Bambang Ekalaya dalam Satu Episode Gerakan Mahasiswa 1990-an di Lampung


SAYA petik tulisan saya, “Manusia Terkutuk Itu…” dalam Budisantoso Budiman dan Udo Z Karzi, Ed. 2010. Teknokra: Jejak Langkah Pers Mahasiswa. Bandar Lampung: UKPM Teknokra & Pustaka LaBRAK, hlm 155–157.
Masih tahun 1994. Terbetik kabar SMPT Unila mendapatkan kiriman, maaf, bra dari kawan-kawan di Jawa. Sebuah provokasi! Provokasi berikutnya, beberapa warga Desa Way Hui, Lampung Selatan mendatangi Unila. Tidak tahu alasannya, mereka mendatangi mahasiswa FISIP. Meminta dukungan dalam memperjuangkan tanah mereka yang diganti rugi dengan Rp5 per meter persegi.
Ini zaman Orde Baru. Kalau macam-macam, bisa berhadapan dengan aparat. Terlalu riskan untuk mengadakan aksi secara terbuka. Berdasarkan rapat gelap, sebenarnya tidak gelap karena masih ada lampu listrik, di Gedung F FISIP (sekarang tidak tahu gedung berapa) diputuskan untuk mengadakan renungan suci di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kedaton. Agak konyol juga gagasan ini. Alasannya, kalau berunjuk rasa ke pemerintah, aparat jelas akan bertindak. Karena itu, daripada mengadu kepada yang masih hidup, lebih baik melapor pada arwah para pahlawan bahwa telah terjadi ketidakadilan di tanah yang mereka perjuangkan dulu.
Karena tidak ada catatan apa pun, tidak pula ada beritanya di koran karena ini zaman serbarefresif, saya lupa tanggal kejadiannnya. Saya hanya ingat di suatu malam di tahun 1993, sembilan mahasiswa, yaitu delapan mahasiswa FISIP Unila dan satu mahasiswa FISIP Universitas Bandar Lampung (UBL), satu di antaranya saya, diangkut dengan mobil tentara dari TMP Kedaton menuju markas Kepolisian Resort (Polres)–(sekarang Poltabes)–Bandar Lampung.
Acara renungan suci belum lagi mulai. Tapi, polisi dan tentara sudah mengepung TMP lengkap dengan berbagai jenis senjata. Oohh… dari atas mobil yang membawa kami, saya menyaksikan wajah-wajah aparat keamanan yang tegang dengan sejata yang siap digunakan. Gila benar!
Di Polres, beberapa di antara kami–katanya sih sampel aja–diinterogasi satu-satu. Kemudian kami bersembilan dikumpulkan dalam ruangan Kapolres. Di situ sudah lengkap ada Kapolres, Dandim, dan beberapa pejabat polisi dan tentara lain. Kami difoto satu per satu, lalu mendengarkan petuah mereka mengenai ketertiban dunia. Intinya, jangan lagi berdemo kalau tidak tidak mau menerima akibatnya.
Ya, sudah mau gimana lagi. Siapa tidak takut dengan pistol dan senapan.
Saya sendiri bukan siapa-siapa. Pemimpin demo bukan. Orator ulung tidak. Ah, kebetulan, diam-diam saya waktu itu sedang menjadi Pemimpin Redaksi Teknokra. Tidak ada yang tahu, termasuk aparat waktu itu. Tapi kemudian saya dengar mereka jadi tahu, siapa saya, sehingga nama saya sempat masuk Buku Hitam Korem 043 Garuda Hitam Lampung dan karena itu harus diawasi.
Hehee… ada-ada saja. Masa lelaki kurus dengan pakaian tidak terurus dan pengurus apa-apa, kok menjadi orang yang harus dicurigai.
Tapi, tak lama kok. Saya kembali menjadi mahasiswa baik-baik yang justru patah hati karena putus cinta. Hahaa…
***
Sekarang saya bukakan rahasia satu mahasiswa FISIP UBL yang saya sebutkan dalam petikan tulisan di atas. Dia adalah Bambang Ekalaya atau yang suka disapa BE. Entah, dia seorang yang terselip di antara delapan mahasiswa FISIP Unila. Saya tidak mengenal atau belum kenal dengan sosok aktivis yang duduk persis di depan di atas truk tentara yang membawa ke Polres kala itu. Saya baru tahu Bambang Ekalaya setelah dipanggil namanya oleh aparat dalam satu sesi interogasi.
Saat bertemu lama kemudian dalam beberapa kesempatan diskusi LBH Lampung, Lampung Parliament Watch (LBH) atau tempat lain setelah tidak lagi menjadi mahasiswa, saya suka bersitatap dengan Bambang Ekalaya dan kadang-kadang tersenyum bersamaan. Saya mengenang bagaimana dulu kami ditangkap aparat saat demo. Mungkin dia juga!
Sempat sekali waktu saya tanya langsung ke dia, “Masih ingat kita diangkut pakai mobil tentara dulu?”
“Ya, tentu saja saya ingat,” jawabnya.
Ceritanya, kami, delapan mahasiswa FISIP Unila yang berdemo dan ditangkap kala itu, yang sudah berada semester 7 hingga 9, menjadi “mengerem diri” untuk melibatkan diri dalam gelombang pergerakan mahasiswa selanjutnya. Saya masih meneruskan aktivitas melalui pers mahasiswa dengan menjadi Pemimpin Umum Majalah Republica FISIP Unila (1994—1996). Tapi, saya seperti yang lain segera saja tenggelam dalam studi, ikut kuliah kerja nyata (KKN), menyusun skripsi, dan wisuda.
Tidak seperti kami yang dari FISIP Unila, Bambang Ekalaya masih meneruskan perjuangan sebagai aktivis prodemokrasi. Layaknya seorang ksatria bernama Bambang Ekalaya yang gigih belajar ilmu memanah yang bernama Danuweda dalam kisah pewayangan; begitulah BE. Dia tak berhenti. Aktif di Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Lampung, ia pun menjadi kader pertama Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Lampung, ia bersama aktivis lain terus bergerak hingga mencapai puncak lengser keprabonnya Soeharto dan menandai dimulainya era Reformasi 1998.
Di medsos, saya suka gaya BE ketika meledek Mas Oyos misalnya, dengan ucapan, “Jangan nakal!” Dan, saya pun ikut ketawa membacanya.
Bambang Ekalaya, yang saya tahu, pejuang yang tak kenal lelah hingga saya mendapati kabar tentang kepergiannya.
Innalilahi wainna ilaihi rajiun. Aktivis 1998 ini berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depok, Jawa Barat, Jumat, 22/12/2023. Kabar duka ini ramai di grup WhatsApp. Duka mendalam dari rekan, kerabat, dan sahabat mengiringi kepergiannya.
“Telah berpulang ke Rahmatullah ayahanda, Uwak, kakak, sahabat, Bambang Ekalaya bin Muhammad Sidik, hari ini Jumat, 22 Desember 2023 di rumah duka Perumahan Bumi Sawangan Indah, Depok, Jawa Barat. Kiranya ada salah atau pun kekhilafan almarhum semasa beliau hidup, mohon dibukakan pintu maaf sebesar-besarnya,” kawat duka kepulangan almarhum.
BE wafat sebab penyakit stroke yang belakangan dideritanya.
Ketua Keluarga Besar Rakyat Demokratik (KBRD) Lampung Ali Akbar menyebutkan, rencananya lepas Magrib jenazah almarhum dibawa ke rumah duka lebih dulu, rencana berikutnya akan dimakamkan di Lampung. “Ada kemungkinan berangkat malam ini ke Lampung,” info Ali Akbar, kini advokat ini, kemarin, 22/12.
Selamat jalan aktivis. Damailah di kampungmu yang baru. []
