antrean makin mengular. Mana peduli matahari semakin mengigit. Setelah memuntahkan mangsanya, seorang pemuda yang berdiri tepat di depan pintu bilik itu merampas perhatian Lasat. Me-mati rasa-kannya terhadap pantatnya yang mendidih.
*
//Berapa ton gula kau tuang, rasanya tidak akan pernah berubah//. Kata guruku pelan, menjelaskan “sensasi” yang disodorkan botol mungil berisi cairan pekat.
Dia membicarakan benda di tanganku.
//Minum saja.// Lima kali sehari, tujuh belas kali teguk. //Kalau mau selamat//.
Aku menukar tatapan teduh itu dengan tatapan tolol.
//Kau menungguku berkata// “tidak”?
Ludah menggelinding di balik leherku.
Setelah memastikanku menggeleng, guruku berkata, //Minumlah// dua kali //sebelum matahari terkerek naik… Empat kali //di tiga waktu berbeda: sebelum matahari bertemu puncaknya, sebelum cahayanya ditelan barat, dan saat bulan menjabat bintang//. Tiga kali //sisanya saat jingga melukis langit//. Kalau lupa atau terlewat, segera tebus! //Minum dua kali teguk di satu waktu.//
Telingaku menajam, mencatutkan petuah itu di kepala.
//Ingat, Nak. Pagi tak ada kawan. Begitu pun senja dengan petang. Mereka berdiri sendiri. Kau melewatkannya maka tamatlah dirimu. Kau harus// memahaminya.
//Baik, Mbah. Saya menaati// njenengan. Aku meremas botol mungil berukuran seratus milliliter itu.
//Satu lagi!// Sela kakek berpakaian hijau-hijau lusuh itu. Jenggotnya memburai menumbuhi dagunya. //Itu// HANYA PERANTARA. //Kendalinya ada di kepala dan dadamu. Gunakan keduanya sebaik mungkin. Abaikan apa pun yang menggoyahkan!//
Kini, di kepalaku kalimat itu berkelindan. Meranumkan keraguan. Mencabik keyakinanku. Melupakannya, membuatku terhukum, tetapi keluar dari bilik ini dengan tangan kosong sama saja percuma. Barisan antrean yang mengular di sana akan semakin matang nantinya. Lebih lagi, sekaranglah sesi kedua “mengisi daya”. Dan, aku harus kembali ke sini lagi tiga kali pada tiga waktu berikutnya. Kesempatan ini jelas tidak untuk di sia-siakan. Bedebah. Tak kusangka keputusan ini akan serumit ini.
“Lama sekali! Cepatlah keluar!”
“Hei! Selesaikan segera. Kami sudah terpanggang!”
“Urusan kami tidak hanya untuk mengantre di sini, Dungu!”
Sial! Berisik sekali mereka. Waktuku sesak. Pergi, sama saja percuma. Bertahan di sini sama saja mendamba masalah. Ah, masa bodoh. Biarlah. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Baiklah. Ini saatnya. Jari tangan gemetarku memencet tombol alat serupa mesin ATM itu. Ada dua pilihan—satu untuk sampar, satu lagi untuk membunuh. Kupilih yang terakhir. Kutancapkan dawainya seperti selang infus menusukku.
//Sebanyak apa pun gula kau tuang tidak akan mengubah rasanya.// Kalimat itu kembali. Aku harus cepat. //Nanti … minuman … menyelamatkanmu…// membunuh ingatan itu adalah pilihanku. Urusan kebal terhadap sampar nanti saja. Aku berjanji akan kembali lagi tiga waktu berikutnya.
//Minum … kau se…//.
Sesuatu yang lembut beringsut dalam nadiku. Oh, begini rasanya.
//Pagi adalah saat paling gen…// bisikan itu memudar. Syukurlah. //Tujuh belas kali …// ya, aku tidak perlu menenggak ramuan itu lagi! Sebab mengapa? Rasanya benar-benar membunuhku! … kalau … terlewat, segera teb … Toh, sama keduanya saja. Bahkan, lebih baik dawai ini dibanding meneguk cairan menyebalkan ini!
Sedikit lagi dan ….
*
“ … sekarang berhentilah membayangkan dirimu ada di sana, Anak Muda.” Lagi, lelaki berperut sewenang-wenang itu menjajari Lasat. Sebagaimana biasanya. Bedanya, kali ini saat jangkrik mulai bersenandung. “Memang. Bilik berdawai itu sangat-sangat menggoda. Membuatmu ingin membelai dawainya. Namun, ada sesuatu yang sangat menahanmu melakukannya. Aku tidak tahu itu apa, tetapi yang jelas itu menggangumu.”
Untuk kali pertama, setelah sekian pembicaraan percuma, Lasat menoleh. Peluh melintasi pelipisnya.
“Yap! Itulah tatapan yang selama ini kucari. Oh, ya. Benar sekali!”
//Bagaimana bisa orang ini mengetahui celahku?//
“Kedua tanganmu yang meremas-remas saku celana kumal itu sejak tadi yang memberitahuku. Di situlah kau menyimpan botol mungil berisi cairan legam itu, ‘kan?” Lelaki itu kini tergelak kencang. “Satu rahasia lagi yang bisa kau ketahui dariku, Nak.”
Tanpa diperintah, mendadak bibir Lasat merangkai kata, “A … ap … apa itu?”
“Lihat sekelilingmu. Kini sudah gelap. Hilang sudah satu peluang. Pagi tak ada kawan. Begitu pun senja dengan petang. Tujuh belas kali, Anak Muda. Tujuh belas kali. Dan, entah aku harus meminta maaf karenanya atau tidak …. “
Tepat di penghujung kalimat lelaki paruh baya itu, Lasat meraba-raba badannya. Tidak ada sesuatu yang terjadi, syukurlah. Tunggu dulu! Tidak mungkin begini saja. Lelaki itu benar. Waktunya terlewat! //Hei, beritahu apa yang harus Lasat lakukan!//
Lasat mendesak lelaki itu menyerahkan ponselnya. Buru-buru dia menelpon gurunya. Berkali-kali nirjawaban. Panggilan lain tersambung, namun nihil jawaban memuaskan. Katanya, malah tidak mengapa. //Ah, yang benar saja.// Omong kosong!
Lasat mencengkeram kepalanya. Mengacak-acak rambutnya sendiri. Iseng menendang botol plastik sisa kopi. Keputusan itu akhirnya tiba. Memilih minggat. Napasnya pendek-pendek. Berjalan memburu. Sialnya, terjal membentang. Barisan antrean tak sabaran tadi tersengat provokasi. Menghambur kalut. Demi adu jotos di jalanan, lupa teman buta lawan.
Ketenangan yang terawat mengambang sekarat. Izrail sigap mengungkung, menunggu aba-aba Sang Penyuruh. Lasat meliuk-liuk. Terjerembab, bangun lagi. Bangun, terperosok lagi. Nyaris terlindas. Bebal sekali dia. Melesat. Memburu rumah gurunya. Kota dingin ini sekarang dipaksa mendidih.
Jelas, Langit kini kecewa.
Mungkin, pandemi itu juga turut nelangsa. Sebab, kehadirannya gagal membuat inangnya //muntah//, melainkan sekadar mengganjal tenggorokan mereka.
Jerit tangis meluap. Hasutan meraung-raung. Petugas keamanan kewalahan. Nakes kelimpungan. Erangan berbalas erangan.Hidup mati Lasat pun turut jadi taruhan. Tak apalah. Lebih baik mati berusaha daripada mati sebagai pecundang. Susah payah dia membobol kelimun.
Ombak manusia itu nyaris mengempar Lasat. Namun, takdir masih berbaik hati padanya. Terkemut-kemut dia memenangi pertarungan itu. Sepuluh langkah terbentang jelang mulut gang rumah gurunya. Dahaga akan penjelasan kian menggelegak. Tujuannya tersisa sepelemparan batu. Seulas senyum melekat di bibirnya.
Celaka!
Senyuman itu begitu cepat pergi. Kedua kaki Lasat membatu, mendadak. Bendera putih dengan tanda plus warna hitam berkibar. Seseorang sedang berduka. Tapi, siapa? Penasaran itu menggiring Lasat kepada lantunan tahlil. Menggema. //Kejam sekali firasat itu menerkam dada Lasat.// Tidak. Mungkinkah itu?
Mendadak hatinya memburam. Kali ini, dia harus sudi memamah kecewa. Untuk melenyapkannya, buru-buru Lasat menyepuk gagasan itu. Tidak. Tidak bisa begitu! Ini pasti sebuah kekeliruan. Katanya kepada dirinya sendiri.
Kendati begitu, bola mata Lasat menegaskan demikian. Gurunya, kakek pemberi ramuan hitam pekat yang saat diminum bisa mengundang ribuan umpatan, telentang dengan kain kafan sebagai jubah pamungkas. Matanya lekat terpejam. Bibirnya pucat memutih. Handai tolan membekuk duka.
Amblas perasaan Lasat memandangi pemilik wajah menenangkan, senyum menyejukkan, kata-kata membahagiakan, atau tatapan sarat kewibawaan meneduhkan hati itu pudar. Tersisa lengkungan manis di bibirnya yang tak merah. Juga tak hitam bekas tembakau. Relik nyata keindahan tutur yang melekat padanya.
Gemetar membekap tubuh Lasat. Matanya memanas. Sungai kecil mengalir di pipinya, kemudian. Di antara racauan semunya dan gema tahlil yang menyayat hati, telinga Lasat menjerat bisikan lain. Rayuan lembut yang menelisik. Seakan menegaskan pilihan yang “sebaiknya” diambilnya.
Rasanya bilik berdawai itu terasa menggoda sekarang. []
*
Malang, 4 Desember 2020