Saksi Palsu
Oleh Gufron Aziz Fuadi
BEBERAPA hari terakhir ini jagad layar kaca diramaikan dengan pembahasan tentang dugaan kesaksian palsu dalam rangkaian sidang kasus Jenderal Sambo dan Brigadir Joshua. Memang kesaksian palsu yang dilakukan oleh orang biasa akan sangat mudah diketahui oleh hakim profesional.
Seseorang yang memberikan persaksian di pengadilan, haruslah bersaksi dengan jujur dan tidak memberikan kesaksian bohong atau palsu. Memberikan kesaksian yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas dengan menjadi “saksi” saja di muka pengadilan. Akan tetapi, termasuk juga advokat (pengacara), jaksa penuntut maupun pihak-pihak lain yang ikut berbicara di depan persidangan untuk didengar keterangannya oleh hakim pengadilan. Ketika saksi, pengacara atau jaksa memberikan kesaksian dan bukti dengan memutar balikkan fakta dan bersilat lidah, sehingga yang benar tampak salah dan yang salah tampak menjadi benar, maka semuanya terancam dengan hukuman persaksian palsu.
Awalnya secara sederhana saksi adalah orang yang melihat atau mengalami sendiri suatu peristiwa.
Sedang menurut Wikipedia, Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.
Bersaksi di pengadilan adalah sesuatu yang sangat serius. Karena bisa menimbulkan konsekuensi serius terhadap nasib orang lain. Dari mulai kehalalan-nya, hartanya, kehormatannya, kemerdekaan bahkan nyawanya orang lain. Oleh karena itu jika kesaksian seseorang salah atau terbukti palsu, ancaman hukuman pidana siap menanti.
Seseorang yang awalnya duduk di kursi saksi, jika terbukti melakukan kesaksian palsu bisa berubah duduk menjadi tersangka. Dalam hukum positif di Indonesia, sesuai Pasal 242 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seseorang yang memberi keterangan palsu di atas umpah, baik lisan maupun tulisan diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Di samping ancaman dengan hukum pidana ancaman Allah juga menanti.
Larangan bersaksi palsu termaktub dalam firman Allah Swt: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah [5]: 8)
Dalam ayat yang lain: “….maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.” (Al Hajj: 30)
Oleh karena itu para ulama bahkan mensejajarkan pelaku saksi palsu dengan pelaku kemusyrikan. Pelaku kemusyrikan sendiri adalah dosa paling besar dan tidak diampuni oleh Allah SWT. Dasarnya adalah beberapa ayat Alquran yang menyandingkan perbuatan dusta dengan musyrik.
Dalam hadits dari Abu Bakrah ra beliau berkata, Nabi saw bersabda, “Apakah kalian mau aku beritahu dosa besar yang paling besar?”
Beliau menyatakannya tiga kali. Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.”
Beliau pun bersabda, “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orangtua.”
Lalu, beliau bangkit untuk duduk dari sebelumnya berbaring, kemudian melanjutkan sabdanya, “Ketahuilah, juga kesaksian palsu (perkataan dusta).”
Dia berkata, “Beliau terus saja mengatakannya berulang-ulang hingga kami mengatakan, ‘Duh, sekiranya beliau berhenti.” (HR. Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87)
Nabi Saw mengubah posisi duduk beliau dan mengatakannya berulang kali, ini menunjukkan betapa seriusnya perkara ini.
Terhadap masalah ini, Ibnu Hajar menyatakan, karena perkataan dusta atau persaksian dusta lebih mudah terjadi di tengah masyarakat dan lebih banyak diremehkan. Karena syirik tidak sesuai dengan hati nurani seorang Muslim, durhaka kepada orangtua ditolak oleh naluri, sedangkan (perkataan) dusta faktor pemicunya banyak sekali, seperti permusuhan, hasad (iri), dan lainnya. Jadi dibutuhkan perhatian untuk mengganggapnya (sesuatu yang) besar. “Namun bukan berarti (dosa) perkataan dusta lebih besar dibandingkan (dosa) syirik yang disebutkan bersamanya, tetapi karena kerusakan dusta menjalar kepada selain orang yang bersaksi. Ini berbeda dengan syirik yang biasanya kerusakannya terbatas (pada pelakunya),” tulisnya dalam Fathul Bari, 5/263
Sebaliknya Islam memerintahkan agar kita menjadi saksi Zaid bin Khālid Al-Juhaniy meriwayatkan bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang sebaik-baik saksi? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum diminta untuk bersaksi.” (HR Muslim)
Wallahua’lam bi shawab. []