Kolom

Mulang-Muloh

“CUMA 12 tahun, Agung bersama Opa. Datuk malah hanya 6 tahun,” kata Wan Agung Raihan Herza Muzakki Liwa (12), anakku.

Dia membicarakan ayah mertuaku, Hasan bin Zaid dan bak (ayah) Zubairi Hakim bin Abdul Hakim yang sudah mulang (pulang) ke Rahmatullah atau muloh (kembali) ke hadirat Allah Swt.

Innalillahi wainna ilaihi rajiun.

Ayah Hasan wafat pada 9 Ramadan 1443 H bertepatan dengan 10 April 2022 pukul 01.00 di Kemiling, Bandar Lampung. Opa yang kelahiran Kurungannyawa, 20 Juni 1940, meninggalkan 8 anak dan 23 cucu.

Sedangkan kepergian bak, lebih duluan, pada 27 Desember 2015.

Dua hari setelah itu, malam-malam Wan Agung yang minta tidur di kamar Opa menangis tersedu memanggil-manggil, “Opa… Opa…”

Yang lain mencoba menenangkannya. Masih terisak, Agung bilang, “Opa nggak bisa kasih Agung uang jajan tiap hari Jumat lagi.”

Alhasil, semalaman Agung tidak tidur dan dua hari kemudian ia jatuh sakit. Untung setelah dibawa ke dokter, sepulangnya dari klinik ia segera sehat kembali.

Semua mafhum jika Wan Agung sangat dekat dengan Opa. Kalau ada apa-apa sejak bayi semisal menangis karena sesuatu hal, Opalah yang menjadi ‘penyelamat’, menenangkan, menggendong, mengajaknya ke warung atau ke mana saja.

Ketika kami, ayah dan mamanya kerja, dan dang (kakak)-nya, Aidil Liwa, bersekolah (TK/SD), Wan Agung selalu bersama Opa-Oma. Kalau saya atau mamanya tidak memenuhi keinginannya, Agung selalu mendapatkannya dari Opa. Kalau orangtuanya melarang, Agung mengadu ke Opanya.

Begitu dekat antara opa dan cucunya seolah Agung menjadi anak bungsu Opa.

Tahun ini kami ber-Lebaran tanpa Opa dan juga tanpa datuk. Terasa ada yang kurang di hari baik, hari bahagia, hari penuh kemenangan ini.

Maka, ketika ada yang bertanya beberapa hari menjelang Idulfitri, “Keti mulang kudo kak Buka (Kalian pulang tidak Lebaran ini)?”, aku menjawab, “Halok mawat. Sekam ampai jak kecadangan, Opa mak lagi di bulan posa ji (Mungkin tidak. Kami masih berduka, Opa meninggal bulan puasa ini).”

Tapi, tidak bisa tidak, karena ada satu keperluan, aku mesti pulang juga ke Liwa. Sendirian saja! Tak mungkin kami sekeluarga pulang semua. Kasihan Oma yang baru ditinggal Opa kalau kami bikin acara pulang kampung juga.

Meskipun urusan di Liwa urung, aku tetap pulang. Bukan semata karena sudah memesan travel, melainkan aku juga kepengin pulang.

Begitulah, aku pulang malam-malam karena tak ada kendaraan pagi atau siang dari Tanjungkarang dan baru tiba di Liwa keesokan harinya pukul 02.30. Cuma dua hari di Liwa, berziarah ke makam bak, melihat sekura, berkunjung ke sanak-famili… Itu pun banyak yang tidak didatangi. Maafkan aku!

Empat hari. Satu hari perjalanan mulang (pulang) dari Tanjungkarang ke Liwa, dua hari di Liwa, dan satu hari lagi perjalanan muloh (kembali) dari Liwa ke Tanjungkarang.

Timbul keraguan, aku ini mulang ke Liwa atau mulang ke Tanjungkarang? Lalu, benar, aku ini muloh ke Liwa atau muloh ke Tanjungkarang? Antara mulang dan muloh kok tipis sekali perbedaannya.

Satu hal, aku dan semua — sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah Swt — pasti akan mulang, muloh, pergi atau apa pun istilahya memenuhi panggilan Ilahi Robbi: wafat!

Innalillahi wainna ilaihi rajiun.

Jadi, mulang-muloh hidup ini lebih-kurang adalah perjalanan menuju kematian.

Tabik. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top