Cerita Bersambung

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (45)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis

23/
KEBUN KOPI DI KAKI PESAGI

KABUT pagi masih menyelimuti Negarabatin[1] ketika matahari mulai menampakkan diri dari arah timur. Sinarnya masih belum mampu menembus pekatnya selimut abadi Negeri Balik Bukit[2] yang terletak persis di kaki Gunung Pesagi ini. Sejauh mata memandang yang tampak adalah kehijauan belaka di bawah warna biru tertutup awan putih yang memantul dari pohon-pohon, batang-batang, dan aneka tanaman di ladang, kebun, dan hutan-hutan di areal pertanian dan perkebunan rakyat yang diberi penduduk nama-nama Setiwang, Seranggas, Kidupan, Sebidak, Tebakandis, Selipas, Pantau, dan Heru. Di hamparan bumi luas yang mengalir di wilayahnya sungai-sungai Way Setiwang, Way Rubok, Way Sindalapai, dan Way Sehuwok inilah penduduk Negarabatin bersawah, berladang, dan yang paling utama berkebun kopi.

Cerita tentang nasib baik dan nasib buruk petani kopi juga mewarnai keluarga-keluarga di Negarabatin turun-menurun bergenerasi-generasi puluhan tahun, bahkan ratusan tahun silam.

“Kopi inilah. Tak ada tanaman lain,” kata Abdul Manan, tamong (kakek)-ku.

Bagi Tamong Manan, bertani itu ya berkebun kopi. Yang lain-lain seperti bersawah, bertanam sayuran dan buah-buahan hanyalah tanaman selingan sebelum menanam dan berkebun kopi.

Kopi itu andalan untuk hidup lebih layak, membangun rumah, menyekolahkan anak, dan mewujudkan mimpi-mimpi di masa depan.

Kengeyelan poyang yang diwarisi orang semacam Tamong Manan dalam berkebun kopi ternyata tak pernah sia-sia. Ada kala harga kopi melonjak tinggi membuat petaninya memetik keuntungan berlipat ganda. Di tengah krisis moneter yang menyebabkan nilai rupiah merosot hingga Rp25.000 per Dollar AS pada tahun 1997-1998, para petani kopi justru mendadak mendapat keuntungan besar karena harga kopi per kg mengikuti nilai kurs Dollar.

Sudah hampir dua tahun aku berada di tengah masyarakat petani kopi ini. Aku merasa betapa besarnya anugerah Sang Pencipta atas kesuburan tanah Bumi Sekala Brak ini.  Kini, aku kembali ke tanah kelahiran yang pernah aku lupakan setelah “kalah” dalam pertarungan hidup di kota. Aku kembali merasakan kehidupan yang lebih menyenangkan di sini. Aman, tentram, dan damai membuat pikiran menjadi segar. Tak ada peperangan, permusuhan atau konflik yang menumpulkan rasa kemanusiaan.  Keramahan, perhatian, dan kebajikan-kebajikan antara sesama warga terasa tulus, tidak dibuat-buat, dan sama sekali bukan kedok yang menyimpan niat terselubung.

Saat pulang ke kampung halaman dengan rasa kecewa, patah semangat, frustasi atas sikap teman-teman dan orang-orang yang selama ini aku kenal selama ini di kota, aku bilang ke Tamong Manan bahwa aku akan ikut dia membantunya berkebun kopi. Meskipun ia sempat mempertanyakan kuliahku, Tamong senang-senang saja cucu kesayangannya bisa dekat dan membantunya berkebun.

Aku tak banyak berharap pada ayahku. Ia telanjur kecewa dan marah besar padaku setelah mengetahui apa yang telah terjadi, berlaku, dan menimpaku selama ini. Dia menudingku macam-macam. Sebenarnya wajar juga ayahku sangat kesal denganku. Sebab, selama bertahun-tahun sekolah dan kemudian kuliah, ehh… malah aku melakukan hal yang terlarang dan sungguh tidak terpuji bagi orang yang baik-baik saja, apa lagi oleh pemerintahan yang sah yang mereka sebut sebagai tindakan ‘melawan negara’, subversif, dan tentu saja harus menerima konsekuensinya: dipenjara. Masih untung tidak ‘dihilangkan’ dari muka bumi.  Bagi ayah, apa-apa yang telah aku kerjakan, perjuangkan selama ini, adalah tindakan konyol, tidak bermanfaat, hanya merugikan diri sendiri, dan merusak nama baik keluarga. Sebaliknya, aku yang tidak tahan mendengar macam-macam tuduhan, tudingan, dan omongan ayah menjadi panas hati juga dan menjawab semua ucapannya dengan keras juga. Terjadilah pertengkaran hebat antara ayah dan aku.

Sementara emak, meskipun sedih dan prihatin dengan keadaanku, ia tak banyak komentar. Emak cuma berpesan, “Ini semua jadi pelajaran untukmu! Tapi, kau jangan patah semangat. Jangan menyerah….”

***

Kebun kopi milik keluargaku tersebar di Seranggas, Selipas, Tebakandis, Heru, dan Uncuk, meskipun tiap bidang kebun tidak luas-luas amat. Malam ini aku menemani kubu Tamong Manan dan Kajjong Siti minap di Tebakandis. Bertiga saja di kubu[3]. Penerangan hanya lampu minyak tanah yang digantung di dinding. Di luar gelap. Tapi, untunglah cuaca sedang cerah sehingga langit dipenuhi bintang-bintang, meskipun bulan belum waktunya menampakkan wajahnya.

Capek bercakap-cakap dengan tamong, aku pun terlelap. Tadi, siang membantu tamong menyiangi rumput di sela-sela batang kopi sembari meletakkan pancing di tengah sawah. Tinggal beberapa hari lagi buah kopi dipetik karena walaupun masih hijau, tetapi sudah tua. Beberapa buah mulai kuning tua dan merah masak.

Umpan yang dipasang pada pancing ternyata sukses menarik minat ikan gabus yang akhirnya terjerat oleh mata kail. Betapa nikmat makan siang dengan ikan gabus hasil pancingan ini yang dimasak peros masin oleh Kajjong Siti lengkap dengan rebusan daun singkong siang tadi.  

Inilah yang membuatku tidur lebih cepat dan lebih pulas malam ini.  Namun, tiba-tiba orang-orang kota datang yang membuatku marah dan berteriak, “Pengkhianat! Jauh, jauh dari saya!”

Tapi, orang-orang itu tak pergi juga, malah menertawakanku, dan aku bertambah kesal.

“Jangan dekat-dekat dengan saya. Pergi… pergi…!” bentakku lagi.

Tamong… Tamong…, bangun-bangun….,” Tamong Manan menggoyang-goyang tubuhku.

Dan, aku pun membuka mataku dan bangkit duduk memandang Tamong Manan.

Ngapi, Mong?” tanya Tamong Manan.

Mak api-api, Mong,” jawabku tanpa minat bercerita.

Masih tengah malam. Suara jangkrik nyaring terdengar bercampur nyanyian kodok dari sawah di depan gubuk. Dingin terasa menusuk ke tulang sumsum. Aku merapatkan selimut tebal. Aku kembali terlelap!

>> BERSAMBUNG


[1] Negarabatin adalah ibu kota Marga Liwa, yang lalu menjadi ibu kota Negeri (Kecamatan) Balik Bukit, Lampung Barat (dulu: Lampung Utara). Selain di Liwa, toponimi Negarabatin  juga terdapat di beberapa tempat di Lampung seperti di Kabupaten Tanggamus, Way Kanan, Lampung Utara, Lampung Timur, dan Lampung Selatan.

[2] Negeri Balik Bukit kemudian berubah menjadi Kecamatan Balik Bukit sampai sekarang. Sistem pemerintahan negeri diselenggarakan berdasarkan Ketetapan Residen Lampung tanggal 3 September 1952 yang melakukan penggabungan marga-marga menjadi negeri. Di Kewedanaan Krui, Lampung Utara terdapat Negeri Balik Bukit dengan pusat pemerintah di Liwa yang meliputi marga-marga Liwa, Sukau, Kembahang, Kenali, Batu Brak, Suoh, dan Way Tenong. Lalu, Negeri Pesisir Utara dengan pusat pemerintahan di Pugung Tampak, yang meliputi penggabungan marga-marga  Ulu Krui, Bandar, Laay,  Way Sindi, Pulau Pisang,  Pugung Tampak, Pugung Penengahan, dan Pugung Melaya. Sedangkan Negeri Pesisir Selatan dengan pusat pemerintahan di Krui, meliputi penggabungan bekas marga-marga: Pasar Krui, Tenumbang, Pedada, Ngambur, Ngaras,  Bengkunat, dan Belimbing.

[3] kubu: gubuk, pondok di tengah ladang atau kebun

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top