Dari Sebuah Rumah Kos di Jalan A Kadir
Oleh Riyanto
ENTAH, rumah itu masih ada atau tidak sekarang. Sejak lulus kuliah belum pernah lagi saya kunjungi. Letaknya di Jalan A Kadir Nomor 10 Rajabasa. Apa sih istimewanya rumah itu? Bagi kami perintis Majalah Republica FISIP Unila rumah penuh suka-duka di awal berdirinya pers mahasiswa ini. Ada momen canda dan ada pula momen sedih yang mewarnai kami di rumah kos ini.
Rumah itu tempat berdiskusi teman-teman. Setelah pulang kuliah, rumah ini menjadi tempat berkumpul, terutama untuk anak FISIP Angkatan 89. Namun, kadang juga untuk angkatan lainnya ba””’hkan dari fakultas lainnya. Dosen pun sering diundang untuk memberikan masukan setiap kali Republica akan terbit.
Alhamdulillah, seperti yang saya dengar, Republica masih hidup hingga sekarang. Saya menyarankan juga mengikuti perkembangan zaman dengan terbit dalam bentuk digital. Sebab, media berbentuk cetak (paper) sudah mulai ditinggalkan pembaca. Namun, dari segi pembiayaan sepertinya tidak menguras dana yang banyak. ”
Dulu, ketika Republica berbentuk pa”’per setiap kali mau terbit selalu direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan: Berapa beaya untuk ongkos cetaknya? Perusahaan apa yang mau memasang iklan? Problem ini selalu berulang-ulang setiap kali mau terbit. Namun, dengan semangat idealisme dan kegigihan dari krunya, Republica tetap terbit meski tidak rutin setiap bulannya.
Kini hampir 30 tahun sudah saya belum pernah berkunjung ke Lampung. Mungkin karena jarak yang jauh dam tidak ada kepentingan atau tidak ada yang dikunjumgi. Sekarang saya tinggal di Jogjakarta sejak tahun 1996. Tapi, komunikasi dengan teman-teman dan dosen-dosen masih tetap terjalin. Bahkan, beberapa teman dan dosen (Pak Syarief, Pak Denden, Pak Susetyo, Pak Dadang, dan Pak Ikram) sudah pernah berkunjung ke rumah di Jogja.
Sejujurnya saya kuliah di Unila itu pilihan ketiga dalam UMPTN. Di SMA saya Jurusan Fisika. sehingga bisa mengambil tiga pilihan jurusan. Pilihan pertama dan kedua di ITB mengambil Jurusan Teknik Perminyakan dan Teknik Kimia. Boleh dibilang, saya diterima di Ilmu Pemerintahan FISIP Unila karena coba-coba. Tapi, dari coba-coba jadi keterusan. Ada rencana untuk ikut UMPTN lagi tahun berikutnya, tetapi saya urungkan. Niat dan harapannya, saya cepat lulus.
Setelah menginjakkan kaki di Lampung saya cari kos. Kakak mahasiswa yang mencarikan kos saya dan dapat di Kampungbaru. Kos yang tidak jauh dari Kampus Unila. Bahkan, dari gedung fakultas saya hanya berbatasan dengan tembok kampus letaknya. Kenangan yang tak terlupakan kos di Kampung Baru, kalau matahari sudah terbenam, tidak bisa pergi keluar. Maklum suasana yang masih sepi dengan pohon-pohon kelapa dan alang-alang di bawahnya menjadikan Kampungbaru sunyi-senyap di malam hari.
Seperti pada umumnya sebelum perkuliahan untuk mahasiswa baru dimulai, diawali dengan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) dan Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Di sinilah saya mulai mengenal teman-teman kuliah, baik yang dari Lampung maupun dari luar Lampung.
Di awal kuliah kami dari dua jurusan yaitu Ilmu Pemerintahan dan Sosiologi masih dalam satu kelas karena mata kuliahnya masih Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Sebagai mahasiwa pendatang saya punya target harus cepat selesai. Apalagi, dalam silabus pengambilan kredit SKS, Indek Prestasi di atas 3 bisa mengambil 24 SKS.
Ada kebiasaan selama kuliah setelah mid semester, saya dan teman- teman mengadakan refresing biasanya hyking dan camping (bukan UKM pencinta alam ) ke tempat air terjun. Dimulai dari Sukadana Ham, air terjun Gedongtataan, Ulubelu hingga Way Lalaan, semua sudah pernah kami datangi.
Untuk mengisi kegiatan selain kuliah saya coba ikut Surat Kabar Mahasiswa Teknokra. Saya pun mencoba untuk melamar ke Teknokra dan diterima. Namun, baru magang sudah mengundurkan diri. Bukan karena tidak lulus magang, melainkan teman-teman di fakultas yang dimotori Nandang Purnama Alam dan Sen Tjiuaw mendirikan majalah tingkat fakultas dengan nama Republica. Saya di bagian usaha mencari pendanaan.
Ada hikmahnya buat saya dari Majalah Republica ini. Ketika semester empat berakhir teman saya Sen Tjiauw memberi tahu ada lowongan pekerjaan di Kompas untuk menjadi Koordinator Student Rate Majalah Tempo di kampus. Saya dan Sen Tjiauw mengirim lamaran lewat Kantor Pos Unila (masih ada sampai sekarang). Selang satu bulan saya mendapat surat dari Majalah Tempo yang menyatakan saya diterima dan meminta kesediaan saya untuk mengikuti training di Mega Mendung, Bogor.
Berangkatlah saya ke Jakarta. Kebetulan perkuliahan sedang libur semester. Saya ditemani oleh Nandang Purnama Alam yang memang anak Jakarta. Di Jakarta saya numpang di rumah Nandang. Keesokan harinya saya, Nandang, dan ditemani Suryo berangkat ke Gedung Majalah Tempo untuk mengurus keperluan acara training di Mega Mendung. Setelah urusan selesai Nandang dan Suryo pulang ke rumah masing-masing sementara aku bersama rombongan dari berbagai kampus di Indonesia berangkat menuju ke Wisma Tempo di Mega Mendung.
Meskipun libur kuliah belum berakhir, saya segera kembali ke Lampung untuk menjalankan tugas dari Majalah Tempo, yaitu memasarkan majalah Tempo di kampus dengan harga khusus. Dengan dibantu Saipul, mahasiswa Ilmku Pemerintahan Angkatan 90 (kini: Sekkab Way Kanan), kami mendatangi bapak dan di ibu dosen di setiap fakultas di lingkungan Unila untuk bersedia menjadi pelanggan Majalah Tempo.
Suka dan duka adalah pembelajaran bagi kami berdua selama menawarkan majalah. Ada dosen yg begitu diketuk pintunya langsung di suruh keluar. Tapi, banyak pula dosen yang bersedia dan merekomedasikan ke dosen-dosen lainnya.
“Perestorika dan Glasnos” cover Majalah Tempo yang menandai pemasaran pertama dalam bentuk student rate. Kiriman 100 majalah langsung ludes terjual tersisa tinggal 1 untuk dokumen. Begitu pun kiriman berikutnya langsung ludes terjual. Hilang sudah rasa sedih dan gengsi (loper). Sampai puncaknya bisa terjual 250 majalah setiap minggunya. Tentunya untuk mendistribusikan majalah sebanyak itu, saya dibantu oleh teman-teman dari fakultas lain.
Di samping keuntungan materi, keuntungan lainnya dari saya sebagai Koordinator Student Rate ini adalah bisa dekat dengan pimpinan di kampus, baik di tingkat rektorat maupun di tingkat dekanat. Hal ini tentunya bisa mempermudah apabila ada kegiatan-kegiatan kampus yang sekiranya butuh arahan dan tanda tangan dari pimpinan kampus.
Walaupun saya sibuk di Student Rate Tempo, saya tetap setia untuk berkecimpung di Majalah Republica. Bahkan sangat membantu, baik dari segi referensi maupun pendanaan. Dari segi referensi tulisan-tulisan yang bersumber dari Majalah Tempo bisa dijadikan acuan untuk penulisan di Majalah Republica. Sedangkan dari segi pendanaan, keuntungan yang saya peroleh dari penjualan Majalah Tempo bisa untuk membantu untuk makan-makan bersama dan untuk bayar beaya percetakan.
Waktu terus berjalan dan tidak terasa Republica sudah berjalan dua tahun. Saatnya diadakan regenerasi. Di tingkat para komando hampir semuanya akan selesai masa kuliahnya, tetapi Republica harus eksis.
Berdasarkan kesepakatan. Zulkarnain Zubairi dan Nasirwan Ali dibantu teman dari adik angkatan diberi kepercayaan untuk menerus keberlangsungan penerbitan Majalah Republica.
Desember 1993, saya telah merampungkan kuliahku di Ilmu Pemerintah FISIP Unila ditandai dengan upacara wisuda di Gedung Serba Guna (GSG). Begitu juga dengan Sen Tjiauw yang sama-sama diwisuda. Itulah tanda saya mengakhiri aktivitasku di dunia kampus dan menyiapkan diri untuk memantapkan kehidupan selanjutnya.
Sebagai orang yang pernah bergelut di dunia jurnalistik, saya mencoba untuk mendaftarkan di ke Lembaga Pendidikan Pers Dr. Sutomo Jakarta. Berangkatlah saya ke Jakarta bersama dengan Sen Tjiauw. Di Jakarta saya numpang di kakak tingkat angkatan 86 namanya KR Riyanto (wartawan Kompas saat itu). Sedangkan Sen Tjiauw numpang di familinya.
Harapan saya untuk bisa kuliah di LPDS pupus sudah. Saya gagal total dalam ujian masuk. Titik kelemahan saya ada pada kemampuan bahasa Inggris. Ketka ada soal untuk membuat tulisan dua halaman dalam bentuk bahasa Inggris keringat dinginku keluar dan pikiran tidak karuan. Jangankan dua halaman satu alinea pun saya tak mampu. Sedangkan Sen Tjiauw bisa melewati ujian dan diterima.
Setelah gagal, saya pulang kampung ke Indramayu dengan harapan setelah lulus kuliah bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. []
—————-
Riyanto, alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP Unila (1989-1993). Semasa kuliah ikut membidani lahirnya Majalah Republica dan berwiraswasta menjadi Koordinator Student Rate Majalah Tempo di Lampung. Kini, tinggal di Jogjakarta.