Kisah si Pengantar Surat Cinta


Oleh Udo Z Karzi
SETELAH aku riwayatkan seseorang yang
sakit-sakitan karena asmara dan kepengin segera kawin, kini akan saatnya aku
bercerita tentang si pengantar surat cinta teman itu.
Ya, kisahku sendiri.
Aku katakan, ini bukan pertama kalinya aku menjadi kurir cinta. Sebab, sebelum dan sesudahnya aku acap menjadi perantara untuk menyampaikan surat asmara.
Ehm, selain menjadi pengantar surat cinta, beberapa kali pula aku menjadi ghost writer surat cinta. Bayang pun, sudah aku bikin, surat cintanya pun aku antar ke ceweknya. Bukan atas namaku pula.
Benar-benar tidak punya perasaan si cowok dan si cewek. Lah, isi surat itu benar-benar curahan hatiku yang terdalam. Untuk itu saya sudah belajar menulis puitis dan romantis dari Motinggo Busye, Fredy S, Hamka, Amir Hamzah, STA, Chairil Anwar, majalah Anita Cemerlang, termasuk buku contoh Surat-Menyurat Cinta Muda-Mudi Terkini.
Surat cinta terbaik aku tuliskan yang bisa membuat si pembaca tersentuh dan sukses meluluhkan hatinya. Tapi sial, surat berwarna ungu itu bukan atas namaku.
Mungkin, karena surat cinta palsu dan aku kurang ikhlas menuliskannya, jalinan asmara cowok-cewek yang aku perantarai tak langgeng.
***
Aku bingung, terkejut, dan shock ketika Kifli, sahabat karibku memintaku untuk menyampaikan sepucuk surat kepada seorang dara, adik kelas kami di SMP dan adik kelas dia di SMA. Aku beda SMA dengannya.
“Kenapa tidak kau sampaikan sendiri?” sesalku.
“Saya tak segagah itu untuk mengatakan perasaanku langsung atau memberikan sendiri surat kepadanya. Saya ini apalah dibanding dengan dia.”
Aduh, bagaimana ini. Sahabatku ini memang aneh juga. Mengapa tidak dari dulu ia nyatakan sesuatu yang tependam lama dan kian subur di hatinya kepada S, gadis manis itu. Ini tidak, giliran hendak pergi jauh ke ujung negeri ini, Kifli malah dihibukkan oleh rasa itu.
Ngaco benar!
Sementara aku… aku tidak pernah punya pengalaman berhadapan muka empat mata dengan seorang perawan. Aku selalu gerogi ketemu cewek. Apalagi hendak mengajaknya bercakap-cakap. Mana ada nyaliku. Kalau beramai-ramai sih sering. Tapi, itu tidak ada urusannya dengan hati.
Namun, apa boleh buat. Dua tiga hari setelah kepergian Kifli, aku mengunjungi S di rumahnya. Setelah mengetok dan menghaturkan salam, pintu dibukakan… astaga, oleh bapaknya.
Agak gerogi, aku bilang mau ketemu S. Bapaknya heran, S juga, dan yang lain yang di rumah termasuk.
S keluar dan menemuiku di ruang depan. Gila! Pantasan Kifli jatuh cinta dengannya, kataku dalam hati. Selama ini ke mana saja cewek ini sembunyi sampai-sampai aku tak tahu kalau ada dia. Jangan-jangan aku pun mulai tertarik dengan gadis ini. Tapi, bagaimana pun, aku kan hanya ingin menyampaikan amanat dari seorang sahabat.
Aku tak ingat betapa gemetarnya aku. Syukurlah, tugas itu bisa dilaksanakan dan surat itu sampai ke tangannya dengan selamat.
Tapi, belum selesai. Oleh Kifli, aku mesti meminta balasan suratnya, memasukkan amplop surat dari S ke amplop yang lebih besar, dan mengirimkannya lewat pos ke Ujung Negeri.
“Aih… langsung saja kenapa?” protesku.
Kifli ketawa saja.
“Kau saja,” ujarnya.
Dua minggu sudah aku kirimkan surat balasan S untuknya, surat Kifli datang ke alamatku. “S menolak cintaku,” tulis Kifli dalam suratnya.
Setelah itu, malah aku dan Kifli yang pacaran, hahaa… berbalas surat tak putus-putus berhalaman-halaman bercerita tentang apa saja, tentang cinta, ditolak cewek, rasa frustasi, harapan-harapan di masa depan, dan seterusnya. Tulisan tangan Kifli bagus sekali. Tapi, kalau sudah panjang sering ia ketik surat disertai puisi dan cerpen yang ia kirim ke media dan beberapa di antaranya dimuat di media massa di Jakarta. Setelah aku menjadi redaktur di majalah dan koran kampus, aku muat juga. Sebagian lagi, saya kirim ke Lampung Post dan dimuat oleh redakturnya.
Akan halnya S, aku paham mengapa dia tak membalas perasaan Kifli seperti halnya Kifli juga sangat mengerti mengapa S tak menyambut hatinya. Ya, siapa tahan berpacaran jarak jauh yang untuk bertemu belum tentu bisa setahun sekali. Teknologi komunikasi pun tidak secanggih sekarang ini.
***
Sekian tahun berlalu. Mungkin tak mengkhianati teman sendiri kalau seandainya aku mulai mendekati S. Tapi, aku kecele. S sudah ada yang punya. Kata orang sih, sebelum ada janur kuning menghiasi rumah, S masih direbut. Hahai… Tapi, aku orang yang mudah patah semangat dalam urusan yang begini.
Jadi, ya sudah cukuplah aku menjadi pengantar surat cinta saja. []
