Human

Bila Tidak Takut Neraka

Oleh Gufron Aziz Fuadi

Suatu ketika saat shalat malam, khalifah Umar bin Khatab bertemu dengan bacaan:

{ وَقِفُوهُمۡۖ إِنَّهُم مَّسۡـُٔولُونَ }

“Allah memerintah malaikat, ‘Tahanlah mereka di tempat pemberhentian, sesungguhnya mereka akan ditanya tentang kebohongan dan dosa yang telah mereka lakukan di dunia.” (Q.S. Ash-Shaffat: 24)

Kemudian beliau membacanya berulang ulang dalam shalatnya sambil menangis sebelum akhirnya jatuh tersungkur dan pingsan beberapa lama.

Setelah siuman dari pingsannya, beliau ditanya apa penyebabnya?

Umar menjawab,  saya bertemu dengan ayat waqifuuhum innahum mas’ulun… dan saya sangat takut dengan tanggung jawab yang ada dipundak saya…

Mungkin kita bertanya, kok sebegitunya sih?

Ya tentu, secara Umar bin Khatab kan khalifah, kepala negara yang wilayahnya terbentang dari Mesir sampai perbatasan India. Meskipun beliau termasuk dalam kelompok 10 orang sahabat yang dijamin masuk surga, tetapi keimanannya selalu mengingatkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukannya akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah di yaumil  qiyamah nanti. Beliau sangat takut karena sadar banyak yang harus dipertanggungjawabkan bukan dirinya sendiri, tetapi juga kebijakannya sebagai kepala negara yang berimplikasi pada seluruh aspek kehidupan rakyatnya. Bila kebijakannya salah dan rakyatnya menderita dan berbuat maksiat, maka dirinya tidak bisa lepas dari tanggungjawab.

Itulah mengapa Umar bertekad cukuplah hanya Umar dalam keluarganya yang memikul beban ini, sehingga dia melarang ketika Tim atau panitia yang ditugaskan untuk mengadakan pooling mencari pengganti Umar memasukkan Abdullah bin Umar sebagai salah satu kandidatnya.

Meskipun Abdullah bin Umar memiliki kelayakan, tetapi beliau bukan tipe pemimpin Aji mumpung. Sebuah aji aji yang bermantrakan: Mumpung sedang berkuasa maka anak, istri dan kerabatnya harus digelarkan karpet merah untuk berkuasa dan berusaha (baca: menjadi pengusaha).

Begitulah bila pemimpin memiliki iman yang kuat pada Allah dan hari akhir.

Sebaliknya, seorang pemimpin yang kurang beriman kepada Allah dan hari akhir dia tidak pernah berpikir sampai kesana. Nggak nyampek.

Dia hanya berpikir bahwa pertanggungjawaban nya cukup sampai DPR/DPRD. Bila LPJ nya sudah diterima dan diketok palu oleh wakil rakyat, seakan itu sudah selesai. Tidak ada tanggung jawab lagi.

Tafsir Kemenag RI tentang ayat 24 surat ash shafat  menyebutkan: Kepada malaikat diperintahkan supaya menahan mereka di tempat pemberhentian dan menanyakan tentang apa yang mereka usahakan, serta dosa dan kemaksiatan yang telah mereka lakukan. Pada waktu itu juga ditanyakan tentang akidah atau isme  yang diajarkan oleh setan yang menyesatkan hidup mereka. Dalam hadis Nabi saw, Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat sebelum dia ditanya empat perkara: tentang umur dihabiskannya untuk apa, tentang masa mudanya dipergunakan untuk apa, lalu tentang harta yang dimilikinya diperoleh dari mana, dan dipergunakan untuk apa, lalu tentang ilmu sampai sejauh mana diamalkannya. (Riwayat at-Tirmidzi)

Saat itu setiap orang bertanggungjawab sendiri sendiri. Teman satu geng, teman kongkow bahkan anak dan orang tua pun tidak bisa saling tolong menolong.

Allah berfirman: “(Yaitu) pada hari (ketika) seorang teman sama sekali tidak dapat memberi manfaat kepada teman lainnya dan mereka tidak akan mendapat pertolongan.” (Q.S. ad-Dukhan/44: 41)

Beriman kepada hari akhir berarti memercayai bahwa segala perbuatan yang dilakukan di dunia, baik maupun buruk akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Bila iman kepada Allah dan hari akhir tidak kuat, maka akan mendorong orang untuk berbuat sesuka sukanya. Karena tidak ada dalam kamus hidupnya apa itu pahala dan dosa. Apalagi bila dia punya kuasa atau dibekingi oleh orang yang punya kuasa atau punya jabatan. Seolah olah hidup itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Baginya dosa adalah bila mereka gagal atau kalah. Dan surga adalah bila mereka menang atau sukses.

Orang beriman tidak akan pernah menantang neraka. Karena mereka percaya dengan keyakinan yang mendalam bahwa siksa neraka itu amat sangat pedih bahkan diluar jangkauan khayalannya.

Begitu pun keindahan dan kenikmatan surga, juga diluar jangkauan khayalan tentang keindahan yang mereka bisa khayalkan.  Seribu Alexis pun tidak akan mampu menyamainya.

Orang yang takut neraka, tidak akan menangis jika masuk penjara. Karena penjara bagi mereka bagaikan tempat khalwat bahkan tempat berkarya, seperti Buya Hamka yang menulis tafsir Al Azhar.

Sebaliknya orang yang sesumbar tidak takut neraka, justru menangis bila dimasukkan ke penjara.

Mungkin karena terlalu mencintai hidup?

Wallahua’lam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top