Panjang Ingatan Saya tentang Muhammad Harya Ramdhoni


PANJANG sekali ingatan saya tentang sosok Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah. Ia menghubungkan saya dengan banyak orang, banyak peristiwa dalam waktu panjang sepanjang lebih dari setengah abad hidup saya hingga kini.
Saya coba tuliskan penggalan-penggalannya.
***
Tahun 1998, saya guru (honor) Ilmu Ekonomi dan Akuntansi di SMAN 1 Liwa. Saya pulang kampung setelah mengalami penurunan semangat untuk terus menjalani profesi wartawan. Saya pikir menjadi guru adalah pekerjaan yang asyik dan menyenangkan. Dan, memang demikian adanya. Saya menikmati benar proses belajar-mengajar, menghadapi berbagai persoalan pendidikan langsung di persekolahan, dan bagaimana hambatan yang terjadi dalam transfer ilmu dari guru kepada siswa.
Saya enjoy-enjoy saja. Sampai suatu ketika, terjadi demonstrasi siswa. Entah, apa yang diprotes murid kepada guru dan sekolah, saya tak terlalu ingat.
Setelah demo siswa–yang patut diduga imbas dari suasana Reformasi Mei 1998–guru-guru rapat menyikapi demo ini. Hasil rapat tak terlalu penting dikatakan di sini. Tapi, saya mendengar bahwa unjuk rasa ini dipimpin seorang siswa kelas dua. Dia anak pejabat di Pemkab Lampung Barat.
Namanya: Doni!
***
Tahun 2009, Galih Priadi mengajak Doni, panggilan Harya Ramdhoni, berkunjung ke rumah di Kurungan Nyawa, Pesawaran. Kenalan dan obrol-obrol seputar dunia karang-mengarang.
Dia bilang senang membaca-baca sastra dan tengah menggarap novel sejarah Sekala Brak. Soal tulis-menulis ini tak terlalu saya perhatikan benar. Biasalah, terlalu banyak orang bercita-cita jadi pengarang, tidak pernah punya kesempatan menulis atau mengarang untuk mewujudkan cita-citanya itu
Namun, saya antusias karena dia, katanya, orang Liwa. Satu marga dengan saya. Saya tidak tahu kalau kelak setelah menikah, ia di-tetah-kan menjadi Suntan Pangeran Indrapati Cakranegara VII, Sai Batin Marga Liwa.
Yang saya tahu seusai obrol-obrol itu, Doni adalah cucu tertua mantan Camat Balik Bukit Abdul Muis. Ayahnya, Chairul Muluk, seorang dokter dan pernah menjadi Kepala Dinas Kesehatan Lampung Barat, yang merupakan putra pertama Abdul Muis, tidak terlalu saya kenal.
Tapi, paman-paman Doni, anak-anak Abdul Muis yang lain, Huari, Cahyadi, dan Hendra, saya tahu karena sempat satu sekolah di SD Negeri 1 Negarabatin Liwa (sekarang: SDN 1 Liwa).
“Apa kabar Hendra? Ommu kan, Don?” tanyaku sembari mengenang Hendra yang pernah sebangku dengan saya di kelas satu SD ini sebelum pindah ke Tanjungkarang dan meneruskan sekolah di kota ini .
Anehnya, meskipun tetanggaan di Pakis Kawat ketika saya juga bersekolah SMA di Bandar Lampung, saya tak pernah bertemu teman kecil saya ini. Ah, meskipun satu kompleks, mungkin saya beda lepel dengan anak-anak pejabat ini kali. Hehee…
Beda dengan di Liwa yang cuma kota kecil. Di desa… eh, kota kecil ini, saya biasa saja main di rumah dinas Pak Camat (sekarang yang menjadi Wisma Sindalapai) yang anaknya sekelas denganku, bermain-main di sana atau main-main ke tangsi (kompleks Polsek Balik Bukit lama) tempat teman sekelas saya yang lain yang anak polisi, anak tentara, anak PU, anak Kehutanan, …anak pejabat.
Di SDN 1 Negarabatin Liwa, ada seorang guru yang terkenal ‘segik’ dan mestilah ‘sanak-sanak cukik’ ingat. Zubairi Hakim namanya.
Ya, dia ayah saya sekaligus guru dan wali kelas satu SD kami.
***
Tahun 2010, Doni, Y Wibowo, dan saya himpun serius untuk menerbitkan sebuah novel sejarah berlatar Kerajaan Sekala Brak. Novel ini, kata Doni, ia selesaikan di sela-sela melanjutkan program Ph.D. Sains Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia. Ia mencampurkan fakta sejarah dan fiksi dalam menggarap kisah. Nama-nama tokoh, kerajaan, tempat, aksara, suku, dan benda memang ada. Beberapa ritual adat, panggilan kebesaran, alat-alat kebesaran, kesenian, dan sastra lisan masih lestari digunakan masyarakat adat Lampung Saibatin.
Wuah, luar biasa. Untuk pertama kalinya saya mengeditori sebuah novel panjang. Lahirlah anak rohani pertama Muhammad Harya Ramdhoni berupa novel Perempuan Penunggang Harimau, terbitan BE Press, Bandar Lampung, Januari 2011. Peluncuran novel ini dengan menghadirkan pembahas sastrawan Binhad Nurrohmat dan Pemimpin Redaksi Lampung Post Djadjat Sudradjat di Aula Lampung Post, Bandar Lampung, 15 Januari 2011 mendapat sambutan yang luar biasa. Apresiasi atas novel yang muncul dari berbagai kalangan yang membaca novel ini sungguh menggembirakan.
Novel Perempuan Penunggang Harimau sebenarnya sudah tamat. Tapi, saat himpun dengan saya dan Y Wibowo, Doni berapi-api bilang akan menulis kisah Sekala Brak ini dalam pentalogi. Setelah catatan akhir, tertulis: “Nantikan novel selanjutnya: Persaudaraan Maulana”. Bahkan, dalam biodata penulis disebutkan Perempuan Penunggang Harimau merupakan novel pertama Doni dan segera disusul novel-novel karyanya yang siap terbit:
1. Persaudaraan Maulana
2. Di Bawah Bayang-Bayang Pohon Sekala
3. Kembara Orang-Orang Kalah
4. Risalah Pengibar Bendera
5. Orang-Orang dari Hujung Langit
6. Perempuan Komunis Terakhir.
Sebagai editor dan penerbit lokal saja, saya dan teman-teman tim agaknya perlu mempersiapkan energi untuk menggarap novel-novel selanjutnya. Sebagai pembaca, saya dan yang lain tentu masih penasaran dengan kisah pasca runtuhnya Kerajaan Sekala Brak Hindu. Semua menunggu.
Namun, Doni belum juga meneruskan novel yang sudah ia mulai. Ia malah menerbitkan Hikayat Orang-Orang yang Berjalan di Atas Air (kumpulan cerpen, 2012), Mirah Delima Bang Amat (kumpulan cerpen, 2017), Sihir Lelaki Gunung (kumpulan sajak, 2018), dan Kitab Pernong (kumpulan cerpen, 2021). Dan, yang membanggakan buku puisi bahasa Lampungnya, Semilau (2017) memenangkan Hadiah Sastra Rancagé 2018.
***
Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 15 Juli 1981 ini sebenarnya dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (Unila). Tapi, ia jarang sekali menulis dan ogah diwawancarai wartawan mengenai politik. Alih-alih meneruskan aktivitas di dunia akademis, ia malah mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Universitas Lampung pada 1 April 2018. Padahal, ia telah mengajar di FISIP Unila 10 tahun lebih. Semua itu ia tinggalkan karena keinginannya berpolitik, masuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Ini orang memang aneh.
Pada 2019, Doni dan saya dipertemukan Tim Gerakan Literasi Daerah Lampung Barat sebagai narasumber dalam Marok Literasi di Wisma Sindalapai, Liwa, 9 Juli 2019. Setelah itu saya tak ingat pernah bertemu lagi. Tapi, semua buku karyanya, termasuk yang terbaru, Kitab Pernong (2021), ia berikan langsung kepada saya. Entah itu, dia datang ke rumah maupun janjian bertemu di suatu tempat.
***
Sejak 2022, Doni seperti menghilang dari peredaran medsos. Tiba-tiba tengah malam kabar duka menyeruak malam-malam.
Innalillahi wainnailaihi ilaihi rajiun. Ahmadi Pahlewi melalui postingan ig-nya, Rabu malam, 19 Maret 2024 sekitar 21.30 mengabarkan bahwa Doni telah berpulang ke Rahmatullah pada Rabu, 19 Maret 20 Maret 2025 pukul 19.32.
Ah, Bung. Engkau selalu penuh kejutan. Kabar kepulanganmu ini juga mengejutkan kami. Sudah lama tak bermain-main di medsos.
“Iya, Do. Menghilang. Kirain sedang bertapa buat buku,” kata sastrawan Rilda A Oe Taneko yang tinggal di Inggris.
“Saya pikir juga begitu,” sambut saya.
Tapi, dugaan Rilda benar terkonfirmasi dari komentar Evit Wong Setiawan, pelukis cover novel Perempuan Penunggang Harimau. “Innalillahiwainnalillahi rajiuun. Ya Rabb… baru beberapa bulan lalu berkabar soal novel mau terbit lagi. Kok ya Allah, Brother. Saya bersaksi engkau orang baik. Selamat jalan, Brother. Alfatihah,” ujarnya.
Ya, selamat jalan, Bung. Kami akan selalu mengenangmu dan membaca kembali karya-karyamu. Semua itu menjadi ladang amal yang insya Allah mengalir sebagai bekal terbaik menuju keabadian. Amin. []
