Cerita Pendek

Pesangon

Cerpen Ila Fadilasari

SEPINTAS rumah itu tampak seperti rumah warga kebanyakan. Dinding dan pagarnya tampak baru di cat. Sebuah pohon mangga di pojok kanan halaman depan rumah, membuat suasana rumah mungil itu tampak rindang. Sejumlah sepeda motor berjejer di halaman yang tidak terlalu luas itu.

Di ruang tamu, sekitar 20-an anak muda tengah berkumpul. Ada yang asyik membaca koran, ada yang menonton televisi, namun lebih banyak yang membentuk kelompok diskusi kecil. Agaknya mereka sedang membahas dinamika politik yang sebentar lagi akan menggelar pemilihan presiden. Meski bahan obrolan cukup serius, sesekali ada yang melempar guyonan sehingga kerap terdengar derai tawa di ruangan yang cukup luas itu.

Di antara anak muda yang tengah asyik mengobrol itu, ada seorang di antaranya yang lebih menonjol. Usianya tampak lebih tua dari yang lain, sekitar 28 tahun. Perawakannya tinggi kurus, rambutnya ditata rapi, kulitnya sawo matang, penampilannya tampak seperti seorang birokrat. Berkali-kali dia melemparkan pernyataan panjang lebar, yang didengarkan dengan seksama rekan-rekannya yang lain. Agaknya pria berkaca mata minus dan bertampang terpelajar itu lebih senior dibanding yang lain. Obrolan mereka kerap terhenti bila ada tamu yang datang, dan bergabung di ruangan itu. Tampaknya mereka sudah saling mengenal, karena merupakan teman kuliah di kampus.

Tiba-tiba si pria yang menjadi pusat perhatian itu berkata agak keras. ”Kayaknya pertemuan sudah bisa dimulai. Sekarang sudah pukul tiga sore,” katanya yang langsung disetujui para hadirin. Mereka langsung duduk berjejer mengelilingi ruangan.

Si pria, yang belakangan di ketahui bernama Ardiansyah, membuka pertemuan dengan mengucap salam. ” Teman-teman, mungkin sebagian kalian sudah tahu apa maksud saya mengundang anda. Saya ingin mengajak kalian membentuk sebuah kelompok prodemokrasi yang aktif menyuarakan kepentingan rakyat. Kita sebagai generasi muda tidak bisa membiarkan karut marut di negeri ini berjalan begitu saja, tanpa ada koreksi dari kelompok kritis. Nah saya ingin mengajak kalian membentuk kelompok kritis itu,” ujarnya panjang lebar.

Para hadirin yang merupakan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di daerah itu tampak manggut-manggut setuju. Namun banyak juga diantara mahasiswa yang hadir tidak memberikan reaksi apa-apa. Mungkin karena belum menangkap bentuk kongkrit organisasi itu apa saja, dan apa manfaatnya bagi mereka secara pribadi. Seorang mahasiswa yang duduk tepat di depan Ardi bertanya,” Apa bentuk kegiatan organisasi kita nanti, apakah seperti kelompok studi yang hanya menggelar diskusi dan seminar, atau juga unjuk rasa di lapangan?”

”Semuanya akan kita lakukan,” jawab Ardi mantap. ”Sebagai kaum intelek kita perlu menggelar seminar membahas isu-isu yang sedang hangat. Bila keadaan mengharuskan kita berunjuk rasa, ya kita lakukan. Pokoknya gerakan kita adalah membantu agar pemilihan kepala daerah menghasilkan pemimpin yang amanah.”

Semua yang hadir dalam pertemuan itu setuju. Pertemuan sempat berlangsung lama karena membahas tema apa saja yang akan mereka jadikan hot isue. Nama organisasi pun sempat membuat mereka beradu urat syaraf karena berbagai usulan yang ada dinilai kurang menjual. Akhirnya disepakati, organisasi diberi nama Gerakan Mahasiswa Pejuang Aspirasi Rakyat (GMPAR). Peserta rapat sepakat menobatkan Ardiansyah sebagai ketua umum.

Dalam waktu singkat GMPAR naik daun. Beberapa kali kegiatan mereka diekspos media massa. Meski hanya seminar, ternyata bisa muncul sebagai berita besar, karena isu yang mereka pilih dianggap aktual dan berani. Misal, soal korupsi kepala daerah, tender proyek yang selalu dimenangkan kroni pejabat, hingga korupsi di perguruan tinggi. Belakangan, kelompok mahasiswa itu lebih banyak menggelar aksi unjuk rasa. Mulai dari kasus korupsi anggota DPRD, perambahan hutan yang melibatkan pejabat daerah, kekerasan aparat kepolisian, kasus perburuhan, maupun penggusuran tanah rakyat, mereka suarakan. Banyak pejabat yang merasa terusik dengan aksi tersebut.  

Suatu sore, kelompok yang semakin banyak anggotanya itu berkumpul kembali di rumah yang kini mereka sebut sebagai markas. Mereka akan membahas isu sentral ke depan yang akan dijadikan topik perjuangan di lapangan.

Ardiansyah, sang ketua umum, memulai pembicaraan dengan puji-pujian atas kesolidan aksi mereka dan respon media massa yang begitu besar pada gerakan GMPAR. ”Walaupun organisasi kita terbilang baru, tapi kita sudah bisa menunjukkan eksistensi diri,” katanya.

Dari sekian banyak tema yang dibahas, pembicaraan kemudian mengerucut pada penggusuran lahan besar-besaran yang dilakukan oleh sebuah perusahaan gula di daerah itu. Perusahaan yang sudah mengelola lahan seluas 30 ribu hektare itu rencananya akan memperluas area garapan sekitar 10 ribu hektare lagi. Perusahaan tersebut kini sudah mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional untuk masa pemakaian selama 25 tahun. Padahal lahan HGU itu kini ditempati sekitar 4000 kepala keluarga yang sudah menetap puluhan tahun di daerah tersebut.

Meski masyarakat tidak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan, warga merasa berhak karena selama ini keberadaan mereka diakui aparat pemerintah setempat. Di lahan tersebut terdapat 10 desa definitif yang tergabung dalam sebuah kecamatan, yaitu kecamatan Sinar Baru. Setiap tahun warga membayar pajak pada aparat desa. Kini sebagian warga yang sudah terusir hidupnya terlunta-lunta. Rumah dan kebun mereka diratakan oleh buldozer.

”Saya kira, gerakan kita harus mulai fokus. Lebih baik kita mendampingi warga korban penggusuran itu saja. Lebih kongkrit,” kata Budiman, seorang mahasiswa dari perguruan tinggi swasta.

”Ya, ide yang bagus. Tapi gerakan kita harus menyertakan rakyat yang tergusur itu, agar lebih mengakar,” timpal Sudarsono, mahasiswa lainnya.

Aksi unjuk rasa yang diusung GMPAR bersama seribuan warga korban penggusuran dari kecamatan Sinar Baru ternyata dapat digolongkan sukses. Mereka menuntut agar DPRD dan pemerintah propinsi membatalkan HGU PT Adil Sejahtera dan membiarkan masyarakat menetap di lokasi itu. Ketua DPRD yang menemui massa berjanji akan mengkaji HGU dengan meninjau lapangan dan memanggil petugas pertanahan. Puluhan wartawan media cetak dan elektronik meliput aksi mereka, yang sampai bertahan selama empat hari tiga malam membangun tenda di halaman kantor DPRD.

Namun perjuangan mereka tidak berlangsung mulus. Di lokasi yang kini menjadi lahan sengketa, sekitar 100 kilometer dari ibu kota propinsi, ternyata perusahaan tetap melakukan penggusuran. Rumah-rumah dan kebun kopi siap panen diratakan dengan tanah. Jerit tangis ibu-ibu dan anak-anak tidak dihiraukan oleh perusahaan yang dibeking aparat keamanan berseragam itu. Lima orang warga yang berusaha menghalang-halangi penggusuran dibawa ke kantor polisi dengan tuduhan sebagai provokator.

GMPAR semakin gerah. Aksi unjuk rasa terus dilancarkan. Bukan hanya di kantor gubernur dan DPRD, mereka pun mendatangi kantor polisi menuntut agar lima warga yang ditahan segera dibebaskan. Lama kelamaan pihak manajemen  PT Adil Sejahtera merasa terganggu. Mereka merasa aksi GMPAR menghambat target perusahaan yang kini sedang mencapai puncak kejayaan. Bagaimana tidak, selain produksi gula yang telah merambah pasar luar negeri, banyak investor asing yang menanamkan modal di perusahaan itu. Aksi protes GMPAR dianggap telah menciptakan citra buruk PT Adil Sejahtera di mata publik, terutama melalui pemberitaan media massa.

Bagai tak terbendung, Ardiansyah dan rekan-rekannya terus maju. ”Kita tidak boleh mundur, sebelum ada penyelesaian yang adil bagi warga yang tergusur. Bila mereka memang harus pergi dari lahan itu, harus ada kompensasi yang sesuai dan relokasi yang jelas,” katanya.

”Ya bang, kita harus tetap konsisten. Tapi kadang saya mikir juga, gara-gara sering demonstrasi dan turun ke lokasi tanah sengketa, kami-kami jadi sering bolos kuliah,” kata Amin, memberanikan diri.

”Ah Min, kau ini macam juara kelas aja. Selama ini kan kau memang sering bolos,” kata Budiman.

”Tapi bolos kali ini sudah keseringan bro. Hampir sebulan aku gak kuliah, dan tidak ikut ujian mid semester.”

”Aku juga tidak kuliah dua minggu,” keluh Irma, seorang mahasiswi yang juga aktif di GMPAR. Meski perempuan, Irma cukup lantang bila sedang orasi di lapangan. ”Tugas kuliahku juga terbengkalai,” cetusnya.

”Ah sudahlah. Nanti dulu mikirin kuliah. Apa yang kita lakukan ini kan kuliah juga. Kuliah yang lebih kongkrit! Pengabdian masyarakat kan termasuk dalam tridarma perguruan tinggi,” kata Ardi agak kesal. Para mahasiswa itupun terdiam. Sebagian setuju, sebagian ragu-ragu, sebagian lagi mulai cemas. Mereka tidak berani berdebat soal itu, karena Ardi pernah bercerita, dulu ketika dia menjadi mahasiswa juga sangat aktif terlibat dalam aksi kemahasiswaan dan unjuk rasa. Meski begitu, Ardi lulus dengan indeks prestasi yang cukup gemilang.

***

Sore itu, mahasiswa yang sedang berkumpul di markas GMPAR dikejutkan oleh kedatangan warga Sinar Baru. Mereka datang dengan menumpang dua buah truk. Sebagian besar adalah ibu-ibu dan anak-anak. Ternyata mereka adalah korban penggusuran yang baru saja di lakukan perusahaan tadi malam. Warga merasa tidak ada lagi tempat bernaung, sehingga memutuskan datang ke posko GMPAR.

”Kami sudah tidak punya apa-apa lagi Nak. Rumah dan kebun kami sudah hancur,” kata Mak Ipah, salah seorang warga, sambil menangis.

”Ya benar. Ibu-ibu ini juga banyak yang dipukul aparat karena berusaha menghalangi petugas merobohkan rumah mereka. Karena tak punya alternatif, akhirnya saya bawa mereka kemarin,” kata pak Rusli. Pak Rusli adalah salah seorang tokoh masyarakat Desa Tebing Tinggi, salah satu desa yang tergusur.

”Baiklah pak, untuk sementara bapak-bapak dan ibu-ibu bisa tinggal bersama kami di sini. Anggap saja rumah sendiri,” kata Ardi, yang disetujui oleh rekan-rekannya.

Sejak saat itu markas GMPAR ramai oleh warga korban penggusuran. Tak kurang 30 keluarga hidup berjejal. Bila malam hari kaum lelaki terpaksa tidur di halaman yang cukup luas. Ibu-ibu dan anak-anak balita tidur di dalam rumah. Mereka makan seadanya, yang dimasak oleh ibu-ibu. Warga inilah yang kemudian menjadi massa solid dalam setiap aksi unjuk rasa.

Sekitar dua pekan kemudian, Ardi mengajak semua aktivis GMPAR berkumpul. Agaknya pertemuan itu sangat penting, karena semua anggota diwajibkan hadir. Mereka berkumpul di rumah kontrakan salah seorang mahasiswa, agar tidak mengganggu dan terganggu oleh warga yang tinggal di markas.

Tidak biasanya, Ardi datang terlambat. Banyak mahasiswa yang sempat cemas. Ketika Ardi muncul, wajahnya pun tidak seriang biasanya.

”Ada apa bang,” tanya Irma, memberanikan diri.

”Ada kabar buruk, sekaligus kabar baik.”

”Apa?” tanya sejumlah mahasiswa serentak.

”Organisasi kita harus dibubarkan!,”

”Hah, abang serius,” pekik Irma. Mahasiswa lain yang hadirpun tidak dapa menyembunyikan keterkejutannya. ”Maksud abang apa,” tanya Sudarsono.

”Organisasi kita sudah cukup lama berjalan. Sudah hampir dua tahun. Saya khawatir aktivitas ini mengganggu perkuliahan kalian.”

”Lho, kok abang bisa berkata begitu. Kan abang sendiri yang bilang, gerakan kita ini adalah salah satu tridarma perguruan tinggi. Lagi pula kami rela kok bang menjalani kehidupan seperti ini. Kami sudah menikmati sebagai aktivis GMPAR yang memperjuangkan kepentingan rakyat,” kata Amin.

”Ya, tapi organisasi kita harus ditutup. Perjuangan kita sudah cukup,” kata Ardiansyah tegas, yang membuat mahasiswa saling berpandangan.

”Lalu bagaimana dengan warga Sinar Baru yang tengah kita dampingi bang? Bagaimana pula dengan warga yang sedang tinggal di markas kita. Apa mau diusir?”

Ardi tampak gamang. Mukanya berkerut. Ia terdiam beberapa saat. Suasana hening. Sekitar 10 menit kemudian, ia membuka suara,” Perjuangan kita ini sulit, dan butuh banyak dana. Kita harus menghidupi warga yang tinggal di markas. Kita harus sering datang ke Sinar Baru. Kita harus pergi kemana-mana setiap hari…..” Ardi berhenti sejenak.

”Maksud saya, bila ada pihak yang ingin memberi kita dana, sudah selayaknyalah kita terima.”

”Ya, asal tidak mengikat, seperti kata bang Ardi dulu,” timpal  Irma pelan. Mahasiswa yang tergabung dalam GMPAR selama ini sudah mahfum, ada sejumlah donatur yang membantu mereka melalui Ardi. Namun Ardi tidak pernah menerangkan secara jelas, siapa donatur yang dimaksud. Mereka percaya saja pada Ardi yang mengatakan bahwa dana itu halal, karena selama ini mereka menganggap Ardi adalah panutan yang sudah cukup dewasa. Jaringannya luas.

”Kali ini donatur kita bermaksud hendak mengikat kita. Kita baru saja mendapat dana dari PT Adil Sejahtera.”

”Apa?”, semua yang hadir terkesiap.

Ardi tersenyum. PT Adil memberi dana agar kita bisa sejahtera. Mereka memberi kita bantuan yang tidak sedikit. Setiap anggota akan mendapat bagian. Pokoknya tidak hanya cukup untuk kalian makan-makan enak dan membeli pakaian baru, tapi juga bisa membayar kost dan uang kulah beberapa semester.

”Saya tidak mau,” kata Budiman dengan suara keras tak terkendali.

”Itu gila. Kami tidak mau ikut-ikutan. Kalau donatur dari pihak lain, kami oke saja. Tapi kalau dari PT Adil Sejahtera yang menjadi seteru kita selama ini, kami menolak,” ujar Amin tak kalah emosinya. Mahasiswa lainpun beraksi hampir sama. Mereka mempertanyakan sikap Ardi.

”Tenang, saudara-saudara, adik-adikku. Kita harus realistis. Kita kan tidak mungkin hidup seperti ini terus-terusan. Organisasi kita sudah berdiri dua tahun. Saya kira itu sudah cukup. Apa kalian mau jadi aktivis seumur hidup? Lalu drop out dari kuliah. Hayo, pikir pakai otak. Maksud saya ini baik. Kita bubar dengan baik-baik. Setiap anggota mendapat pesangon.”

Semua yang hadir terdiam. Sebagian bingung dengan perubahan sikap Ardi, sebagian sudah menahan rasa jengkel dan emosi.

”Asal kalian tahu ya, dana dari donatur yang kita terima selama ini jauh dari cukup. Kalian pikir dari mana dana untuk memberi makan warga kampung itu? Untuk kita unjuk rasa di Jakarta tempo hari? Jawabnya adalah, hasil saya menjual tanah warisan orang tua di kampung. Nah, bila ada yang mau mengganti seluruh modal yang sudah saya keluarkan, saya kira itu wajar saja. Anak isteri saya di rumah juga perlu makan,” kata Ardi panjang lebar.

Perdebatan sore itu terus berlanjut. Perlahan-lahan, tidak sedikit mahasiswa yang luluh hatinya mendengar jumlah pesangon yang ditawarkan Ardi sebagai kompensasi pembubaran organisasi mereka, plus sebagai uang lelah perjuangan mereka.. Akhirnya, tepat menjelang azan magrib, mereka pun sepakat GMPAR dihapus dari hati semua anggota. []

Bandar Lampung, April-Mei 2008

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top