Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (44)
Keluar dari tahanan bukan sebagai pahlawan, melainkan tak lebih dari seorang pecundang. Tak ada lagi yang bisa aku harapkan dari kampus, aktivis pergerakan, rekan-rekan seorganisasi intra dan ekstrakampus, teman-teman sesama mahasiswa, dan siapa pun yang aku kenal selama ini. Perjuangan membangun demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, membela rakyat yang tertindas, menciptakan keadilan sosial, dan menyejahterakan masyarakat bagiku sekarang adalah nonsens. Mereka, para aktivis itu tak lebih dari orang-orang yang penuh ambisi ingin memanfaatkan situasi untuk meningkatkan daya tawar mereka di hadapan penguasa dan pemilik modal. Demi kepentingan diri sendiri. Tak lebih. Tak peduli harus mengorbankan kawan sendiri untuk mendapatkan semua hasrat yang sangat pragmatis dan jauh dari cita-cita luhur untuk memperjuangkan negara-bangsa. Tampaknya idealis, gigih, dan pemberani melawan segala bentuk kezalimanan dan pelecehan atas hak-hak rakyat, tetapi sesungguhnya tak cukup kuat iman untuk menghadapi tantangan dari yang berkuasa lagi berduit. Bersua dengan tembok tebal, segera saja menjadi ciut dan berbalik menjadi pecundang, pengkhianat bagi teman, bahkan terhadap perjuangan bagi kemaslahatan negara-bangsa selama ini.
Aku terlambat mamahami semua ini. Kini semua menjauh. Aku sekarang sendiri. Aku telah kehilangan segalanya. Aku mencoba mencoba membayangkan satu persatu wajah-wajah orang yang kukasihi. Mulai dari dirimu, Pitha, yang begitu dekat, tetapi sedari awal rasanya memang tak bisa terjangkau olehku. Ada Tari yang manis, tetapi terlalu singkat untuk mengenalnya lebih dekat karena terpaksa atau dipaksa orang tuanya menikah dengan seorang lelaki yang sudah mengikat keluarganya dengan budi. Tari menikah muda sekali ketika ia belum lagi naik kelas dua SMP. Aku hampir tak percaya di zaman yang bergerak maju, masih saja berlaku perjodohan ala Siti Nurbaya. Aku ingin menentang itu. Tapi, apalah dayaku. Sebab, menampak padaku Tari nyatanya senang-senang saja. Setelah itu Tiara, adikku sayang yang harus pergi meninggalkan keremajaannya bersama ratusan saudaraku yang lain akibat gempa yang meluluhlantakkan Liwa 1994. Lalu, Vitalita Dania yang sempat menjadi tumpuan harapanku di masa depan, ternyata dalam perjalanan waktu sulit menerima keadaan diriku yang serba membingungkan, penuh ketidakpastian, dan akhirnya memilih seseorang yang lebih bisa memberikan kepastian. Dan, Nafsiah… ah, malangnya dirimu… Bukan, bukan dirinya yang malang, melainkan akulah yang bodoh dan sialan karena telah mengabaikan sekeping hati yang penuh ketulusan berharap mendapatkan sambutan dariku hingga akhir hayatnya. Kanker telah merenggut nyawanya tanpa aku bisa berbuat apa-apa.
Oohh… apa kini yang bisa aku lakukan? Semua menjadi gelap. Jalan-jalan membelukar dan penuh onak. Sementara, semangat dan vitalitas hidupku telah jatuh ke jurang yang paling dalam.
>> BERSAMBUNG