Human

Berdoalah Secara Lengkap

Oleh Gufron Aziz Fuadi

PERNAH suatu ketika di sekitar Masy’aril Haram, putra Abu Sufyan, Muawiyah kecil berjalan jatuh bangun tertatih tatih. Sementara Hindun, ibunya membiarkannya tanpa membantu. Sehingga orang orang disekitarnya menegur Hindun yang membiarkan Muawiyah jatuh bangun sendiri.

Menjawab teguran tersebut Hindun menjawab dengan mengatakan, “Biarkan dia, dia anak laki-laki! Dia harus kuat…”

Sontak, mendengar jawaban Hindun, di antara orang orang tersebut ada yang mengatakan, sungguh anak ini akan menjadi pemimpin kaumnya.

Mendengar itu, Hindun langsung menyela, “Siapa tadi yang bilang dia akan menjadi pemimpin kaumnya. Oh, sungguh celaka aku kalau dia hanya akan menjadi pemimpin kaumnya. Dia harus menjadi pemimpin umat manusia.”

Begitulah Muawiyah, dia telah dicita-citakan dan dididik oleh ibunya untuk, bukan sekadar pemimpin kaumnya tetapi menjadi pemimpin dunia.

Belakangan terbukti bahwa Muawiyah pendiri dan pemimpin angkatan laut pertama dalam Islam. Dia juga pendiri dinasti Bani Umayah, kekhalifahan pertama setelah masa Khulafaurrasyidin.

Setelah Jumatan kemarin berbincang dengan beberapa kawan tentang pendidikan anak, tepatnya tentang tarbiyah anak kita. Bahwa anak anak kita harus kita siapkan untuk memiliki fikrah yang syamil. Karena kalau kita ingin keturunan kita menjadi pejuang membangun peradaban Islam, fikrah yang syamil tentang Islam menjadi prasyarat pertama. Sebab Islam yang syamil, kamil dan mutakamil tidak mungkin bisa ditegakkan oleh orang orang yang berfikiran parsial. Oleh karena itu tarbiyah untuk anak kita tidak boleh kita pandang dengan sebelah mata. Kita serahkan sepenuhnya kepada para pembina dan ibunya anak anak.

Bila peran ibu lebih banyak pada membangun karakter,  sensitivitas, kasih sayang,  dan dasar dasar life skill atau ketrampilan dasar, maka ayah memiliki porsi tersendiri.

Para ayah harus tahu, ada porsi untuknya dalam pendidikan anak. Seperti membangun visi, ketrampilan berkomunikasi, keterampilan hidup atau life skill, problem solving, leadership dan decision making adalah beberapa hal yang merupakan porsi ayah.

Ayahlah yang harus mengenalkan anak pada kehidupan nyata. Dimana dalam kehidupan nyata, setiap keinginan harus diperjuangkan, berebut atau berkompetisi serta berbagi dengan yang lain.

Ayahlah yang harus menyadarkan anak, bahwa kita hidup tidak diruang hampa. Tetapi ditempat yang ada bahkan banyak orang lain yang memilki kepentingan dan kebutuhan yang sama dengannya. Pemahaman ini akan melatih anak anak untuk siap berkompetisi, berkompromi dan berbagi.

Anak tidak akan takut untuk bersaing dengan yang lain.

Mungkin itulah salah satu rahasianya, mengapa dari sembilan belas kisah tentang pendidikan anak dalam alquran, empat belasnya dilakukan oleh ayah. Seperti pendidikan yang dilakukan oleh Ibrahim kepada anaknya, Ismail, juga Ya’kub kepada anak anaknya, serta pendidikan Lukman kepada anaknya dan lain lain.

Sedangkan para pembina tarbiyah juga perlu memahami bahwa tarbiyah adalah seni membentuk seseorang menjadi sesuatu sesuai bakat dan potensinya. Karena itu tarbiyah harus mampu menumbuhkan dan mengembangkan bakat dan potensinya (anak). Hal ini sesuai dengan salah satu makna generik tarbiyah. Dalam lisanul Arab dijelaskan bahwa tarbiyah (diantaranya) berasal dari akar kata:.. Rabbii – yurrabbi – tarbiyatan (ربي – يربي – تربية) yang bermakna tumbuh (nasyaa) dan menjadi besar (tara ra’a).

Karena setiap anak memiliki potensi dan bakat yang berbeda beda maka kita harus mengembangkannya sesuai dengan bakat dan potensinya masing masing sehingga bisa optimal. Mengingat,

“…Setiap orang akan dimudahkan (menuju jalan) penciptaannya.” (HR. Bukhari, no. 7551)

Memaksanya berkembang dengan cetakan yang sama dan berharap hasil yang sama, mungkin kurang bijaksana.

Dari di sinilah kita bisa merasakan betapa pentingnya komunikasi orang tua dengan para pembina anak anak. Bukan untuk intervensi,  tetapi untuk memetakan bakat dan potensi serta merumuskan solusi bersama tentang bagaimana meledakkan potensi mereka.

Anak adalah amanah Allah. Dan kita berkewajiban menjalankan amanah itu dengan menjadikan mereka sesuai dengan tujuan diciptakannya yaitu menjadi orang shalih yang ahli ibadah (adzariat: 56) dan menjadi khalifah yang akan memakmurkan bumi (Al Baqarah: 30 dan An Naml: 62).

Oleh karena itu, doa orang tua agar anaknya menjadi anak shalih rasanya tidak cukup, kurang lengkap. Sehingga harus dilengkapi menjadi agar anaknya menjadi anak shalih dan pemimpin yang adil.

Heh, siapa tahu karena doanya lengkap, nanti akan banyak anak shalih yang menjadi pemenang pilkada.

Jadi, ayah dan ibu jangan sungkan apalagi takut mendoakan anaknya jadi pemimpin, hanya karena kita bukan siapa siapa.

Bukankah sudah ada bukti bahwa yang orang tuanya tidak berapa jelaspun bisa jadi presiden.

Wallahua’lam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top