Pustaka

Perempuan dalam Pengalaman Luka dan Pengalaman Cinta

Wanita duka sedih. | Bianca Van Dijk/Pixabay

Oleh Yuli Nugrahani

PEREMPUAN dipersiapkan menjalani luka sejak dia masih sangat remaja. Pengalaman luka dialaminya saat bulan-bulan dadanya mulai tumbuh. Luka yang tak terlihat karena ada di dalam rahimnya, tiap bulan mengucurkan darah secara rutin. Kadang luka itu harus dilalui dengan tangis karena memang sakit. Sering juga disertai lonjakan emosi yang bahkan tidak dimengertinya dengan baik hingga bertahun-tahun. Pengalaman luka seperti itu harus dia sembunyikan dengan baik, mesti dianggap biasa oleh semua orang bahkan oleh dirinya sendiri, karena itulah bagian dari kodratnya sebagai perempuan.

Bagi sebagian perempuan, mereka berhasil memaknainya rutinitas luka ini sebagai ‘persiapan’, atau menjadi semacam latihan. Ada banyak peristiwa di kehidupan perempuan akan berhadapan dengan luka yang lebih besar dari pada sekadar menstruasi. Saat mereka sungguh-sungguh bisa menerima dirinya sebagai ‘perempuan’, mereka bisa sampai pada ‘titik maklum’ yang ikhlas. Mungkin saja ada keluhan, tapi keluhan itu menjadi rangkaian bunga di sujud doanya. Atau, mungkin saja ada amarah, tapi amarah itu dibungkus rapat dalam alunan cinta setia tak tergoyahkan.

Kekayaan luar biasa seperti ini tak mungkin bisa direbut dari perempuan. Karena anugerah itulah, perempuan menjadi kuat jauh melampaui penampakannya. Yang keterlaluan, ada juga yang menganggapnya sebagai manusia ‘yang tidak apa-apa dilukai’ karena dia sudah terlatih untuk luka.

Perempuan sering dianggap bisa menyembuhkan dirinya sendiri sehingga banyak orang yang abai terhadapnya. Kadang-kadang, dia butuh ditanya: “Apakah kau sudah makan? Apakah kau baik-baik saja hari ini?” Atau pertanyaan-pertanyaan lain.

Perempuan sangat mudah bertanya karena dia peduli dan ingin dipedulikan secara sama. Pada situasi tertentu pertanyaan-pertanyaan itu dianggap kecerewetan, sehingga banyak pertanyaannya tak dijawab dengan baik. Pun, perempuan sangat ingin ditanya, karena sebenarnya pertanyaan bisa menjadi sebentuk kepedulian. Tapi, dalam beberapa kenyataan, banyak jawaban perempuan dibungkus dengan air mata, sehingga si penanya kapok melakukannya, seolah pertanyaan itu yang melukai.

Elly Dharmawanti menulis dalam Cerpen “Sincia di Mata Mei” tentang pengalaman pergulatan dengan luka duka sejak masih menjadi perempuan kecil.

Mei gadis kecilku yang baik. Aku tau pasti itu. Ia tak ingin membuat semua orang mengkhawatirkannya. Ia bahkan tidak ingin membuat keributan sekecil apa pun, bahkan sekadar membantah kalimat yang aku ucapkan. Tidak pernah! Ia gadis yang penurut, menyimpan duka di setiap tatap matanya. Aku tahu itu. Aku sadar itu.

Duka Mei bisa dipahami oleh ibunya. Sesama perempuan semestinya lebih memahami, apa lagi dalam lingkaran hidup yang sama: ibu dan anak perempuannya, atau nenek dengan cucu perempuannya, sahabat perempuan, dan sebagainya.

“Meski harimu penuh darah dan air mata, tak boleh ada duka di hari Sincia.” Ini pesan yang sering didongengkan oleh para sesepuh tua, turun-temurun. Karena itu setiap Sincia tiba aku dan Mei selalu menyembunyikan air mata, meski aku selalu tahu doa yang ia lapalkan setiap harinya, setiap tahunnya, “Tuhan tolong kembalikan, papa.”

Dalam Cerpen “Perawan Tua, Perempuan, dan Laut”, Elly menuliskan hal yang menandaskan hal itu.

Bagi Siti, hanya emak yang ia punya di dunia ini, hanya emak yang mengerti perasaannya, hanya emak yang melindungi dan membelanya dari cemoohan orang-orang, termasuk kedua saudara perempuannya.

Kekuatan perempuan untuk menyembunyikan luka, membuat orang lain tak memahami luka itu. Ini sangat merugikan. Namun saya, yang juga seorang perempuan, pun mempunyai kecenderungan itu walau pikiran saya sesekali mengarahkan hal yang sebaliknya. Cerpen “Sepatu Kets Biru”, saya yakin dituangkan atas pengalaman pribadi Elly sebagai perempuan.

Aku menatap gerimis yang turun senja ini. Dari jendela kamar yang setengah terbuka, aku membiarkan udara dingin menerpa kulitku. Aku membiarkan semuanya, lukaku, airmataku, mimpi-mimpiku. Aku di sini, memilih di sini, menyembunyikan luka di sebuah tempat yang tak terdapat dalam peta, berjuang melawan sakit dan benci yang tidak ingin kutunjukkan pada siapa pun. Tidak padamu ataupun mereka yang turut prihatin atas kisahku. Meski tak mudah, meski butuh waktu yang sampai entah, aku tak akan menyerah, aku akan tetap berjuang untuk baik-baik saja dan tetap berdoa semoga kamu bahagia dengan dia.

Alasan tidak mengungkapkan luka bisa ditelusuri lewat berbagai kemungkinan. Sebagai seorang ibu, aktif dalam berbagai kegiatan, Elly, si penulis cerpen, pasti punya banyak pengalaman perjumpaan dengan banyak perempuan yang membuatnya bisa mengambil kesimpulan-kesimpulan umum. Mengungkapkan luka bisa menghadirkan cemooh, label negatif, cacian, atau olokan. Kebanyakan orang menuduhkan aib pada korban. Cerpen “Ibu Aisah” yang ditulis Elly bahkan diakhiri secara tragis. Bukan peristiwa tragis yang langka, bahkan hal itu sering terjadi.

Lewat hampir semua cerpen dalam buku ini, Elly menampilkan ragam bentuk reaksi terhadap luka. Perempuan dituntut untuk menyembuhkan luka itu secara mandiri walau sebenarnya ada banyak perempuan yang tak mampu melaluinya tanpa bantuan orang lain. Diperparah lagi oleh tuntutan umum yang bahkan membuat perempuan menjadi merasa bersalah jika tak bisa menyembuhkan luka. Cerpen “Mantra Penyembuh Luka” melukiskan hal itu:

Berhari-hari setelah itu, jangan pernah tanya hatiku. Aku bahkan lupa cara makan dan tidur, lupa bagaimana harus menegakkan kepala dan tersenyum. Aku benar-benar hancur, meski sudah ratusan kali kurapal mantra sakti itu dengan sepenuh hati, berharap keajaiban masa kecilku hadir kembali, berharap tak ada sakit lagi…

berkutek berkunang
kejijek mak ngisang
peh.. peh…peh…

Dengan mata berlinang kupegang dadaku yang sakit. Aahhh, Ibu maafkan aku, kali ini mantramu tak mempan untuk hatiku.

Cerpen-cerpen Elly mengisahkan kematian-kematian ragawi dan nonragawi, juga harapan-harapan. Kemampuan tiap perempuan berbeda.Dan, tak ada ukuran standar yang bisa digunakan. Setidaknya, menghadapi luka dalam kecantikan dan sukacita bisa menjadi pilihan. Cerpen “Salui Pitu” memberikan petunjuk terhadap dua kata kunci tersebut.

“Kalau kamu mau secantik putri raja, mandilah ke salui pitu sekarang juga,” ujar Among Unah tertawa memamerkan giginya nyang nyaris ompong semua.

Kekhasan yang tak mungkin disaingi dari Elly adalah balutan Lampung dalam semua tulisan-tulisannya. Pembaca mesti menangkap serta mengapresiasinya sebagai usaha, upaya, perjuangan, untuk menghidupi dan menghidupkan Lampung dalam literasi abadi.

Lalu, di manakah pengalaman cinta seorang perempuan? Keseluruhan cerpen Elly dalam buku ini adalah kisah cinta. Saya yakin, dengan membacanya pembaca akan menangkap relasi cinta perempuan dengan ibu, suami, anak, sahabat, kekasih, dan sebagainya. Cinta itu muncul karena hasrat hati perempuan yang senantiasa ingin menyembuhkan sekaligus terus berada dalam kesembuhan.

berkutek berkunang
kejijek mak ngisang
peh… peh…peh…[]

————-
Yuli Nugrahani, lahir di Kediri tahun 1974, saat ini tinggal di Lampung, menjadi sekretaris Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) periode 2024–2028.

*Ditulis untuk pengantar buku Mantra Penyembuh Luka, Kumpulan Cerpen Elly Dharmawanti (proses terbit).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top