Bukan Ghibah: Membicarakan Keburukan Seseorang yang Membahayakan Orang Banyak

Oleh Gufron Aziz Fuadi
PARA pendengung pembela kebatilan sering menakut-nakuti manusia dengan tuduhan ghibah saat kebatilan dirinya atau kelompoknya dibicarakan
Itu adalah penempatan makna ghibah yang sangat jauh dari tempatnya. Meminjam istilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:
كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ
Kalimat yang benar, tetapi untuk maksud yang batil. (HR. Muslim no. 1774)
Orang-orang ini berharap agar manusia diam atas kebatilan itu, sehingga pengusung kebatilan pun aman dan nyaman merancang dan menjalankan kebatilan dan kerusakan. Padahal diam atas kebatilan dan kemungkaran sama dengan syetan bisu.
Abu Ali Ad Daqaq Rahimahullah mengatakan:
ُ مَنْ سَكَتَ عَن ِالْحَقِّ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ
Siapa yang diam saja, tidak menyatakan Al Haq, maka dia adalah syetan bisu. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/20)
Ghibah adalah haram dan dosa besar jika kita membicarakan/menggosibkan aib pribadi saudara kita, lalu kita membicarakan di muka umum.
Tapi, membicarakan aib dan keburukan yang berdampak pada orang banyak, apalagi pelakunya pun terang-terangan, serta membahayakan manusia, agama, dan negara, maka itu bukan ghibah yang terlarang, melainkan nahi munkar.
Ini seperti yang dikatakan Imam an Nawawi dalam Riyadhushalihin, tentang ghibah-ghibah yang diperbolehkan. Di antaranya adalah bertujuan menasihati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut.
Atau, terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.
Maka, membicarakan koruptor, pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, kebijakan yang menyalahi syariat seperti melegalkan miras, judi dan maksiat lainnya, maka jangan takut disebut ghibah, sebab itu nahi munkar. Agar kemungkaran dan kedzalimannya terlokalisir dan tidak semakin besar.
Apalagi, bagi anggota DPR membicarakannya justru mejadi tugasnya sebagai lembaga pengawas. Begitupun bagi lembaga penegak hukum.
Bahkan, kisah-kisah kejahatan manusia sejak zaman dulu seperti Firaun, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay, Hajaj bin Yusuf dll telah terbukukan, baik dalam Al Quran, As Sunnah, kitab sirah, kitab tarikh, jelas nama dan perbuatan jahatnya, dan dibaca secara umum baik ulama dan orang biasa. Tidak satu pun mengatakan itu ghibah atau memcampuri urusan lain.
Para ulama mengambil kesimpulan bahwa hukum ghibah atau gosip itu terbagi tiga yaitu haram, wajib, dan halal (boleh).
1. Haram
Hukum asal gosip adalah haram. Gosip yang haram adalah ketika kita membicarakan aib sesama muslim yang dirahasiakan. Baik aib itu terkait dengan bentuk fisik atau perilaku; terkait dengan agama atau duniawi.
Yang menjadi perselisihan ulama hanyalah apakah gosip termasuk dosa besar atau kecil. Mayoritas ulama menganggapnya sebagai dosa besar. Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami ghibah dan namimah (adu domba) termasuk dosa besar.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar berkata: Ghibah itu haram tidak hanya bagi pembawa gosip tapi juga bagi pendengar yang mendengar dan mengakui. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar orang memulai berghibah untuk berusaha menghentikannya apabila ia tidak kuatir pada potensi ancaman.
Apabila takut maka ia wajib mengingkari dengan hatinya dan keluar dari majelis pertemuan kalau memungkinkan. Apabila mampu mengingkari dengan lisan atau dengan mengalihkan pembicaraan maka hal itu wajib dilakukan. Apabila tidak dilakukan, maka ia berdosa.
2. Wajib
Ghibah atau membicarakan/menyebut aib orang lain adakalanya wajib. Hal itu terjadi dalam situasi di mana ia dapat menyelamatkan seseorang dari bencana atau potensi terjadinya sesuatu yang kurang baik. Misalnya, ada seorang pria atau wanita yang ingin menikah.
Dia meminta nasihat tentang calon pasangannya. Maka, si pemberi nasihat wajib memberi tahu keburukan atau aib calon pasangannya sesuai dengan fakta yang diketahui pemberi nasihat. Atau seperti si A memberitahu pada si B bahwa si C berencana untuk mencuri hartanya atau membunuhnya atau mencelakakan istrinya, dlsb. Ini termasuk dalam kategori memberi nasihat.
3. Boleh
Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin 2/182 membagi gosip atau ghibah yang dibolehkan menjadi enam sebagai berikut:
Pertama, at-tazhallum. Orang yang terzalimi boleh menyebutkan kezaliman seseorang terhadap dirinya. Tentunya hanya bersifat pengaduan kepada orang yang memiliki qudrah (kapasitas) untuk melenyapkan kezaliman.
Kedua, isti’ānah (meminta pertolongan) untuk merubah atau menghilangkan kemunkaran. Seperti mengatakan kepada orang atau yang diharapkan mampu menghilangkan kemungkarannya.
Ketiga, al-istifta’ atau meminta fatwa dan nasihat seperti perkataan peminta nasihat kepada mufti, penegak hukum.
Keempat, at-tahdzīr lil muslimīn (memperingatkan orang-orang Islam) dari perbuatan buruk dan memberi nasihat pada mereka.
Kelima, orang yang menampakkan kefasikan dan perilaku maksiatnya. Seperti menampakkan diri saat minum miras (narkoba), berjudi di depan umum, dll.
Keenam, memberi julukan tertentu pada seseorang. Apabila seseorang dikenal dengan julukan.
Kategori dan bolehnya ghibah untuk enam kasus di atas disetujui oleh Imam Qurtubi dan dianggap pendapat yang ijmak.
Wallahualam bi shawab. []
