Pembicara yang Buruk dan Bahkan Menjemukan
TERPAKSA, harus saya akui bahwa saya pembicara yang buruk dan bahkan menjemukan. Kondisi ini berkali-kali saya rasakan dalam berbagai kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan beberapa kalangan.
Meskipun tidak memiliki basis keilmuan keguruan atau kependidikan, saya suka “mengajar”. Maksud saya tidak seperti guru yang lebih kompleks karena harus mendidik dan tidak semata mengajar. Ya, sekadar memberi pelatihan atau bimbingan teknik begitu.
Mengenai “mengajar” menulis, itu akan lebih berhasil jika peserta pelatihan menulis itu adalah mereka yang mempunyai wawasan luas karena membaca (terutama novel dan komik, hehee…). Pelatihan Menulis Opini yang pesertanya adalah para dosen misalnya, yang pernah kami (saya) lakukan akan lebih maksimal dan lebih interaktif bila dibandingkan bimbingan teknis dengan peserta dari kalangan umum yang tingkat literasinya lebih rendah.
Akan halnya mahasiswa, sebenarnya makhluk ini istimewa karena mereka adalah golongan terpelajar, pemikir, kritis, (calon) intelektual, agen perubahan, dst banyak julukan yang melekat pada mereka. Gambaran Soe Hok Gie yang menyebutkan tiga kata “Buku, Pesta, dan Cinta” untuk mewakili kehidupan mahasiswa, tetap relevan hingga kini.
Tapi, saya kecele ketika saya diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman tentang menulis kepada mahasiswa belum lama ini. Dari beberapa pertemuan betapa saya mendapati “kesulitan” untuk mentransferkan pengetahuan menulis itu. Masalahnya, ya itu: kurang baca!
Dengan penuh semangat saya sodorkan nama Remy Sylado (12 Juli 1945–12 Desember 2022) sebagai contoh penulis dan tulisannya yang agak panjang. Tapi, astaga… nama setenar Remy Sylado tidak seorang mahasiswa pun yang tahu. Apatah lagi pernah membaca karyanya yang ngetop-ngetop seperti Cau Bau Kan, Kerudung Merah Kirmizi, Paris van Java, Kembang Jepun, dan banyak lagi termasuk yang nonfiksi.
Begitu juga menyebut nama WJS Poerwadarminta (12 September 1904–28 November 1968), seorang sastrawan dan ahli perkamusan. Tidak ada yang tahu. Kamus susunan Poerwadarminta yang paling terkenal adalah //Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI)//, yang dicetak pertama kali pada tahun 1953 dan telah dicetak ulang sebanyak lima belas kali sampai dengan tahun 2017; sebelum terbitnya //Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)// yang diterbitkan pertama kalinya saat Kongres Bahasa Indonesia V pada 28 Oktober 1988.
Satu nama lagi, Prof. Dr. Suharsimi Arikunto dengan bukunya, //Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik// yang paling sering dikutip mahasiswa ketika menyusun hasil penelitian (skripsi); juga tidak diketahui para mahasiswa.
Ceritanya, ketika mahasiswa baru, saya menulis artikel yang saya lupa judulnya tahun 1990-an, saya mencantumkan nama Kacung Marijan sebagai salah satu referensi. Nama yang tidak ngetop banget karena bukan pejabat penting waktu itu, bukan pula artis atau selebriti. Hal sepele saja. Tapi, saya kaget ketika Pak Syarief Makhya yang mengasuh mata kuliah bertanya ketika menguji (tes lisan) artikel saya itu, “Siapa Kacung Marijan?”
Gelagapan juga. Hahaa.. Tapi, saya bisa langsung menjawab, “Dosen Unair, Pak?”
“Tahu dari mana?” kejar Pak Syarief.
“Sering menulis di Kompas dan Republika, Pak.”
Syukurlah, saya bisa meyakinkan bahwa benar saya membaca dan mengutip dengan benar tulisan Kacung Marijan.
Belakangan, saya tahu, Kacung Marijan menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Kabudayaan, sebuah jabatan di Kemendikbudristek yang kini digantikan oleh Hilmar Farid.
Aseli. Saya gregetan!
Repotnya, tetap tak ada keinginan untuk tahu siapa penulis-penulis itu dan apa-apa buku yang mereka tulis; sampai saya minta mencari dari Om Google.
Lah, bagaimana ini? Belajar menulis tetapi malas membaca. Soal minat menulis saya tidak paham. Saya anggap saja semua berminat, berbakat, dan mampu menulis.
Tapi, terdapat kesenjangan yang lebar antara minat baca dan minat menulis. Padahal menulis apa pun (ringkasan, resensi, laporan, esai, makalah, dll) tidak bisa hanya mengandalkan intuisi atau pengetahuan yang ada di kepala kita; apalagi isi kepala kita tak pernah dicas dengan banyak bacaan.
Sejak dulu, intelektualitas atau kecendekiawanan (termasuk di dalamnya mahasiswa!) selalu berhubungan dengan buku, jurnal, dan sejumlah bacaan serius lainnya. Eeit… membaca novel dan komik itu meskipun untuk hiburan, serius juga.
Begitulah kenyataan yang saya hadapi.
Macet! Benar saja, saya beri sedikit materi dengan harapan banyak diskusi, ternyata banyak waktu terbuang karena peserta kuliah susah benar berbicara atau bertanya mengenai materi yang dibahas. Setelah “dipaksa” omong, barulah mahasiswa bertanya.
Sesuai waktu, dalam pertemuan berikutnya, saya perbanyak materi. Saya pikir biarlah semua saya kasih toh belum tentu itu bisa “sampai” ke hati para peserta kuliah. Karena saya bukan guru dan tidak mempunyai kemampuan paedagogik, saya tak juga banyak memberikan game atau tugas. Dan benar saja, ada yang protes: bahannya kebanyakan!
Hahaa… saya tertawa.
Sudahlah, saya hanya berharap ppt saya dibaca ulang dan adalah sedikit sharing saya yang nyangkut di mahasiswa. Syukur-syukur nanti dari kelas ini ada yang benar-benar menjadi penulis resensi, esais, dan pembicara terkenal.
Tabik. []