Tamong Saya yang Membanggakan dan Menginspirasi
: In Memoriam K.H. M. Arief Mahya
“Saya kenal Udo Z. Karzi karena kami berdua sama kelahiran Liwa, Lampung Barat.”[1]
BETAPA terharu, tersanjung, dan bangganya saya membaca tulisan K.H. Muhammad Arief Mahya yang ia ketik sendiri dengan mesin tik dalam dua halaman kertas HVS. Tamong Arief begitu saya biasa menyapa beliau menuliskan hal itu untuk endors–tapi malah menjadi kata pengantar–buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (diubah dari judul semula “Mamak Kenut: Sketsa-Sketsa Negarabatin”) yang rencanakan akan diterbitkan sebuah penerbit pada tahun 2005. Tapi, karena sesuatu dan lain hal, tidak jadi. Buku Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh akhirnya diterbitkan juga oleh Indepth Publishing, Bandar Lampung pada tahun 2012.
Kembali ke Tamong Arief, kalimat “Saya kenal Udo Z. Karzi karena kami berdua sama kelahiran Liwa, Lampung Barat” bagi saya memiliki banyak makna. Pertama, usia yang terpaut jauh antara saya yang kelahiran 1970 dan Tamong Arief yang kelahiran Gedungasin, Liwa, 6 Juni 1926, tak menghalanginya mengakrabkan diri dengan saya yang jauh lebih muda. Kedua, ada kebanggaan dari Tamong sebagai orang Liwa. Dan, Tamong sendiri adalah pejuang dan ulama kebanggaan orang Liwa sejajar dengan tokoh-tokoh asal (kelahiran) Liwa lainnya mulai dari Sulaiman Rasjid, Rais Latief, Faried Anfasa Moeloek, Sazli Rais, Tursandi Alwi, Edward Syah Pernong, Lincolin Arsyad, hingga Andi Arief.[2]
Tidak sampai di situ, di ketikannya itu Tamong Arief juga menulis:
“Dalam kaidah budaya Lampung Barat, jika umpamanya si A anak laki-laki tertetua seseorang, dia mempunyai adik kandung satu orang atau lebih (B atau juga ada C dan D) laki-laki atau juga perempuan, maka B, C, dan D tersebut harus memanggil (bertutur) Udo terhadap si A. Dan, C, D memanggil Abang untuk si B. Si D memanggil Kakak untuk si C. Budaya tutur ini tidak boleh kacau. Ini diajarkan sejak seseorang masih kecil.
Bertutur Udo begitu berlaku pula untuk keturunan A, B, C, dan D. Untuk anak laki-laki tertua si A (AA), maka semua anak dari B, C, dan D, baik laki-laki maupun perempuan yang umurnya di bawah AA, semua harus memanggil Udo, terhadap AA. Demikian berlanjut pada cucu dan cicit A, B, C, dan D selanjutnya.
Maka, mengertilah kita bahwa Udo Z. Karzi adalah anak laki-laki tertua dari ayahnya. Di lingkungan struktur kerabatnya, Udo Z. Karzi sedikit banyak mempunyai “anak buah”. Artinya, bagaimana pun Udo Z. Karzi berfungsi sebagai pemimpin di kerabatnya.”
Kutipan yang agak panjang–biar Udo Z Karzi bisa narsis dan eksis, meskipun meminjam tulisan tokoh ulama besar ini–menunjukkan Tamong Arief masih sangat paham dengan sistem kekerabatan di Liwa, Lampung Barat dan tutor (sistem/cara memanggil seseorang dalam kekerabatan Lampung Barat). Misalnya, “Tamong” (artinya kakek/nenek) adalah tutor saya kepada K.H. Arief Mahya.
***
Diterima sekolah di SMAN 2 Tanjungkarang pada 1986, saya kos di Pakis Kawat yang memang “kampung”-nya orang Liwa. Kami kos di rumah Pakbatin (alm) Idris Ilyas yang berasal dari Liwa di Jalan Nusa Indah No. 14. Yang kos di situ juga sanak-famili dari Liwa. Nyelip juga satu-dua dari Krui.
Rumah Pakbatin ini persis di samping Langgar/Musala Ar Rahman. Malahan kamar-kamar kos kami persis di belakang musala. Kalau jendela musala di buka, orang-orang dalam masjid langsung bisa melihat kami-kami anak kos yang nongkrong-nongkrong atau pesan mie tek-tek Mang Ganteng.
Meskipun berdempetan dengan musala, kami, saya terutama, tidak terlalu rajin salat berjamaah di musala ini. Ampun benar! Tapi, kalau salat Tarawih, “terpaksa” juga ngisi absensi di musala sesekali. Nah, di sinilah saya tahu imamnya, yaitu Tamong Arief yang suka juga memberikan kultum, di samping Pakbatin Idris Ilyas.
Sering pula ketemu juga Tamong Arief di Masjid Al Furqon, Lungsir saat beliau menjadi khatib dan imam Salat Jumat.
***
Saat mahasiswa, sering bertemu dalam berbagai diskusi, seminar atau aktivitas lainnya di antaranya menghadirkan Tamong Arief.
Komunikasi kami lebih intens ketika saya menjadi jurnalis Lampung Post, terutama saat menjadi Redaktur Opini dan Minggu untuk wawancara atau meminta tulisan. Tamong Arief adalah penulis produktif untuk tema sejarah, budaya, dan keagamaan. Tulisan ia ketik dan ia antar sendiri ke Lampung Post. Beberapa kali saya dipanggil Pak Bambang (Pemimpin Umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya) untuk ke ruangan beliau karena ada Tamong Arief yang mengirimkan tulisannya.
Beberapa kali juga, Tamong Arief meminta saya datang ke rumahnya untuk mengambil tulisan.
Tulisan Tamong Arief sangat rapi diketik dengan mesin tik. Walaupun sudah ada komputer, Tamong Arief tetap setia menulis dengan mesin tiknya. Saya yang jadi petugas halaman opini atau apresiasi, ya tinggal memuatnya setelah meminta tolong Taslim mengetiknya. Saya tak cukup berani mengedit atau memotong tulisan Tamong Arief. Sudah sangat bagus dengan bahasa formal! Sayang kalau ada bagian yang dibuang. Kalau pun tulisan kepanjangan ya diakali dengan dibagi menjadi dua bagian.
Tamong Arief adalah sosok “manusia paling konsisten” dengan karakter dasar yang membentuknya sejak belia. Konsistensi yang terjaga dengan bersih, meskipun peradaban mengalami evolusi yang sangat tajam dan manusia di sekitarnya berubah menjadi entitas yang kurang menghargai keaslian nilai-nilai warisan leluhur budayanya. Dia seakan sebuah buku tebal yang menyimpan dalam dirinya perjalanan seorang mubalig, intelektual, tokoh Nahdlatul Ulama, Ia guru, dan budayawan, mulai Desa Talangparis sampai Metro, lalu ke Bandar Lampung.
Sebagai guru agama, mubalig, dan tokoh Nahdlatul Ulama, dia mendatangi hampir seluruh pelosok Provinsi Lampung untuk menyebarluaskan syiar Islam, meningkatkan kualitas keimanan masyarakat Lampung, dan memperkokoh nilai-nilai sosial masyarakat dengan rumusan amar makruf nahi mungkar, lewat ceramah-ceramah agama. Sebagai intelektual muslim dan budayawan, K.H. Arief Mahya mampu menjelaskan bagaimana humanisme-teosentris sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam memunculkan sistem simbol yang dipakai dalam tradisi kultural masyarakat Lampung akibat terjadinya dialektika antara nilai dan kebudayaan.
***
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Tamong Arief yang saya kagumi, banggakan sekaligus menjadi inspirasi telah berpulang ke rahmatullah. Ayahanda Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arief dan Ketua Partai Demokrat Lampung Edy Irawan Arief ini meninggal dunia pada Rabu, 15 Mei 2024 pukul 14.43 di Rumah Sakit Urip Sumoharjo.
Tamong Arief menyusul istrinya, Hj Mas Amah, yang duluan berpulang pada 14 Agustus 2019 lalu.
Maafkan saya, Tamong. Saya telat mengetahui kepergian Tamong sebagaimana juga betapa lambatnya saya menuliskan ini.
Selamat jalan, Tamong Arief. Ilmu dan amal yang Tamong berikan
semasa hidup, insya Allah, menjadi bekal terbaik di kampung yang baru. Kami
yang muda-muda semoga bisa mengambil inspirasi dari perjuangan Tamong selama
ini. Termasuk, pesan Tamong, “… Perankan terus Mamak Kenut dan Minan Tunja!” Amin.
[]
[1] K.H. M. Arief Mahya. 2012. “Kritikus yang Cermat”. Ulun Lampung, 9 Juli 2012. tautan: http://ulunlampung.blogspot.com/2012/07/kata-kh-m-arief-mahya-mengenai-mamak.html. Diakses 18/5/2024.
[2] lihat Heri Wardoyo, et. al. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung. Bandar Lampung: Lampung Post.