Kolom

Gegara Nama Samaran

ENTAH sejak kapan, saya suka memperhatikan nama penulis (juga penyiar dan artis) yang bagus-bagus dan membaca biografi mereka. Biasanya ada di halaman akhir atau di sampul belakang buku. Ada juga yang saya baca di leksikon, ensiklopedia, tokoh atau buku pintar sastra/jurnalistik.

Banyak dari para penulis yang tetap menggunakan nama lahirnya. Tapi, saya menemukan tidak sedikit yang menggunakan nama samaran, nama pena, atau pseudo name. Tujuannya, macam-macam. Terserahlah pada niat penulis masing-masing.

Tidak mungkinlah saya sebutkan semua yang memakai nama samaran. Hanya beberapa nama saja. Di antaranya, Adinegoro adalah nama pena dari Djamaluddin Malik, Hamka merupakan kependekan dari nama panjang Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Willibrordus Surendra Broto Rendra merupakan nama panjang W.S. Rendra, A.A. Navis bernama lengkap Ali Akbar Navis, bahkan Ahmad Yulden Erwin sempat menggunakan nama Ahmad Geboh.

Japi Tambayong mempunyai banyak nama seperti Remy Sylado, 23761, dan Alif Danya Munsyi. A.S. Dharta memiliki banyak nama lain di antaranya Klara Akustia dan Yogaswara. Dua nama Mira Sato dan Seno Gumira Ajidarma adalah orang yang sama.

Arswendo Atmowiloto yang keren ketika mengirim karya ke media dengan nama aslinya, Sarwendo, malah tidak dimuat. Kali nama lahir Arswendo kurang komersil.

Ada juga nama perempuan Agnes Yani Sardjono yang sesungguhnya pria sejati bernama M. Budi Sardjono.

Asaroeddin Malik Zulqornain Choliq memvariasikan nama aslinya dengan A.M. Zulqornain Ch., Asaroeddin M.Z. atau Amzuch.

Beberapa nama ngetop lain Dee Lestari bernama lahir Dewi Sulastri, El Hakim (Abu Hanifah), Gola Gong (Heri Hendrayana Harris), Gus tf atau Gus tf Sakai (Gustafrizal Busra), Fatimah Hasan Delais (Hamidah), Aryanti (Haryati Soebadio), Karim Halim (R.O. Hanka), Matu Mona (Hasbullah Parinduri), Badaruzzaman (M. Dimyati), Motinggo Busye (Bustami Djalid), Mozasa (Mohamad Zain Saidi), Naim Emel Prahana (Naimullah), Nh Dini (Nurhayati Sri Hardini), Pandir Kelana (Slamet Danusudirdjo), Purwa Atmaja (Anwar Isnudikarta), Samadi (Anwar Rasjid), Sarosi (Samadi Roeslan Sidik), S.M. Ardan (Syahmardan), Selasih atau Seleguri (Sariamin), Sosiawan Leak (Sosiawan Budi Sulistyo), dan Viddy AD Daery (Anuf Chavidy).

😆

Ada juga Achmad Rich (Achmad Khairil), Binhad Nurrohmat (Nurrohmat) Budi P. Hatees (Budi Parlindungan Hutasuhut), Fajar Mesaz (Fajrullah), Hendra Z (Zulkifli), Lupita Lukman (Shantika Lupita Sari), Panji Sastra Sutarman (Sutarman Sutar), Syaiful Irba Tanpaka (Syaiful Irba saja, Tanpaka itu maksudnya tak pakai k), dan ZA Mathikha Dewa/Awil Ilfikluz (Zulkifli Anaz).

***

Maka demikianlah, dalam proses kreatif kepenulisan sejak 1985, saya menggunakan nama-nama: Kantek Joel Kz, Joel K. Enairy, Yuli Karnaty, Mamak Kenut, Z. Karzi, Udo Z. Karzi, dan Zulzet Renorya. Yang agak lama saya pakai Joel K Enairy hingga 1991, lalu Z Karzi yang kemudian menjadi Udo Z Karzi.

Tadinya, pemakaian nama pena ini semata-mata agar saya tidak dikenali sebagai penulis cerita, puisi atau artikel di media massa. Sebab, saya termasuk bukan anak yang dianjurkan menjadi pengarang atau penulis, walaupun tidak pula dilarang.

Yang penting bagi saya kala itu adalah ada honorarium untuk tulisan yang dimuat. Ini yang saya suka!

Ada kesenangan tersendiri saat mengetahui tulisan saya dimuat koran atau majalah. Lalu menjadi lebih bahagia saat wesel datang yang di kolom beritanya ditulisi, “Honor tulisan berjudul…. di …. tanggal….” Dan agak kecewa kalau tulisan yang dimuat tidak berhonor, karena bagian keuangan koran lupa atau memang medianya tidak menyediakan honor.

Berkenaan dengan nama samaran ini, sekali waktu saya ribut hebatdengan mbak cantik tukang pos. Di wesel tertulis honor a.n. Joel K Enairy. Si Mbak bertahan tidak mau memberikan uang kiriman dari koran karena nama saya di Kartu Pelajar bukan nama itu, melainkan Zulkarnain Zubairi.

“Ini nama pena, nama samaran saya, Bu,” jelas saya.

“Mana buktinya?” si Mbak tIdak mau tahu.

Otot-ototan dengan si Mbak, saya tetap tidak bisa meyakinkannya.

Akhirnya saya berkata keras, “Ya, udah… uangnya untuk Ibu saja.”

“Eh, bukan begitu…”

“Kalau tidak begitu, kenapa uang kiriman ini Ibu tahan-tahan?”

“Saya hanya perlu memastikan kiriman ini sampai kepada orang yang benar.”

“Saya mau bilang gimana lagi, Bu. Joel K Enairy itu saya….”

“Tapi….”

….

Keributan ini rupanya sampai ke Kepala Kantor Pos. Saya pun diminta bertemu kepala kantor. Masih dengan esmosi saya katakan apa yang terjadi.

Pak Kepala dengan tenang berkata, “Ya, Dik. Maafkan kami. Kami memang harus berhati-hati agar setiap kiriman sampai ke tangan yang berhak.”

“Jadi, uang saya tidak bisa saya ambil?” saya masih dongkol.

“O, bisa. Mana identitas Adik?”

Saya sodorkan Kartu Pelajar. Dia lihat sebentar, lalu menyodorkan sejumlah uang. Ketegangan saya kendor dan agaknya saya mulai bisa tersenyum.

“Ini tanda tangan di sini,” kata Pak Kepala lagi.

“Ya, Pak…. Terima kasih.”

“Sama-sama, Dik.”

Selesai. Saya pun keluar dari ruangan kepala kantor pos, melewati si Mbak tadi yang pura-pura sibuk tidak mau melihat ke saya.

Ya, nggak apa. Alhamdulillah, honor tulisan bisa cair.

Belakangan ketika diminta menjadi narasumber, juri atau ada urusan lain, saya selalu ditanya, “Maaf Pak, nama lengkap Bapak?”

Tulis Udo Z Karzi saja. (Terusannya cuma dalam hati saja: Kan gak ngaruh ke saya karena gak bisa dipakai buat pengajuan kenaikan pangkat atau gaji.)

Tapi, lama-lama bosan juga ditanya nama lengkap.

Ya sudah, nama lengkap saya Zulkarnain Zubairi. Kalau titel, tak perlulah ya.

Tabik. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top