Cerita Pendek

Aku Kalah

Oleh Yusril Izha Mahendra

DI bawah selasar gedung serba guna tubuhku masih saja berdiri dan mematung di antara keramaian lalu lalang manusia. Bukan karena tidak  pasti arah yang ingin dituju, melainkan  keberanian untuk melangkah yang masih kukumpulkan hingga akhirnya hanya mata yang menyelinap di antara keramaian yang berani menegurnya. Keberanian untuk melangkah mendekat hingga hanya hembus angin yang memisahkan bukan lagi mereka apalagi benda di antara kita. Pula, keberanian untuk berkata-kata yang semula hanya untuk bertegur sapa satu dua kata kini telah tertabung panjang menjadi kisah untuk diceritakan. Hanya itu yang aku butuhkan saat ini untuk terakhir kalinya sebagai penutup kisahku bukan kita di kampus ini.

Tak banyak perubahan mataku memastikan dia  pada hari ini sebagai penanda bahwa telah disandangnya gelar sarjana dan dia empat pada tahun lalu ketika gelar mahasiswa disematkan. Kecil, lincah dan kontras dengan busana seirama melindungi cantiknya setidaknya itulah analisa pancaindraku.

Tetap tubuh ini  tak juga menemukan keberanian mendekat untuk kemudian berkata-kata. Setengah jam dirasa hanya mata ini yang masih menemaninya berdiri menunggu di antara keramaian manusia bersua foto mengabadikan momen terakhirnya di kampus. Tak tahu apa alasan setiap individu di antaraku semangat sekali berfoto yang kusadari bahwa tantangan sebenarnya telah menunggu dan predikat pengganguran segera disandang. Namun, tebakku setidaknya ini yang dapat mereka banggakan dipajang guna dipertontonkan. Hingga akhirnya pandanganku terbagi kepada sebuah mobil putih yang berhenti di dekatnya dan disusul seorang pria yang turun untuk menghampiri dirinya. Suaminya, batinku menerangkan.

Layaknya mendengar instruksi mata dan hatiku tertunduk melihat dia dan suaminya sebagai pengingat kekalahan terbesarku satu tahun yang lalu. Dan, inilah aku pun kembali mengingat salah satu sumber ketakutan untuk mendekata dan berkata-kata kepadanya, sebuah jarak yang benar-benar mulai saat itu menjadi pemisah.

***

Pikiranku masih segar menggingat satu tahun lalu sebelum kekalahan telak itu tiba ketika semuanya  benar-benar berbeda dari ini dan setelahnya, tak pernah ada memang sebuah pola komunikasi intens dan terjadwal, tetapi setidaknya tegur sapa atau sekadar bertanya terkait pelajaran yang belum kumengerti. Ada yang tidak dapat dipungkiri terkadang ini adalah sebuah kesengajaanku. Sebab, memang tidak ada cara lain, semua mengetahui betapa terjaganya dia sebagai wanita sehingga komunikasi yang terkesan membuang waktu atau tak memiliki sebuah nilai mestilah ia hindari.

Aku menilainya ini adalah sebuah sekat. Bahkan, pada awal bertemu  tak ada kata lain selain ‘wanita kaku’, batinku. Bukan karena tak paham akan ajaran agama aku beri nilai seperti ini. Hal tersebut cukup menonjol perbedaannya dengan perempuan di sekitarnya yang lebih modis dengan make up tebal, bibir berwarna merah, bahkan dari segi busana baik dalam lingkup kecil di dalam kelas atau kampus atau lingkup lebih besar di kota tempatnya tinggal. Aku sendiri tak tahu mengapa dan mulai kapan yang kemudian menganggap ini adalah nilai lebih dan sebuah faktor ketertarikanku kepadanya, tak ada momen atau cerita yang  mengubah penilaianku akan hal tersebut.  Kemudian kepintaran yang melekat kepada seorang wanita menurutku adalah sebuah syarat mutlak untuk menjadikannya spesial. Bahkan,  untuk hal tersebut semua laki-laki harus sependapat ini didasarkan banyak fakta empiris yang aku temui dan dalam litelatur yang kubaca. Pertama wanita yang cukup pintar secara akademik mau nonakademik mereka mampu melakukan check and balance apa yang dilakukan laki-laki secara obyektif tidak membenarkan atau menyalahkan atas dasar ketidaktahuan.

Kemudian saat pria dan wanita berinteraksi yang didasari pernikahan atau ikatan lainnya mereka satu sama lain menjadikannya partner untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka tetapkan, sehingga pengetahuan yang dimiliki keduanya adalah penunjang untuk mencapainya. Menurutku, ini telah melekat pada padanya yang terbukti pada indeks pretasi yang ia capai dan berbagai penghargaan dari lomba atau kegiatan yang ia ikuti.

Masih kuingat, Jumat setelah mata kuliah yang dimulai jam 9 pagi selesai untuk kemudian disambung salat Jumat. Citra berlari kecil menyusulku yang telah lebih dahulu keluar bergegas menuju masjid. Aku berbalik dan menghampiri ke arahnya ketika dia memanggil, “Hei Yudi, mau kemasjid? Ini ada undangan dari Citra.”

Mematung dan diam ketika nalar ini telah mampu menebak isi kerta biru yang dibungkus plastik tersebut. Mustahil itu adalah undangan perayaan hari ulang tahun darinya, yang mendasarinya adalah bulan lahirnya masih cukup lama paling tidak tiga bulan lagi dari hari tersebut. Juga, tidak mungkin perempuan yang menjaga agamanya ini merayakan ulang tahun karena yang lalu pun lewat tanpa perayaan.

“Oke, terima kasih,” jawabku singkat.

Terlampau bodoh bila aku bertanya apa isi atau maksud kertas tersebut yang aku sendiri telah menyadarinya. Selain itu waktu dan kondisi memaksa untuk bergegas pergi menuju masjid. Seakan menyadari hal yang sama bahwa tidak ada lagi yang perlu diberi tahu dan dijelaskan ia pun pergi dengan langkah kecilnya disertai wajah tertunduk. Aku pun tak berharap ia menatapku dan pergi dengan wajah tegak. Sebab, matanya akan menimbulkan lebih banyak harap dan mengundang berbagai spekulasi dalam diriku. Lain itu biarlah bumi yang menjadi cermin bukti kecantikannya tak perlu mereka orang lain.

Duduk dan menekur disertai suara khutbah Jumat, batinku tak dapat tenang dan khuyuk mendengarkan bukti kekurangajaranku kepada Tuhan di waktu yang cukup sakral ini. Ketidaktenangan dan kegusaran batinku tidak pada mencari jawaban “benar atau tidak berita ini?”, tetapi tidak siapa orang tersebut yang beruntung sekaligus mengalahkanku cukup telak. Sebab, semua yang mendapat kabar pernikahannya pasti memiliki pertanyaan sama. Selain tidak sedikit laki-laki yang tertarik kepadanya sepengetahuanku dan dia cukup tertutup akan hal demikian yang tentu akhirnya mengundang penasaran banyak pihak.

Dua jam lewat tanpa arti ditemani buku yang berisi beragam teori ekonomi dari berbagai latar belakang ideologi dan zaman Economic Development karya Ml Jhingan hanya kubuka tiap lembarnya terus habis dan kuulang lagi. Bukan lagi pertanyaan mengenai faktor kemiskinan atau kelangkaan yang sedang kupikirkan tapi siapa laki-laki yang namanya tertuli diundangan dan kelak menjadi suaminya. Masih dalam posisi dan tempat yang sama sejak keluar dari masjid selali sholat jum’at hingga jam ditangan menunjukan pukul 4 sore. Bukti bahwa tak mungkin ia masih dikampus dan meminta sedikit penjelasan paling tidak mengenai siapa dan kenapa.

Meski waktu telah larut dan keheningan aktivitas manusia telah dimulai aku masih terjaga dengan kegusaran yang kini timbul beragam pertanyaan kompleks dan sialnya semuanya jawaban itu tidak kumiliki walau hanya pemuas batin. Hari ini tidak hanya habis dengan penantian mencari jawaban. Telah kucoba menghubungi dengan ponsel hingga mengirim pesan singkat, tetapi tetap dengan hasil yang sama, tanpa balasan dan penjelasan. Sebuah jalan yang mungkin menurutnya tepat menutup berbagai celah komunikasi dari pihak luar atas pertanyaan-pertanyaan yang secara keseluruhan sama. Menghubungi kerabat dekatnya pun telah kucoba. Namun, sama seperti diriku dibalut ketidaktahuan yang kudapat hanya bahwa laki-laki tersebut adalah temannya sewaktu SMA dan telah lulus dari pondok ternama di Indonesia.

Satu hari menjelang pernikahannya pada hari Minggu esok masih tetap sama pengetahuanku akan pernikahannya, tidak bertambah. Namun, kegusaranku jutru menjadi-jadi. Yang kuharapkan saat ini adalah kelak penjelasan langsung darinya bukan teman atau informasi yang kudapat bukan darinya.

Sejak setahun yang lalu itulah semuanya berubah menjadi sebuah ketakutan dan sekat untuk mendekat dan berkata kepadanya. Bukan karena aku pengecut dan menyerah. Sebab, menjaga semuanya tetap seperti ini jauh lebih baik daripada harus membuka semua yang ia tidak tahu, yang mungkin saja mengundang sebuah persoalan baru yang tetap tidak akan mengubah alur dan akhirnya. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top