Human

Penodongan tak Berdarah

Oleh Lessie Novitasari

Aku bukan penulis. Tapi, aku juga ingin menggoreskan jejakku.

“Saya coba, Kak. Sudah banyak lupanya,” kataku pada editor buku ini.

Si tukang edit tetap keukeh memintaku menulis. “Dijamin apa pun yang Lessie tulis bakal bagus dan keren,” ujarnya.

Tepok jidat. Ini penodongan namanya. Penodongan tak berdarah. Tapi, apa boleh buat. Soalnya waktu kuliah dulu saya juga suka minta tolong dalam hal tulis-menulis. Terutama, untuk tugas kuliah yang aneh-aneh.

Sekali waktu misalnya, mendapat tugas dari Pak Sarwoko. Pak Woko ada-ada saja. Pengasuh mata kuliah Psikologi Sosial ini masa menyuruh kita orang mengamati perilaku siswa SMA yang keluar sekolah begitu bel pulang berbunyi.

Kalau ngeliat saja sih tak mengapa. Ini disuruh menarasikan atau mendeskripsikan kelakuan anak-anak itu.

Aduh, bagaimana ini, aku kurang bisa menuliskan ceritanya.

Untungnya ini kerja kelompok. Untungnya juga ada yang bisa dan biasa menulis. Jadi, aku bisa ikut memerhatikan tingkah anak-anak pulang sekolah di SMA-ku sdulu.

Kakak tingkat ini biasa ditodong. Tapi, tak mengapa. Yang ditodong senang-senang saja. Hahaa…

Maka, sambil menghela nafas panjang, aku mulai menuliskan ingatan masa laluku kuliah di Kampus Oranye.

Aku menginjakkan kakiku di FISIP Unila tahun 1992, melalui jalur PMKA (sekarang: SNPTN). Bangga dan senang banget rasanya. Kuliah itu gimana sih? Tidak terbayang pada awalnya.

Singkat cerita, aku diterima sebagai mahasiswa baru dan setelah itu menjalani perkuliahan sebaik-sebaiknya di Jurusan Sosiologi FISIP Unila.

Dulu, sebelum masuk masa perkuliahan, kami mahasiswa baru mengikuti Penaratan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) terlebih dahulu. Dalam penataran ini, tidak hanya mahasiswa FISIP, tetapi juga ada mahasiswa Teknik dan MIPA yang satu tempat penatarannya dengan kami di kampus FISIP. Tidak banyak yang kukenal saat penataran dulu. Kusadari, aku agak pendiam kala itu.

Waktu berjalan, saat kuliah aku mulai punya banyak teman yang baik yang banyak membantu saat kuliah dan di luar kuliah. Begitu jugaku mulai banyak kenal dengan kakak-kakak tingkat. Kakak tingkat yang kukenal baik saat itu Kak Riyanto, Kak Nanda (aku lupa namanya sepertinya ini), Kak Sensen (Pemred Majalah Republica), Kak Zoel, yang sampai sekarang  sampai sekarang masih berhubungan baik. Dan Kak Zoel, banyak membantu kalau ada kesulitan, khususnya menulis. Siapa lagi ya kakak tinggat yang kukenal wajahnya aku inget banget tapi namanya lupa. Aku mencoba untuk mengingat tapi malah tambah gak inget. (Hahah).

Aku juga mulai ikut bergabung di Majalah Republica yang ada di kampusku. Belajar menulis, belajar mengedit, mengelem, menggabung-gabungkan lembar demi lembar sehingga menjadi majalah. Entah apa istilahnya aku sendiri lupa.

Lembur sampai malam mengerjakan majalah ini bersama teman-teman Heri Mulyadi, Emy Shido, Rikki Arrohman, dan kakak-kakak tingkat yang aku lupa namanya (mohon maaf!). Ruangan tempat kami beraktivitas di Republica ini kecil. Tapi, tidak menghalangi kami tetap berkreasi.

Zaman itu, kami masih masih naik angkot (angkutan kota) biru untuk menuju kampus atau naik bus Damri dengan karcis karcis untuk pelajar dan mahasiswa. Saat itu ongkos angkot dari Tanjungkarang ke Unila hanya Rp100 saja dan tiket Damri khusus pelajar hanya Rp75. 

Itulah era kita. Kalau naik angkot kita bisa turun di depan Masjid Al Wasi’i. Tapi, kalau naik bus turunnya di jalan raya depan Unila kemudian kita harus jalan kaki menuju Kampus FISIP. Jika terlambat, kita mesti lari-lari dari depan menuju kampus. Bayangkan!

Ini berangkat ke kampus. Pulang kuliahnya sore, terpaksa jalan kaki dari kampus ke jalan raya depan (pintu masuk Unila). Untuk mengerjakan tugas-tugas aku mengetik menggunakan mesin ketik. Kalaupun harus menggunakan komputer harus ngerental dengan membawa disket DOS dan WS. Anak sekarang mungkin tidak mengalami kondisi ini.

Aku ini terkenal dengan payungku. Dari awal masuk sampai akhir, aku tidak pernah ketinggalan yang namanya payung, yang melindungiku dari hujan dan panas. Hehee…

Di kampus inilah aku bertemu sahabat-sahabatku yang sampai saat ini tetap menjadi sahabat, bahkan saudara.

Aku terbiasa dipanggil ‘Mbok’. Entah apa dasarnya mereka memanggil aku begitu. Kawanku yang lain ada disebut  Ember, Iik, bahkan ada juga Bahlul. Itu nama-nama panggilan sayang kami.

Bersama teman-teman yang lainnya, kami sering kali duduk-duduk di bawah pohon depan Gedung E, menunggu jam kuliah dimulai. Administrasinya di Gedung F.

Pembimbing Akademikku Pak Suwarno. Orangnya baik dan ramah ramah.

Masih ingat dalam benakku kalau nilai sudah keluar, maka kita akan beramai-ramai meliat pengumuman nilai yang ditempel di papan pengumuman di Gedung F. Terkadang yang sudah melihat nilai pun masih juga ikut-ikutan melihat lagi. Momen inilah yang sekarang takkan terlupa. Padahal dulu ngerasa sebel banget bergerombol meliat pengumuman nilai. Setelah pengumuman nilai nanti mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) mengunakan pensil Stedler 2B seperti Ujian Negara (UN).

Zaman kami kuliah, kampus kita itu masih Persiapan FISIP. Belum menjadi fakultas yang berdiri sendiri. Tapi, karena mahasiswa FISIP itu kritis, cerdas gitu, hehee.. akhirnya bisa menjadi fakultas yang berdiri sendiri. Saat itu, Ketua Senat Mahasiswa FISIP Kak Saipul (sekarang Sekkab Way Kanan), mahasiswa FISIP mencegat mobil Mendikbud yang akan mengadakan kunjungan ke STM Negeri yang terletak di sebelah kampus FISIP.

Aku salah satu saksi hidup yang ada di kerumanan tersebut. Tapi di belakang, tidak di belakang amat sih. Tepatnya bawah pohon berdiri di bangku kayu yang ada di samping mereka yang mengadakan aksi tersebut.

Hebat memang kawan-kawan yang berjuang. Mereka berdiskusi terbuka dan spontan dengan Mendikbud Wardiman Djojonegoro di jalan menuju Kampungbaru dan spontan. Keren memang FISIP.

Tak perlu diuraikan panjang lebar tentang situasi yang terjadi saat itu. Dan finnaly, yess… Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) defenitif, kata “Persiapan (P)” resmi lepas dari depan kata FISIP.

Saat menyusun skripsi, pembimbingku Bapak Gede dan Ibu Anita. Saat seminar I, pengujiku Bapak Abdul Syani. Seminar II alm Bapak Hodlan dan Ujian Skripsi pengujinya juga Bapak Hodlan. Masih kuingat perjalanan mulai dari seminar I, II dan ujian skripsinya tapi susah menceritakannya.

Saat selesai ujian skripsi Pak Hodlan ngedrop. Kami semua tahu bahwa Pak Hodlan belakangan sakit. Kabarnya, leukemia.  Setelah ujian skripsiku berakhir, beliau langsung pamit pulang. Rumahnya di Perumahan Dosen Unila. Kabar selanjutnya beliau dilarikan ke rumah sakit dan berpulang. Jenazah beliau dibawa ke Sumatera Utara, tempat kelahiran beliau. Yang menemani perjalanan beliau menuju Sumatra Utara adalah Pak Gede, setahu saya. Saat saya datang untuk perbaikan ujian pas ketika Pak Gede mau berangkat menuju Sumatera Utara. Aku dan beberapa mahasiswa ikut melayat Bapak Hodlan sebelum beliau dibawa ambulans. Perasaanku tidak karu-karuan saat itu.

Masih banyak yang mau aku tuliskan. Tapi, apa ya … Bingung mau menuliskannya. Begitu banyak kenangan dan memori yang tertanam di benak selama menjadi mahasiswa Fisipol Unila. []

————
Lessie Novitasari, mahasiswa Sosiologi FISIP Unila Angkatan 1992. Saat ini, guru SMAN 1 Jatiagung, Lampung Selatan.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top