Sajak-sajak Jauhari Zailani

PERJUMPAAN DENGAN ALLAH.
Subuh ku jelang. Rasa riang menjelang perjumpaan. Menyiram badan, mulut bergumam badan serasa melayang.
Kaki melangkah, hati merekah. Menuju ke rumah Allah Subuh kujelang mengharap berkah yang melimpah.
Mendengar ceramah ustadz untuk menggandakan berkah. Setara pergi ke tanah suci untuk berhaji di depan Kakbah. Dan kemah di Arafah.
Melangkah ke mesjid adalah latihan kecil berjalan menuju jalan Allah. Kaki ringan melangkah, hati riang merekah. Terbayang perjumpaan dengan sang penguasa jiwah.
Selagi nyawa di badan, perbanyak amal shaleh. Segera bersujud minta ampun ketika salah. Janganlah menjadi manusia pendosa, tapi jadilah manusia pendakwah.
Ketika badan terbujur di depan orang-orang yang salat jenazah, mulut tersungging senyuman. Anaknya menjadi imam shalat bersama orang-orang yang terkasih.
Mata berbinar menyaksikan hamparan kain putih sepanjang jalan. Menyaksikan malaikat riang wajah berdiri berjajar sepanjang jalan menuju ke Allah.
Telinga mendengar gumaman dan ungkapan malaikat tentang jiwa yang damai. Jiwa yang melangkah riang dan mantap menuju jalan Allah.
Wahai setiap jiwa yang tenang. Jiwa yang mengharapkan bertemu dengan Allah. Perbanyak amal shaleh dan jangan menduakan Allah.
Bandar Lampung, 9 Agustus 2020.
NEGERIKU ADALAH RUMAHKU
Rumah megah tapi rapuh. Penghuninya alpha sholat subuh. Berharta, tapi banyak ngeluh. Istana hanya untuk berlabuh. Itulah istana yang rapuh.
Rumah tanpa moral hanyalah onggokan semen dan batu. Rumah tanpa doa adalah setumpuk kayu. Taman tanpa bunga dan layu. Itulah istana yang lesu.
Rumah megah, seperti kuburan. Sepi doa dan kalam. Bertebaran aroma dupa dan kesyirikan. Dinding mengkilap bertaburan kotoran cicak, sebagai hiasan. Lantai mewah dengan bercak tai kucing bertebaran. Rumah mewah beraroma tinja. Itulah istana megah tapi menjijikkan.
Begitulah masyarakat. Begitulah negara yang di pimpin oleh orang-orang bemoral harta. Negara berjalan dengan aturan yang mengabaikan kaum papa. Penguasa meraja lela menguasai negeri, menumpuk harta untuk keluarganya. Itulah negeri yang rapuh.
Penguasa tak berakhlak leluasa dalam kuasa. Karena-orang yang bermoral, hanya mencerca di luar gelanggang. Seraya menepuk dada berteriak “negeri ini di dirikan oleh nenek moyang kami… karena itu yang benar mengurus negeri…..”. Itulah negeri tanpa moral. Orang-orang bermoral seperti anjing’yang menggonggong.
Itulah ironi negeri khatulistiwa. Negeri dengan masa lalu yang jaya. Kemudian menjadi ajang penjarahan, dan warganya menghamba. Tapi, inilah rumahku, inilah negeriku.
Bandar Lampung, 10 Agustus 2020
————
Jauhari Zailani, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Lampung. Puisi-puisi, antara lain dimuat dalam antologi bersama Orang-orang Talangsari (2003) dan beberapa media.
