Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (46)
Petani seperti Tamong Manan selalu punya kesibukan di ladang, di sawah, di kebun atau di mana saja, tetapi selalu punya kesempatan untuk berkumpul, ngobrol-ngobrol, dan bertukar informasi dengan sesama petani atau siapa pun. Ia mempunyai kemampuan berkomunikasi dalam banyak bahasa. Selain bahasa Lampung dan bahasa Indonesia, tamong juga sesekali berbicara dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Minang. Aku dengar di masa mudanya, Tamong Manan sempat bersekolah agama di Bukittinggi, Sumatera Barat. Tapi, karena ia anak tertua laki-laki, ia pun diminta pulang oleh orang tuanya untuk menjaga kampung dan menjalankan tanggung jawab bagi adik-adiknya. Bagi orang Lampung, anak tertua adalah segalanya yang akan menerima warisan dan meneruskan trah keluarga. Tradisi ini pulalah yang membuat ayahku yang waktu itu sekolah dan bekerja di Krui harus pula pulang ke Negarabatin untuk menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi anak laki-laki tertua, yaitu ahli waris utama dan menjadi tetua adat dalam lingkungan kerabat di desa ini. Dan, situasi semacam ini yang agaknya juga harus menimpa diriku sebagai anak tertua laki-laki dari ayahku. Ya, kembali ke desa. Entahlah.
Eh, iya Tamong Manan tidak selalu minap di kebun. Sering juga tidur di rumah pekon. Terutama hari Jumat. Ia akan Jumatan di pekon. Aku yang tak mau di kubu sendiri kan ikut mulang pekon.
Suatu siang di rumah pekon, Tamong, entah dari mana, menghampiriku dan berkata, “Mong, ini simpan!”
Tamong menyodorkan sebuah foto berukuran 4R padaku. Seraut wajah manis..
“Siapa ini, Mong?”
“Ini Misliani. Anaknya Pakngah Hamdi yang pernah kita kunjungi di Tanjungkarang dulu. Mereka dari Kebuntebu. Masih famili kita. Ingat kan? Sekarang Misliani sudah tamat sekolah bidan…”
Waduh… waduh… jelas ini maksudnya. Mungkin tamong heran denganku karena tidak menampakkan ketertarikan pada gadis selama hampir dua tahun pada mengikutinya bertani atau saat berada di pekon.
“Loh, kok foto ini ada pada tamong?” tanyaku.
“Tamong yang minta dengan Pakngah Hamdi…”
“Tapi, saya nggak kenal.”
“Lo, kan beberapa kali kita berkunjung ke rumahnya di Karang. Dia yang suka menyuguhkan kopi dan pengenan.”
“Nggak ingat, Mong.”
“Masa nggak ingat. Nanti kita ke rumahnya lagi.”
“Nggak-lah, Mong!”
…
“Ya sudah. Ini fotonya disimpan.”
“Nggak-lah. Tamong saja yang simpan.”
Kelihatan wajah kecewa tamong mendapatkan tanggapan dingin dariku. Dia pun meletakkan foto itu di meja kamar dengan posisi terpajang sehingga aku bisa langsung bisa memandang foto ketika masuk kamar yang sementara ini menjadi kamar bersama. Kamarku sekaligus juga kamar tamong.
Entah, persekongkolan apa yang telah dilakukan Tamong Manan dengan Pakngah Hamdi. Cewek manis ini jodoh untukkukah? Serius ini! Mana pula aku berani menertawakan tamong yang aku hormati dan yang menjadikan aku cucu tersayang. Ya, cucu laki-laki tertua yang akan meneruskan trah keluarga. Mak saja kalau mau meminta tamong melakukan sesuatu, mesti melalui aku. “Nut suruh tamong-mu mandi,” kata mak. Soalnya cuma aku, cucu kesayangannya yang mau dia turuti. Kalau yang lain-lain tidak bakal dianggap.
Begitulah. Aku kembali kembali ke tempat kelahiranku. Kembali tradisi mengolah tanah, terutama berkebun kopi yang telah berurat-berakar dalam masyarakat yang diberkahi bumi yang subur. Tak sekadar bertahan hidup, dari kopi ini, kami juag membangun masa depan yang lebih baik lagi. Bahkan, malahan ketika krisis meneter menerpa negeri, inflasi gila-gilaan, dan kurs rupiah merosot tajam hingga mencapai Rp25.000 per Dollar AS tahun 1997, para petani kopi di daerahku justru mendapatkan keuntungan berlipat-lipat. Harga kopi melesat tinggi mengikuti harga dollar yang diikuti dengan jumlah produksi kopi yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya membuat para petani terkaget-kaget menerima uang dalam jumlah yang sangat besar.
Betapa besarnya hasil kebun kopi para petani. Sungguh jauh banyaknya jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sebelum krisis moneter datang. Mereka sampai kebingungan bagaimana hendak membelanjakan uang bejibun itu. Konon, di pelosok-pelosok, dari hasil penjualan kopi yang tahun ini sangat bagus, baik harga maupun tingkat produksinya, para petani berbondong nyaris rebutan memborong makanan, pakaian, kendaraan roda dua dan roda empat, bahkan yang agak konyol… membeli kulkas, padahal desanya belum mendapat aliran listrik. Lalu, kulkas pun menjadi tempat menaruh pakaian.
Ah, aku mulai menikmati dengan senang dan gembira kehidupan di tengah masyarakat petani kopi di Negarabatin, negeri berselimut kabut di kaki Gunung Pesagi ini. Alamnya yang permai. Buminya yang damai. Tanahnya yang manjanjikan harapan. Di sinilah masa depan itu!
>> BERSAMBUNG