Cerita Bersambung

Negarabatin (8)

#4
KURUK SEKULA

Melihat Minan Nalom dan anak-nanak lain memakai seragam pagi-pagi keluar dari rumah,  terkadang ketika embun masih menyelimuti Negarabatin, menuju sekolah; begitu pula saat siang harinya bergembira keluar dari kelas pulang sekolah, Uyung ingin pula bersekolah.

“Mak kapan saya sekolah,” tanyanya pada Zanaha.

“Nah, kalau Uyung sudah bisa memegang telingamu. Cobalah,” sahut Mak.

Maka, berusaha keraslah Uyung mencoba tangan kanannya untuk memegang telinga kirinya melewati atas kepalanya. Belum sampai. Mak tertawa.

Sekarang dicoba tangannya lewat belakang kepalanya.

“Nah, sampai, Mak… sampai, Mak!” Uyung memekik-mekik.

“Bukan begitu. Lewat atas. Seperti ini,” Mak member contoh. “Coba, sampai tidak?”

Dicoba Uyung lagi. Dipaksa-paksakannhya supaya bisa. Tapi, tetap belum sampai.

Ai kidah[1],” Uyung melemah.

“Sabar, Uyung kahud[2]. Tidak lama lagi sampai… Dibanyakkan makan  supaya Uyung cepat besar, tanganmu cepat panjang, biar bisa memegang kuping…,” Zanaha memeluk Uyung sambil mengusap kepalanya.

Tenang hati Uyung manakala diperlakukan seperti oleh Mak. Besok-besok akan dicobanya lagi  memegang telinganya melewati atas kepalanya. Entah sudah seberapa sering dicobanya. Dicobanya lagi. Entah sudah sampai atau belum tangannya di telinganya ketika Bak mendaftarkannya ke sekolah dasar.        

*** 

1Januari 1977.Entah tangannya sudah sampai di telinganya atau belum, Uyung sudahn didaftarkan Jahri bersekolah. Tanggal tersebut Uyung dan teman-teman satu letting tercatat di rapor  mereka mulai masuk kelas satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Negarabatin. Iya, tahun ajaran baru dimulai sejak Januari. Bukan seperti sekarang tahun ajaran baru dimulai dari bulan Juli.

Gedung SDN 1 Negarabatin ini peninggalan Belanda yang didirikan pada 1908. Bentuk panggung, lantainya disangga oleh tiang-tiang balok sekira semester dan besarnya balik kira-kira ½ x ½ meter. Semuanya dari bahan kayu pilihan. Maka kekukuhannya tidak bisa diragukan. Walau gempa besar menimpa tak kan rubuh[3]. Zaman Belanda bernama Sekolah Rakyat, yang hanya sampai kelas lima. Karena itu jumlah kelasnya tidak bertambah, tetap lima kelas. Kantor sepala sekolah dan ruang guru tidak memiliki ruang khusus. Menumpang saja di kelas enam. Sepertinya dibuat dibuat dinding untuk memisahkannya dari ruang kelas enam.

Atap sekolah dari seng. Kalau hujan jelas ribut sekali. Di bawah lantai sekolah menjadi tempat bermacam-macam sampah dan binatang yang memang hidup di situ seperti undur-undur, kelabang, dan semut; kalau tidak binatang yang berteduh saat kehujanan seperti bebek, ayam, dan kambing. Di bawah lantai sekolah berdebu karena jarang terkena air. Sesekali disiram juga oleh penjaga sekolah. Meskipun demikian, tidak apa-apa, lingkungan sekolah kami bersih karena sering disapu oleh penjaga sekolah dan murid-murid yang memiliki jadwal piket. Suasana bersih ini ditambah pula dengan keasrian dan kesegaran tanam-tanaman aneka warna di halaman depan, belakang, kiri-kanannya.

Tempat sekolah kami persis di depan pertigaan jalan Negarabatin. Yaitu, di hadapan Tugu Merdeka[4].  Kebetulan pula memang tidak terlalu jauh dari rumahku yang di Uncuk[5] dan rumahku yang baru di Tangsi, ketika kami pindah rumah kala itu saat aku kelas dua SD. Bisa pulang makan ketika perai main[6]. Hahai…

Tapi, walaupun dekat sekolah, sepertinya aku tetap saja sering telat!

>> BERSAMBUNG


[1] Ai kidah: ungkapan khas Lampung, untuk menyatakan kekesalan, kekecewaan atau ledekan atas kegagalan.

[2] tersayang, terkasih, tercinta

[3] Negarabatin atau Liwa, Kabupaten Lampung Barat adalah daerah rawan gempa. Tercatat tiga gempa besar menerpa daerah ini selama abad ke-20, yaitu 1905, 1933, dan 1994.

[4] Sekarang berganti dengan dengan Tugu Kayu Hara (Kayu Ara), yang menjadi simbol atau erat kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Sekala Brak dan asal-muasal ulun Lampung.

[5] artinya ujung.

[6] jam istirahat sekolah

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top