Pencari Van der Tuuk

Cerpen Yuli Nugrahani
PERJUMPAAN dengannya selalu terjadi mirip seperti yang sudah-sudah. Tidak pernah direncanakan. Semua terjadi secara serba kebetulan. Sepertinya aku dan dia memang tak pernah diizinkan punya niat untuk bertemu. Beberapa kali aku, atau dia punya inisiatif untuk bekerja sama, pun hal itu tak pernah terjadi, gagal. Perjumpaan jenis apa pun yang pernah kami rancang, tak pernah terjadi. Selalu saja ada halangan sehingga perjumpaan-perjumpaan yang direncanakan itu menjadi batal, lewat, dan dilupakan. Sedangkan pertemuan yang tak direncanakan, bisa tiba-tiba muncul. Entahlah.
Kali ini pun demikian. Tanpa hujan angin penanda, dia masuk ruangan ketika aku sedang menoleh ke sekitar ruangan mencari seseorang yang kukenal. Aku sengaja duduk di dekat pintu masuk supaya bisa mengawasi siapa yang keluar dan masuk ruangan itu, sehingga ketika dia hadir, mataku langsung tertancap pada sosoknya.
“Hallo.” Dia yang memulai menyapa. Suaranya terdengar lebih berat dari yang kuingat. Pasti ada tambahan dosis rokok yang dihisapnya.
“Hai.” Aku langsung berdiri, menyambut tangannya. Gembira, sungguh gembira bisa bertemu dengannya di tempat ini. “Sepertinya kau semakin kurus.” Aku menepuk punggung telapaknya. “Atau aku yang semakin gemuk ya.” Suaraku menggantung canggung di udara. Ekspresi wajahnya biasa saja, tak menampakkan kegembiraan juga tak menunjukkan apa pun perasaannya. Mungkin dia sudah menduga akan bertemu denganku. “Dirimu sehat kan?”
Dia mengangguk, melintasi punggungku supaya bisa duduk di kursi sebelahku. Ruang sempit antara kursi tempatku duduk dengan meja di belakang tidak menghalangi geraknya sama sekali. Berarti memang dia semakin kurus. Kemeja kotaknya berkibar menyapu bagian punggungku.
“Lama sekali tidak berjumpa denganmu. Apa kesibukanmu?”
“Biasa saja. Seperti biasa.”
“Bagus sekali bertemu denganmu di sini.”
“Aku menggantikan Bang Ishak mengisi acara ini. Beliau berhalangan hadir. Ya, bagus sekali bisa di sini.”
Dia memasukkan tangan ke dalam tas cangklongnya, mengeluarkan sebungkus rokok. Sekilas dia memandang sekitar, kemudian memasukkan lagi rokok itu dalam tas. Bibirnya menggumam nyaris tak terdengar. Tapi aku paham desisnya berucap,”Ada AC.”
“Waktunya mengurangi rokok. Bagus banget.” Aku tertawa dengan hasrat ingin meledeknya.
Bibirnya seperti akan tersenyum, tetapi yang muncul lebih tampak seperti seringai, nyaris seperti orang yang sinis. Aku menggeser dudukku supaya bisa memandangnya lebih teliti.
“Gimana kabar Van der Tuuk?”
Matanya berkilat memandangku. Menunjukkan minatnya yang besar pada nama yang kusebut. Tapi segera senyum sinisnya muncul dengan lebih kuat. Dia tak pernah bisa percaya kalau ada orang yang punya minat sebesar dia terhadap Van der Tuuk.
“Ndak usah pura-pura ingin tahu hal itu.”
“Aku memang ingin tahu.”
“Aku baru saja bertemu dengannya.”
“Hah, dengan Van der Tuuk? Great. Kau sudah menemukan dokumen tambahan untuk kisah yang sedang kau tulis? Bagaimana? Di mana?”
“Di Surabaya. Bukan dokumen, tapi dia. Aku bertemu dia.”
“Ahhh, Surabaya, Paneleh, yaaa, konon di situlah makam Van der Tuuk. Benarkah dia ada di sana? Bagaimana membuktikan bahwa memang mayat Van der Tuuk yang pernah dimakamkan dalam kubur itu? Aku pernah melihat gambar lokasi pemakaman para pejabat Hindia Belanda di daerah itu. Masih terawatkah tempat itu? Atau, hmmm… apakah sebenarnya mayatnya, eh mungkin abunya sudah dikirim balik ke Belanda?”
“Aku bertemu Van der Tuuk.” Dia menatapku.
“Tak mungkin. Ah, mungkin saja ding. Apakah kau ketemu dia lewat penampakan, atau mimpi?”
Sepertinya aku mulai terbiasa menggunakan kalimat tanya yang beruntun menghadapi wajah polos yang tak ada greget menjawab ini. Wajahnya pun kelihatan biasa saja, tak terpancing pertanyaanku yang bertub-tubi.
Tangannya merogoh tas lagi, mengeluarkan bungkus rokok, diputar-putarnya dengan satu tangan. Sebentar kemudian dia masukkan lagi ke dalam tas. Desisnya lebih terdengar,”Ruangan yang payah. AC.”
“Apa yang terjadi denganmu di Surabaya. Bukankah itu sudah beberapa bulan lalu kau pergi ke Surabaya? Apakah kau kembali lagi ke sana akhir-akhir ini?”
“Aku bertemu dengannya. Kami ngobrol.”
Kepalaku bagian belakang langsung gatal. Jawabannya singkat, dengan jeda antara satu kalimat dengan kalimat berikutnya yang dia ucapkan membutuhkan penggalan waktu yang sangat lama. Rasanya hilang sabar menghadapinya dengan cara demikian. Aku menggaruk kepalaku berulang.
“Aku sungguh-sungguh bertemu dengannya, di teras tempatnya tinggal, di Surabaya.”
“Bukankah dia sudah meninggal lama?” Aku membatasi hanya dengan satu kalimat tanya ini. Ini pun bukan pertanyaan yang serius karena kita semua tahu jawabannya.
“Tidak. Dia tidak mati. Dia hidup.”
“Bagaimana …” Aku tak meneruskan kalimat tanyaku yang berikut. Lebih baik aku menunggu kata-katanya. Tercipta lagi jeda beberapa detik. Udara menggantung pekat, membuat aku menarik nafas panjang.
“Ini memang tak terduga. Jul, kau kan tahu selama bertahun-tahun aku mencari Van der Tuuk, terus mencari. Seluruh Lampung aku jelajahi. Kau ingat bahkan pernah menemaniku ke Metro tempat Pastur Joshep Gourdon kan? Atau ke tempat pendeta siapa itu. Perjalanan yang hasilnya tak seperti yang kuharapkan. (Dia mendengus.) Waktu dan energi sudah kuhabiskan sangat banyak. Aku menyusuri Sumatera hingga Medan, Toba, nun di sana. Aku mencari jejak langkah hidupnya juga ke Bandung, Bali. Kemana pun sekiranya ada petunjuk jejaknya akan aku ikuti.
Perjalanan ke Surabaya sudah aku rancang jauh-jauh hari sembari mencari cara untuk ke sana. Kau tahu kan aku tak selalu punya uang, jadi setiap keinginan tak serta merta bisa kuikuti dengan segera. Kadang aku jengkel karena situasi seperti ini, tapi akhirnya aku bisa ke Surabaya, ke Paneleh. Bulan Oktober tahun lalu.
Itu pemakaman yang indah, Jul. Aku suka menyusuri tempat itu. Yang kau tak pernah bisa bayangkan, pemakaman itu sangatlah luas. Sampai hari ketiga kerjaku sia-sia. Aku tak menemukan satu makam pun dengan penanda Van der Tuuk atau Van der Plas atau Dertik yang bisa membuatku yakin kalau aku ada di tempat yang tepat untuk mencarinya.
Hari keempat aku pergi ke Kembang Kuning mencari data tentang orang-orang yang ada dalam makam itu. Aku tak menemukannya. Tak ada sedikit pun tanda yang bisa kujumpai. Hari kelima dan keenam aku hanya keliling saja di sekitar Paneleh dan Kembang Kuning. Tempat itu rupanya dihuni bukan hanya oleh mayat berumur, dan mungkin para arwah (Senyum sinisnya muncul lagi.), tapi ada juga dihuni oleh para gelandangan yang menempelkan hidupnya pada bangunan-bangunan indah dan kukuh yang ada di sana. Itu pemandangan asyik yang menawarkan imajinasi jaman dahulu kala sebagai pemakaman modern mewah tempat para pejabat dimakamkan, sekaligus tentang masa kini yang masih berantakan oleh realita kemiskinan.
Kalau kau pernah lihat gambar-gambar pemakaman kau akan percaya padaku kalau masih ada beberapa bangunan makam yang begitu megah jauh lebih kukuh daripada rumah kardus. Model-model seperti itu bisa dipakai untuk tinggal. Aku penuh rasa syukur saat melihatnya. (Senyum sinisnya menghilang sekejab.) Aku masih lebih beruntung dibanding mereka untuk banyak hal meskipun kepedulianku pada sejarah tak mendapatkan dukungan dari pihak yang mestinya bertanggungjawab atas pekerjaan ini. Walau sesekali aku merasa lapar, tapi aku tak sungguh-sungguh kelaparan terus-terusan.”
Aku membiarkannya tetap bicara dengan pancingan sebuah anggukan yang kubuat tampak seantusias mungkin.
“Betul. Mereka menggunakan tempat-tempat seperti itu untuk tinggal. Sebagian lain di sisi-sisi belakang makam akan kau temui itu kalau pergi ke sana. Jadi jangan heran kalau pada nisan-nisan cantik dengan patung para malaikat yang sudah kehilangan kepalanya, dihiasi kibaran sarung, kutang, sempak dan sebagainya. Kukira ya tak apa, toh para penghuni makam tidak mungkin lagi protes. Kalau pun mereka tak setuju lalu membuat penampakan-penampakan menakutkan, pasti mereka sudah lakukan. Tapi ternyata penghuni-penghuni numpang itu tetap ada di sana dengan aman dan damai. Artinya mereka tak pernah diganggu. Mereka disetujui tinggal menumpang pada makam.
Hari ketujuh, sebenarnya aku sudah bosan, tapi kau kan tahu hasrat hatiku yang berkobar kalau ada yang menyebut nama Van der Tuuk. Nah, saat aku sudah akan memutuskan untuk kembali ke Lampung, di warung kopi di sebuah jalan dekat tempatku menginap, seorang pengunjung lain di warung itu mengatakan kalau dia bisa mempertemukan aku dengan Van der Tuuk.
Ya, persis seperti matamu itu. Aku juga tidak percaya. Mana mungkin hal itu terjadi? Dalam catatanku, betul van der Tuuk tertulis sudah meninggal pada tahun 1890-an. Laki-laki itu ngotot sengotot-ngotot–nya bahwa aku harus bertemu dulu dengan Van der Tuuk sebelum aku memberikan penilaian pada kata-katanya, serupa kebohongan atau kebenaran.
Aku menunda ajakannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tapi setiap jawaban yang disampaikan laki-laki itu, menunjukkan dia serius. Bahkan dia tidak minta imbalan apa pun atas informasi yang dia berikan, dia rela hati mengantarku ke tempat Van der Tuuk. Gratis.
Setelah aku menghabiskan seluruh isi cangkir kopi, aku setuju untuk mengikuti laki-laki itu, dan mengantarku kepada van der Tuuk. Mungkin saja aku sedang ditipunya, atau mungkin aku sudah kehilangan akal sehat. Tapi aku mengabaikan hal itu. Kurasa tak ada ruginya juga mengikutinya, paling tidak aku akan mendapatkan bahan-bahan menarik untuk cerpenku.
Perjalanan dari warung kopi itu hanya kami tempuh dengan jalan kaki. Laki-laki itu berjalan di depanku dengan takzim. Tidak seperti saat masih di warung dia bercerita ngalor ngidul panjang lebar, setelah keluar dari warung dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berjalan saja, lurus, dan cepat. Aku tidak terlalu ingat arah itu ke Utara atau Barat, aku toh tak terlalu hafal kota Surabaya. Dia sungguh bergegas, aku agak kesulitan mengikutinya. Karena cepatnya, kadang dia tak terlalu tampak di depanku. Mungkin saja karena waktu sudah mulai gelap, sudah sore, menjelang Magrib kukira.
Sekitar enam atau tujuh menit dia berhenti di sebuah kompleks bedeng, rumah-rumah kecil yang berderet. Penanda masing-masing rumah sudah terkelupas di sana-sini, tapi laki-laki itu menunjuk yakin pada satu rumah di lorong kedua. Walau samar aku bisa membaca : B103. Tanpa suara dia mendorongku untuk melangkah menuju rumah itu. Ketika aku minta dia untuk menemani, dia tak menjawab, malah mendorongku lebih keras. Payahnya, dia langsung pergi dari situ. Cepat sekali dia menghilang, tanpa ucapan terimakasih sempat kukatakan.
Teras rumah remang-remang. Seluruh kompleks itu memang gelap. Lampu-lampu terbatas. Aku tak berani pula memakai HP untuk senter. Saat aku mulai mendekati teras, aku melihat seseorang sedang duduk di teras itu, dengan kaki kanan menopang kaki kiri, menggunakan baju putih dan sarung khas Bali. Yakinlah. Itu Van der Tuuk. Alias Van der Plas. Alias Tuan Dertik. Aku sangat paham ciri-ciri lekuk wajah dan postur tubuhnya. Persis seperti yang terpampang di literature. Memang dialah itu. Kau harus percaya.
Aku tahu kau pasti akan ke sini.
Suaranya seperti gema. Baru kali itu kudengar cara bicara model itu. Dia mempersilakan aku duduk di kursi lain, di sebelah meja kecil yang membatasi. Dua buah cangkir sudah tersedia di meja.
Aku Herman. Terimakasih sudah sudah mencariku.
Aku tak perlu mengenalkan diri. Dia sepertinya tak butuh tahu aku ini siapa, atau mungkin dia sudah mengenalku, entahlah. Aku duduk di situ sekitar satu jam, ah tidak, mungkin lebih lama lagi. Tiga atau enam jam.”
Keningku otomatis berkerinyut. Memangnya dia tak bisa membedakan waktu selama satu, tiga atau enam jam?
“Apa yang kalian obrolkan?” Aku penasaran dengan akhir dari celotehan ini.
“Banyak sekali yang kami obrolkan.”
“Apakah benar dia itu Herman Neubronner van der Tuuk?”
“Tentu saja. Kau kira aku gila? Dialah yang memberiku inspirasi untuk mengikuti perjalanannya dari Lampung, Toba, Bandung, Bali hingga kemudian sampai di Paneleh. Kalau bukan dia siapa lagi? Aku sangat mengenalnya. Dia itulah yang mengikatkan Indonesia pada bahasa untuk penyatuan negeri ini, lewat pengenalannya terhadap bahasa daerah, yang disebarkannya ke banyak orang.”
“Kau pernah bilang dia sudah meninggal.” Aku rasa aku mengucapkan ini dengan pelan sekali.
“Tidak. Dia tak pernah mati. Itu lihat spanduk di depan itu. (Dia menunjuk arah panggung di depan.) Kalau Van der Tuuk sudah mati, tentu 28 Oktober ini, acara Sumpah Pemuda ini, tak akan lagi mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan kita. Juga tak akan mungkin acara ini sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia sangat kaya akan bahasa. Jangan kurang ajar, Jul. Hormati bahasamu, hormati pelopormu.”
Andai perbincangan dengannya itu sempat kurekam, dan kau mendengarnya, kukira kau juga akan menganggapnya sebagai obrolan itu hanyalah ngawur belaka. Ocehan yang kacau.
“Jadi apa yang kalian obrolkan di teras rumah B103 itu?”
Jeda kembali mengambang.
“Hmmm… aku tidak ingat.” Akhirnya. Aku menghembuskan nafas. “Tapi banyak sekali yang kami obrolkan. Sangat banyak.” Oh. Aku terdiam. Dia kembali menarik bungkus rokoknya, dia putar-putar dengan tangan kanan, lalu dimasukkan lagi ke dalam tas.
Ruangan telah penuh dengan suara anak-anak muda. Beberapa kali kami menerima salam mereka, menerima ajakan untuk berfoto bersama, dan obrolan-obrolan ringan, sepenuhnya basa-basi. Panitia meminta kami mengisi daftar hadir acara, menyajikan makanan ringan dan minuman hangat. Van der Tuuk pergi dengan segera dari percakapan kami.
Saat acara sudah dimulai, aku berdebar-debar menanti setiap kata yang muncul darinya, berharap dia memberi petunjuk sedikit lagi tentang kisah yang tadi dicurahkannya padaku.
Presentasinya apik sekali memaparkan berbagai bukti kekayaan Indonesia akan bahasa daerah. Oleh karena itulah Bahasa Indonesia menjadi sangat istimewa. Nama Van der Tuuk dikatakannya beberapa kali, sesuai dokumen-dokumen yang ditelaahnya. Dia tak sedikit pun bercerita tentang perjumpaannya dengan Van der Tuuk, seperti versi yang dia sudah kisahkan tadi padaku. Dia mengibarkan perjalanan hidup Tuuk yang sedang terus digalinya sebagai ajakan untuk anak-anak muda yang hadir supaya punya hasrat mempelajari budaya dan harga diri bangsa Indonesia ini. Di bagian akhir presentasinya dia menandaskan, Tuuk sudah membantu sedikit proses mengenali kekayaan bangsa ini, kita mestinya meneruskan, mengembangkan dan menegakkannya.
Dia tidak menyebut sama sekali perjumpaannya dengan Van der Tuuk. Dia kembali kepada semangat untuk menggali dan mencari. Lebih-lebih lagi, dia mengajak semua orang bersama dengannya mencari dan menemukan Van der Tuuk.
Aku masih tertahan dengan beberapa orang saat melihatnya keluar ruangan dengan langkah yang ringan. Tak ada lambaian tangan untuk pamit. Aku melihat lekuk punggungnya terayun mengikuti gerak kaki. Tampak lebih lengkung dibandingkan ingatanku.
Mendekati pintu langkahnya melambat, tangannya menjangkau masuk ke dalam tas cangklong. Aku tahu yang dia cari. []
Pahoman, akhir Oktober 2021, usai membaca ulang cerpen Arman Az: Nicodemus van der Plas
