Negarabatin (22)
Dari pagi sampai sore, Uyung tertawa-tawa senang saja. Tidak merasa sakit di nenet-nya yang baru saja disunat. Tapi, tengah malam, ketika semua tamu pulang atau tidur, baru mulai terasa nyeri nenet-nya. Rupanya obat biusnya mulai habis. Bagaimana tidak sakit jika dibuat terluka.
“Aduuh,” kata Uyung.
“Mengapa?” tanya Jahri.
“Sakit, Bak.”
“Memang. Tutup matamu. Jangan dirasakan sakitnya.”
Bagaimana pula, terasa sakit kok jangan dirasa-rasakan, kata hati Uyung. Tapi, ia diam saja. Nyeri nenet-nya ditahannya. Malu jika menangis. Itu sudah janjinya.
Untung Uyung mengikuti nasihat, jadi sunatnya cepat kering. Sebab, ada juga yang lama sembuh dari sunat karena keluyuran berjalan-jalan, nenet-nya kena tungu[1] pula. Wah, ribet kalau begitu. Tidak sedang sunat saja, nenet kena gigit semut, sengsara. Apalagi saat baru sunat kena tungu. Terlebih lagi sengsaranya.
Seminggu, bersarung saja sejak sunat. Belum bisa memakai celana karena nenetnya masih sakit jika dipakaikan. Ia juga belum berani bermain. Seminggu di rumah benar-benar tidak enak, jika diingatnya teman-teman sekolah dan bisa bermain ke mana saja yang mereka mau. Tambah pula ketika temannya menengok Uyung bercerita sekolah dan apa yang mereka lakukan.
Untung hanya seminggu. Minggu depannya, Uyung sudah bersekolah dan main.
#7
SETANGSI, SEUNCUK, SEPEKON KUDAN
Gedebak, gedebuk … bunyinya seperti orang berlari terburu-buru dikejar hantu. Benar, anak sekolah dari Uncuk kelompoknya Ijal, Riswan, Romzi, dan ada empat-lima lagi dikejar anak Tangsi di kebun kopi belakang rumah penduduk pekon.
“Kejar…,” teriak Benny.
“Yuhuu…,” yang lain menyambut.
Tidak terlihat seuncuk yang duikejar. Tapi, gerusak… Riswan terjatuh.
“Ini dia,” ujar Hendra.
Waduh, kasihan Riswan dikeroyok anak Tangsi. Na, lebam-lebam Riswan terkana tinju, sepak, yang ngawur… ada yang memukulnya dengan batang kopi.
Ya, aku memang ikut-ikutan saja. Cuma melihat saja. Aku tak ikut mengeroyok walau ikut mengejar mereka. Serbasalah. Aku berada di rombongan setangsi. Aku sebenarnya agak bingung mau ikut dari mana, dari Tangsi atau dari Uncuk. Kedua-duanya temanku. Aku lahir di Uncuk, tetapi besar di Tangsi.
Beberapa hari kemudian kedua gerombolan setangsi dan seuncuk berjanji bertemu lagi di kebun kopi hendak bertarung lagi. Tapi, sekarang seuncuk mengajak mamak-mamak mereka. Seperti Ijal membawa kakak yang bekerja di bengkel orang tuanya. Ketakutanlah setangsi, kabur sambil mengancam akan mengadu ke orangtua mereka yang tentara dan polisi.
“Awas kalian. Saya bilang ke ayah. Biar kalian ditembak,” kata Benny.
Alang takutnya kalau mau ditembak. Bertangis-tangisanlah anak-anak Uncuk.
Entah sudah keseringan berkelahi di sekolah atau tawuran keluar sekolah. Setangsi ini mecukik[2]. Tapi seuncuk tak mau ditindas. Karena itulah sering ribut.
Seperti ceritaku sebelumnya, rumahku sekarang di Tangsi. Jadilah, aku setangsi. Sebelum pindah, aku seuncuk. Yang lainnya, teman-temanku ada yang sepekon kudan[3], seterminal[4], dan serenglaya lawok[5]. Ada juga setamanjaya, tetapi sudah berbeda pekon. Ini hanya pengelompokan kami anak-anak saja.
>> BERSAMBUNG
[1] tungau
[2] nakal, suka mengganggu
[3] orang Pekon Kudan, orang Kampung Belakang
[4] orang terminal
[5] orang Renglaya Lawok, orang Jalan ke Laut