Kolom

Hidup dan Romantisme Kebersamaan

Oleh Hardi Hamzah

HIDUP, ujar filsuf, adalah teka teki dalam derajad ananta atau tak terhingga,terkadang ada pada beranda religi. Berpijak pada tapak bumi yang purba. Ini berbeda dengan para teolog modern. Mereka berkilah bahwa hidup kerendahan kesendirian (solitare) menjadi pakem mutlak bagi para teolog itu, sementara sosok yang lain tetap di pusaran imperialisme dan merchantilisme dan kekacauan global.

Maka,agaknya benar ketika Descartes bertanya tentang nilai-nilai kehidupan yang lalu dijawabnya sendiri, bahwa saya berpikir maka saya ada, yang diamini tiga abad kemudian oleh Albert Camus dengan pameo saya berontak maka saya ada, dan dibuat menarik dengan Goenawan Mohamad mengatakan saya berontak maka kita ada.

Tak jauh dari itu, teologi pembebasan yang ditransformasikan pada para pemikir Amerika Latin. Paul Baran Dos Santos dan Andre Gundar Frank mengajak kita berkaca bahwa dalam pusaran imperialisme yang sarat merkantilisme sesungguhnya masih ada misias atau ratu adil yang dekat dengan beranda masyarakat dunia ketiga semisal mitologi yang diterjemahkan sebagai local wisdom. Inilah terapi yang masih ada hubungan kimiawi dengan negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Itulah sebabnya, merujuk pada filsuf teolog dan teologi pembebasan, setiap orang akan mengikuti garis dasar kemanusian. Alfarabi, pemikir muslim terkemuka merajut hubungan kesenyawaan antara kehidupan dan kemanusian. Ia mengatakan, setiap hidup adalah denyut nafas perjuangan keagamaan. Karena itu, ujar Farabi, persatuan nilai equivalent antara bangsa dan religi tidak terhindarkan. Tentu Farabi benar. Ini bila kita kaitan dengan kesejukan setiap kali kita menangkap ragam keagamaan dalam keagamaan yang pluralis.

Tapi,  ia akan memunculkan distorsi bila agama dan kemanusiaan digadengkan dengan utopia tentang khilafah.

Khilafah yang bagai kecenderungan masyarakat yang menyukai tahayul persis berdampingan dengan imajinasi semu yang terkadang berselaput pemberontakan radikalisme. Ini tentu saja tidak dapat dibiarkan. Bila ini dibiarkan alegori hidup dan kemanusiaan menjadi centang-peranang. Religi menjadi alat pragmatis. Inilah yang menyingkirkan keagungan nilai religi pada setiap kehidupan.

Kita toh tidak mau agama diperkosa dalam pilar kekuasaan bagai abad pertengahan. Perang agama 30 tahun di Perancis dan kemunculan ISIS adalah contoh paling menarik bahwa agama tidak ada ada kekuatan semionik bila dihubungkan dengan kosakata politik yang praksis.

Memang kita memahami bahwa gugusan atmosfer tak lepas dari seluruh dinamika kehidupan. Entah kita tidak mau agama hanya diambil abunya, tetapi tidak mengobarkan api kehidupan dan kemanusian. Sebagaimana ditulis Bung Karno pada awal abad ke-20. Demikian pula Gandhi dan para pemikir teolog realisme yang melihat kehidupan agama dan kemanusian mempunyai hubungan kimiawi yang kuat antara satu agama dengan agama yang lain. Pada titik inilah kita bersuara bersama bahwa berbeda dalam agama sama halya dengan menyatukan hidup dan kemanusian.

Dengan demikian, nampakya Fukuyama benar ketika ia mencemooh radikalisme dan teroris yang mengatanamakan agama. Kekhawatiran ini yang kemudian memicu Samuel P. Huntington untuk menghawatirkan adanya perbenturan peradaban. Meski ini muskil, justru yang muskil kecenderungan besar untuk berakibat fatal. Maka, kita akan lebih bijak bila hidup kemanusiaan dan religi bersebadan alam romantime kebersamaan. []

———–
Hardi Hamzah, kolumnis

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top