Jika Benteng Terakhir Telah Pula Runtuh…
DOELOE, ketika saya masih bekerja sebagai tukang tulis di media, setiap hari saya menuliskan rata-rata dua opini–entah sekadar uneg-uneg, artikel, esai, kolom, pojok atau tajuk rencana.
Sekarang saya mulai bosan. Kasus-kasus begitu-begitu lagi: maling, korupsi, plagiat, bunuh-bunuhan, begal, pejabat bejat, … itu lagi-itu lagi. Saya mulai mengurangi menulis panjang-panjang. Dan, menggantinya dengan up date status di Facebook. Meskipun bagi yang malas baca, status-status saya di Facebook masih terlalu panjang. Hehee…
Mengapa saya bisa seproduktif itu doeloe itu? Sebab, negeri ini tak pernah lepas dari masalah. Semua gejala dan fenomena sosial-politik yang terjadi bagi saya adalah kajian yang asyik untuk diotak-atik, dikritik sekaligus ditertawakan.
Apa pun peristiwa atau tindak orang per orang, terlebih lagi pejabat tinggi dan lembaga-lembaga negara selalu bisa dikritisi dari berbagai sudut, terutama dari sisi kepantasan, moralitas, dan etika yang bersumber pada ajaran agama, moral, dan ilmu pengetahuan.
Selalu saja terjadi kesenjangan atau jurang yang menganga antara apa fakta yang terjadi dan apa yang semestinya berlaku.
Tapi, apa ajaran moral masih laku ketika agama, Kitab Suci, dan Tuhan pun telah pula dikorupsi. Zaman telah berubah. Di tengah dunia yang kian banal, idealisme, etika, dan moralitas hampir selalu bahan tertawaan.
Kasus terakhir misalnya, bagaimana kita (saya?) tidak geleng-geleng kepala mengetahui seorang rektor, seorang yang menjadi pimpinan tertinggi universitas negeri tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Bagi saya, kampus tetaplah menjadi benteng terakhir moral bangsa. Apa jadinya jika benteng terakhir moral bangsa ini telah pula runtuh.
Apalagi yang bersangkutan adalah guru besar yang juga menjadi pimpinan sebuah organisasi keagamaan yang sering meneriakkan antikorupsi dan antiradikalisme.
Sang profesor juga telah menelurkan sebuah buku puisi berjudul //Nuansa Kata dan Samudra// (2021). Mengenai antologi puisi ini, di e-commerce tertulis begini: “Tentang harapan, kehilangan, kerinduan, dan perasaan-perasaan manusia yang tergambar dalam baris kata.”
Sebagai manusia, ybs sempurna sudah sebagai pimpinan PTN, intelektual, agamawan dan “penyair (sastrawan)”. Cukup, bukan? Tapi, rupanya masih ada yang kurang… Ya, benar: masih merasa kurang banyak uang dan kekayaan.
Rupanya…
Waduh, tadinya mau nulis pendek kok malah kebablasan. Tabik! []