Pustaka

Memaksa Orang Membaca

Gadis membaca. | Elf-Moondance/Fixabay

DOELOE, kalau ada tulisan menarik atau tulisan sendiri yang saya anggap menarik, saya lemparkan ke media sosial (medsos) dengan men-tag 50 atau lebih orang. Biasanya saya sertakan kutipan (qoute) atau kadang sedikit pandangan saya atas tulisan dimaksud.

Saya sebenarnya dengan tag-tag itu tengah “memaksa” orang membaca tulisan-tulisan yang saya lempar ke medsos tadi. Tak sekadar membaca komentar saya atau quote yang saya pilihkan. Tapi, saya ternyata salah. Selera atau minat orang ya beda-beda. 

Karena itu saya mulai sedikit mengerem diri untuk mengurangi jumlah person yang di-tag karena mulai menyadari, tidak semua orang menyukai tulisan yang saya anggap menarik tadi. Ada yang bilang begini, “Biarkan saya memilih bacaan saya sendiri. Jangan paksa membaca yang Anda baca!” Bahkan, ada yang japri ke saya, “Tolong jangan tag saya kalau tidak ada kaitannya dengan …”

Baiklah. Kebiasaan orat-oret, biasanya agak panjang, saya susah hilang. Biar tak ‘pecah palak saya’, saya tetap harus menulis panjang-pendek di medsos. Dan, saya agaknya tak harus terlalu peduli ada yang baca atau tidak.

***

Agak kesulitan mau memulai dari mana, saya pakai saja orat-oret saya ini di Facebook, 2 April 2024 lalu, membuka tulisan untuk menjawab pertanyaan, “Mengapa saya menulis?”

Ya benar, saya menulis agar dibaca banyak orang. Tidak ada yang saya rahasiakan atau saya tutup-tutupi ketika saya melempar tulisan, apa pun medianya. Belakangan, lebih sering di medsos. Saya menulis apa saja. Semua genre tulisan: puisi, cerpen, novel, feature, artikel, esai, kolom, tulisan ilmiah, … apa saja saya coba.

Semua yang saya tulis adalah hasil pembacaan, termasuk membaca pertanda alam. Hahaa… Benarlah, tak suka baca, mana pula senang menulis. Apa yang mau ditulis kalau tidak (jarang?) membaca.

Sedari kecil saya suka didongengi yang dalam tradisi Lampung disebut warahan. Macam-macam dongeng. Setelah bisa membaca, saya mulai bertualang bersama aneka kisah dalam bentuk cerita anak, cerita rakyat, cerita pendek, cerita bersambung, novel hingga naskah drama. Di antaranya ada juga yang berbentuk puisi dan artikel.

Sejujurnya, saya tak terlalu rajin belajar dalam arti membaca buku paket pelajaran ketika sekolah, mulai dari SD hingga SMA, kecuali kalau ada PR yang tidak dihindari harus dikerjakan. Saya lebih senang membaca fiksi yang dibilang cuma membuang-buang waktu dengan berkhayal. Kalau kemudian saya dapat rangking di kelas, barangkali hanya keberuntungan belaka. Hahaa…

Tapi, kemudian saya tahu dari Remy Sylado bahwa belajar adalah membaca. Lalu, saya bikin moto: “Belajar adalah membaca, utamanya novel dan komik.” Saya agaknya tidak salah. Sebab, kata Bambang Sugiharto, novel itu rekaman jatuh bangunnya manusia, rekaman kerumitan emosi dan imajinasi. Novel pentingnya justru karena dia tulisan individual, tulisan personal, dan itu menjadi penting karena hidup itu tak sesederhana pengetahuan, tak sesederhana ilmu pengetahuan, tidak sesederhana sains.

Maka, belajarlah saya dari novel Sebatang Kara karya Hector Malot, Oliver Twist karya Charles Dickens, Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain, cerita-cerita anak Mansur Samin yang saya baca ketika masih sekolah dasar, Mochtar Lubis, Nh Dini, Ahmad Tohari, lalu “keterusan” ke novel-novel lain karya penulis dari dalam dan luar negeri setelah masuk SMP, terlebih setelah setelah urban ke kota untuk melanjutkan ke SMA dan perguruan tinggi.

Tak semata belajar, novel-novel (dan karya sastra lainnya) lebih menumbuhkan kesadaran akan hakikat kemanusiaan. Cerita-cerita anak karya Mansur Samin misalnya, sangat mempengaruhi pemikiran kanak-kanak saya. Dari karya sastra itu, saya mendapatkan semangat perlawanan terhadap lingkungan yang feodalistik, ortodok, paternalistik, dan antikritik.

Setiap kali membaca, fiksi-nonfiksi, ada saja yang terpikirkan, terasakan, dan terbayangkan. Apa yang terpikirkan, terasa, dan terbayangkan itu merangsang otak, hati, dan naluri untuk menggerakkan tangan: menulis! Tak memilih tempat dan waktu, kapan saja dan di mana saja. Menulis menyampaikan suatu gagasan, pendapat atau pemikiran. Bisa juga  bertutur, berkisah atau bercerita. Keduanya, beropini dan bercerita boleh untuk menghibur, sekadar memberi tahu, bahkan bisa mempengaruhi orang.

***

Menulis ya menulis saja seperti orang-orang terdahulu yang telah mengabadikan sejarah. Menulis juga menjadi sarana  bersilaturrahmi dan menebar kebajikan.

Tapi, kemudian saya jadi keranjingan menulis karena ternyata tulisan di koran atau majalah ada honoriumnya. Menang Sayembara Menulis Artikel yang diselenggarakan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tahun 1990 dengan hadiah uang yang lumayan besar membuat saya yakin bisa hidup dan menghidupi dari menulis. Ketika kuliah, aktif di pers mahasiswa membuat saya semakin karib dengan dunia tulis-menulis. Selesai kuliah, ternyata saya tidak punya kemampuan lain selain tulis-menulis itu, maka terpaksalah–bahkan mungkin sudah “dikutuk” seumur-umur—saya menjadi jurnalis melanjutkan aktivitas selama mahasiswa.

Lalu, memenangkan Sayembara Cipta Puisi Naratif Wisata-Budaya Lampung Festival Krakatau X – 1999 menyadarkan  bahwa ternyata saya juga bisa membuat puisi. Sesekali, saya ikut lomba menulis. Satu-dua menang. Hadiahnya, signifikan untuk melanjutkan perjalanan kehidupan.

Benarlah hingga kini, bagi saya, menulis itu untuk hidup dan menghidupi.

Ya, itu sudah. Setelah ini, saya hanya mau tetap menulis. Dan, semoga saya tetap bisa memaksa orang membacanya.

Tabik! []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top