Cerita Pendek

Perihal Kematian yang Mengetuk Jendela pada Suatu Pagi

Cerpen Wahid Kurniawan

KAMU patut bersyukur, sebab kini kamu tak merasa perlu melukai buku jarimu dengan mengadunya ke permukaan tembok, meremas pecahan kaca sedemikian bengis, atau menyayat pergelangan tangammu dengan silat sebagai pelampiasan atas sayatan sembilu yang menyiksa batinmu dan gejolak gelisah di benak serta kepala yang teramat sakit itu.

Kamu merasakan sinergi lain pagi ini. Ketika menggeliat dan menatap sang fajar, mendadak seperti ada kehangatan yang menjalar lewat cahaya keemasan yang menembus daun jendela dan tumpah di ranjang dan lantai kamarmu. Kamu menyunggingkan senyum. Untuk apa kamu tersenyum, kamu sendiri tak terlalu pasti mengapa dan untuk apa. Senyum itu mengembang begitu saja. Dan kamu sedikit tak sadar akan pergerakannya. Barangkali kamu tersenyum lantaran akan mendapati suatu hal hari ini, yang kamu sendiri pun tak tahu apa. Atau mungkin, senyum itu memang terbit saja, tanpa sebab dan alasan apa pun. Namun, yang pasti, kamu tak ambil peduli soal itu. Perkara mengapa kamu tersenyum segera sirna digeser angin yang sekonyong-konyong mengantar sejuk ke sekujur badan dan menyerap perhatianmu. Tubuhmu menggigil sejenak. Tapi kemudian berlalu hilang dan digantikan kehangatan mentari pagi lagi.

Kamu mengingat kapan kali terakhir mendapati pagi sedemikian hangat seperti ini. Entahlah, aku lupa, gumammu. Menyadari pagi-pagimu sebelum ini hanyalah serangkaian penggalan hari yang sama saja di benakmu, sama-sama terasa muram dan gelap. Seperti malam atau senja hari. Tak ada yang spesial sama sekali. Setidaknya setelah tiga tahun yang lalu. Setelah hari yang mengubah hidupmu sedemikian suramnya. Hari ketika kamu merasa, bahwa kamu memang benar-benar tak berguna. Hari yang membuatmu sadar, bahwa mati dengan segera adalah satu-satunya hal terbaik yang kamu punya.

Aku tak ingin mengingat, aku ingin menikmati kehangatan ini, gumammu lebih lanjut. Namun, ingatan itu tetap saja datang. Perlahan ia merangkak dari lorong gelap tak berujung. Lalu mendobrak kepalamu. Membuatmu ingat secara gamblang dan jelas.

Segalanya bermula ketika kamu gagal masuk universitas impian. Padahal, semua orang di sekitarmu teramat yakin kamu bisa masuk ke sana. Mengingat nilai dan prestasimu yang baik-baik saja selama tahun-tahun sekolahmu. Yang mereka tak ketahui, sesungguhnya, universitas impian itu bukanlah tujuanmu. Kamu tidak ingin masuk ke sana. Kamu memiliki tujuan lain, yang berbeda, bahkan amat menyimpang dari yang diinginkan orang terdekatmu terutama ayah dan ibumu. Mereka ingin kamu menjadi dokter yang berhasil. Agar kelak bisa meneruskan profesi yang sudah turun-temurun sejak orangtua ayahmu dahulu. Dan, kamu pun tak ingin membuat mereka kecewa dengan mengutarakan keinginanmu. Sebab pada akhirnya, kamu memilih menuruti mereka. Kamu kesampingkan tujuanmu, mencoba berdamai dengan separuh hati yang sepenuhnya tak setuju akan pilihanmu itu, dan mayakinkan diri bahwa kamu telah mengambil tindakan yang benar.

Namun, sungguh sayang, kamu gagal. Kamu tak berhasil masuk ke sana. Dan kamu tertekan dibuatnya. Kamu terjatuh di palung kesalahan yang teramat dalam. Sementara orang-orang yang kamu harapkan menguatkanmu, justru menjauh dan menghakimimu. Mereka kecewa. Mereka sungguh kecewa akan kegagalanmu.

Semenjak itu, kamu menarik diri dari dunia luar. Kamu masuk ke dalam ruang yang hanya ada dirimu seorang di sana. Tanpa berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga tiba di suatu hari, kamu menyadari, satu-satunya hal baik yang kau punya adalah kematian. Maka, percobaanmu pun dimulai. Setelah lebih dulu terbiasa merasai sakit dari luka-luka yang kamu buat sendiri di kulit lengan, buku jari, dan telapak tangan. Kamu hendak mencoba sesuatu yang paling membuatmu berdebar: Gantung diri.

Kamu mengambil tali di gudang. Tengah malam. Dengan mengendap-endap. Kemudian kembali masuk ke kamar. Dan mempersiapkan segalanya.

Setelah semuanya siap, kamu mulai mengambil ancang-ancang dengan berdiri di atas kursi. Sekali kutendang jatuh kursi ini, maka nyawaku pun melayang, batinmu. Akan tetapi, kamu tak cukup berani melakukannya. Kamu masih memiliki sisi takut itu. Kamu khawatir, kalau kamu tak akan mati dengan segera dan justru mengalami penyiksaan yang tak mengenakkan terlebih dahulu.

Maka, upaya membunuh dirimu malam itu pun gagal. Kamu memilih menyayat lengan tanganmu lagi. Kemudian, merebahkan diri di atas ranjang, sembari berharap, ketika terbangun nanti kamu tak lagi mendapati ruang kamarmu yang serupa kapal pecah itu.

Begitulah, selepas percobaan bunuh dirimu yang pertama, kamu tak juga menyerah. Kamu mencoba dengan cara lain. Kali kedua, kamu mencobanya dengan menenggak racun serangga, sebab menurut referensi yang kamu dengar, cara itu cukup efektif menghilangkan nyawa  dengan segera. Namun, lagi-lagi, kamu gagal melakukannya. Kamu memuntahkan cairan itu sebelum setetes pun turun ke lambungmu. Kamu tak suka cara itu. Terlalu menyiksa. Tidak enak.

Kali ketiga, kamu mencobanya dengan melompat dari lantai di satu sebuah mall. Kamu hampir melakukannya. Akan tetapi, lagi-lagi, kamu gagal sebab seseorang memergokimu hendak melakukan bunuh diri dan mencegahmu melancarkan misimu itu. Kamu diantar pulang ke rumah setelah lebih dulu dimintai penjelasan. Dan sesampainya di rumah, untuk melampiaskannya, kamu meremas pecahan kaca sedemikian bengis, dan darah pun deras bercucuran di lantai. Membasahi karpet di lantai. Mengirim sakit yang sedikit menenangkanmu.

Setelahnya, kamu tak mencoba membunuh diri dengan cara apa pun lagi. Kamu hanya menjalani hari sebagaimana biasanya. Menanam berpot-pot bunga dan menghabiskan sisa waktu di dalam kamar atau sesekali pergi ke taman tanpa meninggalkan kebiasan melukai diri yang kamu lakukan setidaknya seminggu sekali.

Akan tetapi, sebulan ini kamu belum melakukannya. Kebiasaan itu memang terlitas di kepalamu sesekali, menggodamu untuk segera mengambil silet, pecahan kaca, atau benda tajam lainnya. Namun, kamu seperti enggan untuk melakukannya, entah mengapa. Mungkin mendapati bebungaan yang semakin banyak dan berbunga indah memengaruhi kejiwaanmu. Membuatmu mengalihkan kebiasaan itu.

Dan barangkali, itu juga yang pagi ini membuatmu menyunggingkan senyum tanpa sadar. Aroma semerbak dari mawar, kenanga, melati, dan lainnya yang kamu hidu mungkin menghadirkan energi lain yang menenangkan dan memberi semangat pada dirimu. Semangat yang kini membuatmu ingin pergi jalan-jalan keluar.

Tiba-tiba saja, keinginan itu datang mengetuk benakmu. Padahal biasanya, kamu keluar hanya di sore dan malam hari. Duduk di taman menikmati senja dan menghitung bintang-bintang.

Namun, rasanya pagi ini ingin sekali. Menggebu-gebu. Kamu ingin melihat embun yang masih ranum di dedaunan dan kelopak bunga di taman itu. Merasai dingin yang sedikit menggigit kulit. Membiarkan kulitmu disiram langsung oleh cahaya matahari yang hangat itu.

Aku pergi sebentar, katamu ketika melewati meja makan. Ayah dan ibumu yang duduk di sana saling berpadangan. Kemudian ibumu menjawab, hati-hati.

Semoga itu perkembangan yang baik untuk anak gadis kita, gumam ayahmu. Ibumu mengangguk, mengiyakan.

Kamu berjalan perlahan. Taman itu tak jauh dari rumahmu. Tempat itu hanya dipisah sebuah rel kereta api. Untuk itu, bila kamu ingin ke sana, kamu tak perlu repot naik taksi atau bus. Tinggal jalan sebentar, menyebrang rel kereta, dan kamu akan sampai.

Pagi ini benar-benar lain, pikirmu. Ketika mendengar nyanyian burung di dahan yang seketika terdengar merdu sekali itu. Karenanya, kamu merasa semakin bersemangat untuk segera sampai di sana. Duduk di bangku dan menghabiskan pagi. Ah, pasti menyenangkan sekali, kamu tersenyum, lagi. Lalu, berjalan lebih bergegas.

Perlintasan kereta itu tak berpalang pintu, sehingga orang-orang di sekitarnya mesti teramat berhati-hati ketika berjalan melewatinya. Begitu pula denganmu, setelah memastikan rel itu cukup aman, kamu mulai menyebarang. Akan tetapi, satu bisikan hinggap di telinganmu, “Mati, mati, matiiii!”

Tubuhmu mematung. Kamu seperti tersihir. Diam tak bergerak barang sesenti pun. Mendadak perasaan itu muncul kembali. Rasa bersalah perlahan menguasai benakmu. Merenggut energi dan kehangatan yang baru saja kamu cecap itu.

Seketika kamu merasakannya lagi, ketika satu-satunya hal terbaik yang kamu punya adalah mati dengan segera.

Kamu tersenyum. Membayangkan pretelan tubuhmu tercecer di sepanjang rel itu. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top