Impian Raja yang tak Mengindahkan Perbedaan

Oleh Hardi Hamzah
DALAM Kitab Perjanjian Lama dikisahkan sekelompok orang akan memdirikan Menara Babil. Mereka berniat untuk menyatukan diri, menyatukan bahasa dan menyatukan kehendak. Ternyata, niatan itu diketahui oleh Tuhan dan menara itu dihancurkan. Ini jelas, Tuhan ingin kita berbeda.
Demikian pula dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Titik berat dari dua kitab tersebut adalah perbedaan, saling mengenal satu sama lain dan mengusung kebaikan. Kebaikan dalam Islam diformulakan melalui universalisme takwa. Kebaikan dalam Kristiani (baca: Perjanjian Lama) bertumpu pada kasih dan sayang. Sementara Budha lewat Sidharta Gautama meaktualisasikannya lewat merasakan kemelaratan bersama. Kong Huchu dan Hindu membaringkan diri dalm praksisme kekuatan holistik.
Beranjak dari mikro pemikiran tersebut saya lalu teringat cerita legendaris dari Spanyol Don Kisot yang bermimpi menjadi raja yang kemudian ditundukkan oleh realitas masyarakat Spanyol yang bersatu tetapi berbeda.
Mungkin, itulah sebabnya Oviek ketika di abad pertengahan Romawi bercerita tentang Narsisus. Narsisus yang dicintai oleh bermacam macam gadis dengan setumpuk perbedaan paras yang semuanya cantik, tetapi ditolaknya, bahkan dibencinya. Lalu, Narsisus dikutuk oleh dewa, bahwa siapa pun juga yg dicintainya kelak akan membencinya.
Singkatnya, Narsisus ke danau dan berkaca melihat dirinya di air danau yg jernih, ia melihat dirinya begitu tampan. Lalu, dia sangat mencintai dirinya, tetapi ia pun ditolak olh dirinya sendiri, lalu kecewa dan mati.
Di salju yang becek dalam La Petet Dance dikisahkan perang antara Katolik dan Protestan di Prancis mengingatkan kita pada menguatnya proses perbedaan. Perbedaan memang suatu keniscayaan. Pun, perang salib telah membuat kita takzim terhadap kekuatan agama-agama.
Perbedaan, seyogyanya membuat kita sadar bahwa proses perbedaan tidak boleh dicemari oleh kemunduran dalam agama.
Agama semestinya dipahami sebagai kebenaran yang mutlak. Inilah sebabnya, kita menolak politik identitas, karena politik identitas yang mengatasnamakan agama tidak bisa memisahkn antara kebenaran mutlak dan “kebetulan” yang temporer. Maka, dalam beragama apa pun juga bentuk perbedaan itu harus bertumpu pada penyelamatan kebangsaan.
Bukankah seburuk-buruknya orang Meksiko di mata Donald Trump, mereka masih bisa hidup dalam perbedaan yang tajam lewat Batista yg interaksinya berujung antara perbedaan dan humanisme.
Lalu, apakah kita masih mau menjadi Don Kisot, sosok yang memimpikan menjadi raja dan tersihir oleh angan-angannya, tanpa mengindahkan perbedaan, fakta, dan realitas? []
———–
Hardi Hamzah, kolumnis
