Sosok

Muhammad Yusuf Rizal (3-Habis): Si Introvert Andalan Ebak dan Emak

Oleh M Saddam SSD Cahyo

BAGI keluarganya, kabar kematian Ijal ibarat petir yang menyambar di siang bolong. Ebak dan Emaktak kuasa menahan tangis meratapi putra bungsunya yang pagi tadi berpamitan sudah tak lagi bernyawa. Namun, dibalik duka yang teramat dalam, mereka begitu tegar dan ikhlas menerima kenyataan. Ijal, anak yang sejak kecil berwatak penurut dan pendiam itu ternyata memiliki karya besar dan pergaulan begitu luas di luar rumah. Seorang senior sekira di tahun 2008 pernah bercerita, ia baru saja ziarah dan silaturahmi ke rumah keluarga almarhum. Meski matanya masih selalu berkaca dan bibir kadang bergetar, konon Ebak (kini sudah almarhum) selalu hangat menyambut siapapun yang berkunjung untuk mengenang putranya.

Ahmad Jusmar, kakak kandung mendiang Ijal dalam wawancara mengakui hingga sekarang pihak keluarga masih merawat bundel dokumen yang berisikan segala macam kliping koran, foto-foto, dan buku catatan harian. Ia bahkan sempat terkejut ketika menemukan fakta adiknya ternyata seorang pengarsip dan pencatat yang tekun dan detil. Di dalam buku hariannya, Ijal menyimpan banyak potongan kliping berita demonstrasi, juga berbagai konsep tulisan setengah jadi yang hanya berupa sobekan kertas kumal. Ia juga mencatatkesan perjalanannya menjumpai tahanan politik, Budiman Sujatmiko di penjara Salemba, Jakarta Pusat.

Terlahir di Teluk Betung pada 5 Juli 1978, Muhammad Yusuf Rizal adalah bungsu dari empat bersaudara. Kakak pertamanya perempuan yang sudah menikah dan tinggal diboyong suami ke Unit II Menggala. Kedua abangnya sama-sama merantau untuk berkuliah di Yogyakarta. Otomatis Ijal seoranglah anak yang tinggal di rumah. Bagi semuanya, ia bukan sosok bungsu yang manja dan kerap merajuk. Sebaliknya ia justru sangat mandiri dan benar-benar penurut sampai menjadi “anak andalan” kedua orang tuanya.

Bahkan setelah ia berstatus mahasiswa yang notabene juga aktivis pergerakan di luar sana, Ijal tak sekalipun membantah apalagi menolak jika disuruh Emak membeli minyak tanah dengan jeriken literan di warung tetangga. Pun demikian jika Ebak menyuruhnya menggiring kambing peliharaan untuk kembali ke kandang agar tak kuyub diguyur hujan yang sudah memberi pertanda akan turun ke Bumi.Ijal, mahasiswa semester lima berambut gondrong dengan kulit sawo matangitu tak pernah mengeluh dan selalu mengiyakan. Maka wajar saja jika kepergian sang martir ke haribaan-Nya menyisakan lubang kosong di hati keluarga.

Foto-foto Ijal saat menggeluti hobinya. (DOKPRI AHMAD JUSMAR)

Dalam benak kenangan Jusmar sang Kakak, si bungsu andalan keluarga itu memang berkarakter introvert. Bahkan kala tiba musim liburan semester dan kedua abangnya pulang ke rumah, Ijal harus dipancing lebih dulu untuk memulai cerita. Menurutnya, meski pendiam, sang Adik sesungguhnya menyimpan banyak bakat dan luwes bergaul. Ijal yang bertubuh tinggi semampai itu selain punya hobi pada aktivitas pecinta lingkungan, diketahuinya juga tergabung sebagai penjaga gawang dalam club Sepak Bola FISIP Unila. Sering pula ia tampil garang di berbagai Festival Musik sebagai vokalis RFC band yang beraliran rock.

Pernyataan soal karakter dingin dan tertutupnya Ijal ini dibenarkan pula oleh kawan-kawan almarhum. Suci dan Uthet pun menyebut selama mengenalnya dalam satu organisasi, tak ada secuilpun ingatan jika Ijal pernah menggoda wanita, ia malah selalu kikuk jika harus berinteraksi dengan kawan-kawan perempuan meski sudah kenal dekat. Berga sohib kental yang nyaris 24 jam selalu bersama, bahkan baru mengetahui jika Ijal memendam rasa suka yang teramat pada teman sejurusannya yang berinisial RIA, justru setelah ia wafat. Terutama dari berbagai curahan perasaannya yang ditutup rapat dalam lembaran buku harian.

Itulah sepenggal kisah Muhammad Yusuf Rizal, yang mati secara paripurna. Sebagaimana bunyi dalam petikan sajak favoritnya:        

Ibu, jika besok aku ‘ndak pulang, burung perenjak di halaman
tak berhenti bernyayi, angin menebar amis darah dari jalan-jalan

dan kau membaca sebuah nama tiba-tiba dikabarkan hilang
tak usah cemas dan jangan menangis.

—————-
* Artikel ini ditulis untuk buku Romantika di Kampus Oranye: Dinamika FISIP Universitas Lampung dari Kisah Alumni (proses terbit).

M Saddam SSD Cahyo, alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung Angkatan 2008.Saat ini bekerja sebagai Analis Kelembagaan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP RI). Aktif menulis kolom dan cerpen di media massa. Kumpulan artikel opininya di rentangtahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top