Obituarium

Sang Senior

Oleh Fitri Restiana

SEMASA kuliah, kami tak saling mengenal. Cukup tahu saja. Beberapa kali papasan di musala Gedung F. Lelaki berpostur tubuh kecil dan rapi itu selalu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Tapi kalau saya sedang dalam keriuhan dengan geng yang hebohnya bisa sampai ke gedung sebelah, ia mengubah senyumnya menjadi sebentuk tawa atau cengiran. Mungkin beliau ‘terkesima’ dengan suasana yang kami bawa kadang tanpa lihat situasi dan kondisi itu.

Pernah juga saya ikut pelatihan kepenulisan. Waktu itu kalau tak salah ingat di FKIP. Beliau salah seorang yang terlihat sibuk. Entah sebagai SC, panitia atau apa. Beberapa kali ia menanyakan apakah suka dengan kegiatan ini. Tentu saja saya jawab sangat suka. Saya senang belajar menulis. *Walau pada kenyataannya tak masuk Republica atau Teknokra. Kadung diembat oleh BPM dan HMI.

Saya memanggilnya Kak Ridwan. Ramah, kalem, santun, rapi. Good looking. Kami tak pernah terhubung dekat. Sampai kami selesai kuliah.

Tahun 2000 ada reuni mini perantau FISIP Unila di Jakarta. Itu masih masa-masa awal saya bekerja sebagai sekretaris Anggota DPR RI. Di acara yang digagas salah seorang alumnus itulah kami dipertemukan kembali. Saya sempat minder karena termasuk yang paling junior (Iya lah. Baru lulus dari kampus 5 bulanan). Kak Ridwan menangkap kegelisahan saya. Doi ngajak ngobrol, di sela senior-senior cewek lain yang nampak ingin berakrab-akrab dengannya. *Makasih dah bikin aku enggak terlalu minder, ya, Kak.

Sejak itu kami beberapa kali sms-an. Sampai suatu saat ketika saya mau pulang ke Lampung, Kak Ridwan juga bilang akan ke Lampung. Ada kerjaan sambil menemui teman, kata sang wartawan ini.

Akhirnya kami pulang bareng. Ngobrol masa-masa di kampus dan pekerjaan. Saya menyimak pengalamannya selama bekerja di ibu kota. Cara ngomongnya santai dan tak menggurui. “Ternyata Fifi lucu, ya,” ujarnya ketika kami berbincang di kapal laut. Malam itu kami benar-benar tak tidur. Di saat penumpang lain nyenyak dengan mimpi dan alunan ombak, kami terkekeh saling bertukar cerita.

“Dingin, Fi?” tanyanya melihat saya duduk meringkuk sambil sesekali meniup-niup tangan. Dia dah siap meminjamkan jaketnya.

“Enggak, Kak. Kan Fi dah pake sweater. Kudu bergerak ini supaya dinginnya enggak berasa banget. Apa kita locat-loncat di deket teve di depan itu aja, Kak?” terbersit ide asal dan konyol.

Kak Ridwan membelalakkan mata sipitnya. “Coba aja Fifi duluan. Tapi saya pura-pura enggak kenal, ya. Hahaahaa…” Akhirnya drama minjemin jaket enggak jadi dong, ya. Yang satu sungkan dua kali mau nawarin. Yang satu gengsi n enggak tega.

Kak Ridwan mengantarkan sampai ke rumah. Selama di Lampung, kami enggak kontak-kontakan. Pas pulang baru deh janjian di Rajabasa. Enggak naik Damri? Lupa mesen tiket, Gaes.

Beliau mengantar sampai di pintu rumah Grogol. Bahkan bertemu Mama Ida, yang entah bagaimana bisa ‘jatuh cinta’ pada keramahan dan kesantunannya. Saya geleng-geleng kepala waktu Mama dan Uni becandain.

Setelah itu, beberapa kali sms … lalu lost contact. Hape saya rusak dan ganti nomor. Wassalam.

Sempat terhubung sekali di facebook. Kak Ridwan sudah berkeluarga. Istrinya cantik sekali. Dia bilang agak kaget mengetahui saya menikah dengan Cak Kur (sesama alumni FISIP Unila). Kami pun saling mendoakan.

Sekitar dwiwarsa yang lalu, seorang teman bercerita bahwa Kak Ridwan pernah ke Lampung. Ia bilang ada yang dikenalnya di Gang Pelita. Saya enggak tahu apakah saya atau bukan yang dimaksud. Seandaikan benar itu saya, sungguh, senang Kak Ridwan masih mengingat. Duh, tercekat menuliskan bagian ini. Menahan air mata agar tak tumpah itu, sulit rasanya.

Kak, terima kasih atas pertemanan dan kelucuannya, ya. Sebentar mengenalmu, mengajarkan banyak hal. Tentang kerja keras, bagaimana mempertahankan idealisme dengan cara yang tenang namun tetap tegas, berteman dengan tulus tanpa modus.

18 Juni 2021, Jumat pagi, saya mengabarkan pada Tuan PaKur. Beliau terdiam, lalu bergumam. Malam sebelumnya, saya yang terdiam, lalu menangis pelan-pelan.

Alfatihah untukmu, Senior.

Orang baik yang dipanggil Sang Khalik

Semoga Allah Swt menerangi dan melapangkan kuburmu

Ditempatkannya engkau bersama orang² yang soleh dan taat

Semoga istri dan keluargamu kuat

Disehatkan lahir batinnya

Diselamatkan jiwa raganya. Aamiin.

***

Merenung,

Jika kelak waktu telah tiba,

Akankah banyak orang mendoakan, mengingat, dan bercerita tentang kebaikanku?

Kebaikan yang masih seumprit, sementara dosa menjulang setinggi langit.

Allah …  []

#Covid19

Keterangan Foto: PARA AKTIVIS. Dari kiri ke kanan Mohammad Ridwan (alm)  , M Rizal (alm), Rahman Jablo, Kurniadi, Udo Z Karzi, Affan Zaldi Erya, Agung Budi Santosa, Agus Warsudi, dan Anton Bachtiar Rifa’i. (Izin pinjam fotonya Udo Z Karzi).

——-
Fitri Restiana, penulis

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top