Cerita Pendek

Menangislah Wahai Bangsaku!

Cerpen Zabidi Yakub

SEGEROMBOLAN pelajar SMP kongkow-kongkow di Terminal Grogol. Mereka ingin sekali mendekat ke sekitar Gedung DPR, untuk menonton abang-abang STM membantu kakak-kakak mahasiswa berdemo. Mereka tidak bisa menjangkau lokasi karena terkendala akomodasi transportasi. Mereka sengaja tidak membawa motor sendiri agar mudah menghindar bila harus berkejar-kejaran dengan aparat Polisi yang akan melakukan penangkapan.

Tak ada driver yang mau menerima pesanan ojol mereka. Tak pula ada TransJakarta yang ke arah Gatot Subroto. Trayeknya sengaja dialihkan karena sudah diantisipasi, pasti jalur di depan Gedung DPR akan tertutup kerumunan pengunjukrasa. Sebaran aparat Polisi yang berjaga-jaga di depan kampus yang berdekatan dengan Terminal Grogol, juga menyiutkan nyali mereka. Terpaksa mereka berdiam sementara di Terminal itu sembari diskusi untuk menemukan siasat.

Seorang pria datang menghampiri mereka. “Mengapa adik-adik ini ada di sini, kok tidak segera pulang?”

Kongkow-kongkow aja, Oom,” jawab salah satu di antara mereka, singkat. Mereka pun bisik-bisik, menduga-duga, jangan-jangan si pria itu Polisi yang berpakaian preman.

Si pria ikut duduk di sebelah mereka. Tak percaya ia dengan jawaban anak SMP itu. “Bukan, sebenarnya adik-adik ini sekolah di mana dan rumahnya di mana kok nggak segera pulang,” selidik si pria.

“Kami pelajar SMP di Jelambar, Oom, rumah kami mencar-mencar. Ada di Jelambar, ada di Tanjungduren, ada di Daan Mogot,” jawab mereka bergantian ngomong.

“Kami ini sebenarnya sedih, Oom. Karena nggak bisa ikutan demo kayak abang-abang STM buat ngebantu kakak-kakak mahasiswa,” celetuk seorang pelajar. 

Si pria yang tadinya ceria langsung mengubah roman muka yang mengekspresikan kesedihan juga.

Gantian anak-anak SMP itu bertanya, “Mengapa Oom ikutan sedih?”

“Oom juga sedih, mengapa adik-adik ini kok pusing amat sama anak-anak STM yang ikut-ikutan demo. Kalian pelajar itu mestinya fokus pada kegiatan belajar, ikut ekskul, bimbel, dan sedikit main-main. Mengapa peduli amat sama urusan orang dewasa?” jawab si pria.

“Mengapa perkara kepedulian kami, yang Oom sedihin? Bukankah di era digital ini, kepedulian itu sudah menjelma menjadi sosok yang langka. Susah lho nyarinya, udah kayak barang branded yang mahal punya, Oom!” jawab bocah-bocah SMP itu nyerocos.

Sementara, gerombolan pelajar SMP itu seperti alat peraga kampanye yang dipakukan di pohon. Bergeming, tak bisa berbuat banyak. Nyali mereka makin ciut melihat kerumunan Polisi pria dan wanita di pinggir jalan depan kampus Trisakti dan Tarumanagara. Para Polisi itu berjaga-jaga, meski tak banyak mahasiswa di kedua kampus itu, karena sudah bergabung di depan Gedung DPR bersama mahasiswa dari kampus lain.

Tak lama kemudian, empat orang Polisi Wanita datang. Keempat Polwan itu mempersuasi pelajar SMP itu agar pergi dari Terminal itu. “Sana pulang, Dek! Ngapain kalian di sini? Sudah bubar kan sekolahnya. Ayo, cepetan pulang, nanti kalau ada bentrok massa, kalian kena imbasnya. Kalau ikut ketangkap Polisi, kan orang tua kalian pada nyariin ntar.”

Para pelajar itu bergeming, tak menggubris. Sengaja mereka nyuekin bujuk rayu empat Polwan yang manis-manis dan postur body-nya semlehoi itu.

“Kalian ini apa mau ikutan demo kayak anak-anak STM itu? Sudahlah, nggak usahlah ikut-ikutan. Bukan urusan kalian. Kalian itu kan senangnya main gim, nonton yutub, ngemal, atau yang lebih pantas ikut ekskul. Bukan malah mikirin bagaimana supaya bisa ikutan demo. Sudah, sana pulang gih,” ujar Polwan itu memberi pengertian dengan sabar.

“Demo itu capek tau. Kami aja kalau nggak karena tugas negara, nggak bakalan mau di sini berpanas-panasan, apa kalian nggak mikir nanti kalau ikut demo kena semprotan water canon seragam kalian basah dan efeknya badan sakit-sakit semua,” tambah Polwan satunya.

Anak-anak SMP itu masih setia sama kebandelannya. Diam, tidak menyahut, tapi tidak pula bergegas pergi mengikuti perintah halus dari Polwan-Polwan itu. Dasar ndableg juga.

Polwan itu akhirnya melipir satu per satu. Tapi, gantinya, beberapa Polisi datang dengan senjata lengkap dari arah belakang tempat mereka duduk. Tanpa ba-bi-bu mereka todongkan moncong senapan ke belakang tengkuk anak-anak itu, sambil menghardik mengusir paksa agar pergi dari sana.

***

Komitmen awal reformasi, sebenarnya untuk mengubur masa lalu yang buruk. Bulat tekad bangsa untuk membangun zaman baru dengan sistem pemerintahan dan kehidupan politik yang bersih dan berwibawa. Tetapi, yang terjadi, jauh panggang dari api. Banyak OTT oleh KPK terhadap kepala daerah, anggota dewan, penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan polisi. Ini kan berarti, perjalanan bangsa hanya berputar ke masa lalu yang buruk itu.

Satu per satu kepala daerah diangkut ke Gedung Jangkung KPK, bukannya membuat jirih kepala daerah lain sehingga lebih berhati-hati, malah tetap saja ‘bermain-main’ dengan pengusaha bersama-sama kepala dinas untuk mendapatkan fee proyek. Semakin gencar OTT dilakukan, semakin lihai saja kepala daerah-kepala daerah main kucing-kucingan. Sangkanya bisa aman, padahal gerak-gerik mereka sudah dipantau melalui penyadapan KPK.

Di akhir masa tugasnya, DPR periode 2014-2019, meninggalkan catatan hitam. Dengan sistem kebut semalam, mereka rampungkan revisi UU KPK. Khalayak umum menafsirkan hasil revisi itu sebagai upaya melemahkan KPK. Mahasiswa dibantu anak-anak STM berdemo menuntut presiden menerbitkan Perppu. Akan tetapi, sampai akhir masa satu bulan setelah disahkan DPR, UU KPK hasil revisi tidak jua ditandatangani presiden, tidak pula diterbitkannya Perppu. Maka, dengan sendirinya UU hasil revisi dinyatakan sah sebagai UU KPK yang baru.

Dalam UU baru ini, takkan ada lagi penyadapan oleh KPK. Tanpa penyadapan, berarti takkan ada lagi OTT. OTT bisa dilakukan lantaran pemantauan yang dilakukan secara intensif melalui penyadapan pembicaraan telepon pejabat yang dijadikan target. Dengan tidak ada lagi penyadapan dan OTT, KPK layak dijuluki sebagai macan ompong. Layak pula kita ucapkan belasungkawa atas upaya pelemahan terhadap KPK, oleh DPR dan Pemerintah secara bersama-sama.

Timsel pimpinan KPK pun sudah bekerja ekstra keras untuk menyeleksi capim KPK periode 2019-2023. Meski ditengarai ada nama capim yang kontroversial, Presiden tak bisa berbuat banyak untuk menghalang-halanginya. Apalagi voting oleh DPR justru memberinya perolehan suara terbanyak sehingga menjadikannya sebagai ketua terpilih. Lengkap sudah kesedihan para mahasiswa dan anak-anak STM yang hanya bisa berdemo. Tak ada upaya lain.

***

Meski hanya segerombolan ABG, anak-anak SMP itu bisa juga larut dalam kesedihan yang dirasakan kakak-kakak mahasiswa itu. “Sedih dan sesak di dada,” gumam mereka, kembali membuka dialog dengan pria yang tadinya mereka sangka Polisi yang menyamar preman.

“Saya juga sedih dan pingin nangis, Dek,” celetuk pria.

“Kalau Oom aja nangis, kakak-kakak mahasiswa itu nangis, dan orang-orang dewasa pada nangis, kami-kami malah senang,” tukas seorang pelajar.

“Lho, Kenapa malah jadi senang,” selidik pria.

“Karena berarti, aku, dan kami-kami ini, telah bisa melakukan apa yang dilakukan orang dewasa!” jawab seorang pelajar.

“Tapi, bukan berarti elo, dan kalian semua, jadi dewasa!” sanggah pria. “Yang sebenarnya terjadi, justru orang-orang dewasa yang sekarang ini jadi kekanak-kanakan.”

“Lantas, salah kalau jadi kekanak-kanakan, Oom?” kejar seorang pelajar, penasaran.

“Kekanak-kanakan begitu mencerminkan ketidakberdayaan! Tidak bisa lagi melakukan hal lain, sehingga hanya bisa meratap berleleh-leleh air mata!” jelas pria. “Ratap dan tangis itulah puncak kepasrahan orang!”

“Tapi, menurut Guru kami di sekolah, menjadi putra bangsa itu, kuncinya harus punya semangat juang yang tinggi seperti para pahlawan di masa perang melawan kolonial dulu, harus pantang menyerah, Oom!” kelit seorang pelajar.

“Hus, anak kecil pingin ikut-ikutan!” sergah pria.

“Anak kecil juga bisa, Oom. Lihatlah abang-abang STM itu, cukup besar peran mereka di tengah-tengah demo. Kakak-kakak mahasiswa yang orasi, abang-abang STM yang eksekusi. Lagi pula, dengan ikut demo berarti ABG seperti kami ini bisa melakukan hal lain lagi yang dilakukan orang dewasa!” debat anak-anak SMP itu.

“Tapi, bagaimanapun besarnya tekanan dari para pendemo takkan memengaruhi DPR. Gelarlah bergelombang-gelombang pengunjukrasa, datangkan berlapis-lapis elemen masyarakat, angkut ke depan Gedung DPR. Teriaklah sampai parau mereka berorasi, takkan digubris DPR. Entah juga kalau para pengunjukrasa kompak menangis, mungkin bisa menangguk rasa iba para anggota dewan,” tegas pria.

“Lah, kalau begitu, menangislah wahai bangsaku!” tukas pelajar SMP itu.

Sementara di kejauhan, dari arah Senayan, terdengar letupan. Sepertinya, aparat Polisi sudah tak bisa mengendalikan emosi. Terpancing mereka, lalu menarik kokang senjata, menebarkan gas air mata.

Hari beranjak petang, anak-anak SMP itu belum menunjukkan tanda-tanda hendak pulang. Betapa besar hasrat mereka, untuk bisa melakukan apa yang dilakukan orang dewasa. []

BKP, 26 Oktober 2019

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top