Meragukan Tuduhan Rendahnya Minat Baca Masyarakat Indonesia

Oleh Yusril Izha Mahendra
“While a lot of people abroad are racing to read hundreds of books per year, the Indonesian people are famous for having one o fthe world’s lowest reading interests. This peculiarity is not only concerning to many but also represents a hugeirony for a country whose people are immenselyactive in day-to-day social media activities.”
Kutipan di atas saya dapatkan dari artikel yang berjudul The Absurd AndIronic Indonesia Reading Culture setelah mencari informasi lebih lanjut mengenai rendahnya minat baca masyarakat . Persoalan mengenai minat baca masyarakat Indonesia yang rendah bukanlah sebuah rahasia bagai masyarakat umum, melainkan telah menjadi bahan diskusi bahkan dasar persoalan yang kemudian dikaitkan dengan persoalan lainnya. Beberapa contoh di antaranya yaitu, mengaitkan penggunaan gadget yang mencapai 60 juta orang dengan rata-rata lama mencapai 9 jam sehari sebagai sebuah ironi dengan minat baca yang rendah.
Lebih lanjut mengapa minat baca masyarakat Indonesia yang rendah menjadi persoalan yang demikian waktu menjadi lebih luas, yaitu: pertama, pentingnya membaca. Singkatnya “Semakin banyak membaca, semakin banyak hal yang diketahui. Semakin banyak yang di pelajari, semakin banyak tempat yang akan dituju.” Kedua, hasil statistik dunia yang menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia rendah.
Berdasarkan data hasil survei yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia berada pada peringkat ke-69 dari 127 negara di dunia, atau hanya ada 1 dari 1000 orang Indonesia yang suka membaca.
Sejalan dengan hasil survei UNESCO, Central Connecticut State University dengan riset yang bertajuk World’sMostLiterateNationsRanked juga menyatakan hasil yang sama mengenai minat baca masyarakat Indonseia. Dilansir dari website resmi CentralConnecticut State University, Pemeringkatan didasarkan pada lima kategori yang berdiri sebagai indikator kesehatan literasi bangsa: perpustakaan, surat kabar, input dan output pendidikan, dan ketersediaan komputer. Pendekatan multidimensi terhadap literasi ini berbicara tentang kekuatan sosial, ekonomi, dan pemerintahan negara-negara di seluruh dunia. Dari 61 negara, Indonesia berada pada peringkat 60 atau kedua terbawah setelah Botswana.
Tidak cukup sampai di situ, OECD dengan hasil survei Progammefor International Student Assessment (PISA)yang mengukur kemampuan anak usia 15 tahun dalam tiga kategori, yaitu sains, membaca dan matematika. Untuk ketiga kategori tersebut berdasarkan laporan PISA yang baru rilis, Selasa 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.
Bila kemudian realita dari hasil-hasil statistik tersebut dikorelasikan dengan sumber daya manusia tentunya menjadi sebuah masalah. Seperti dikatakan sebelumnya literasi menjadi kunci bagi kemajuan suatu bangsa, karena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diraih dengan memiliki kemampuan membaca yang tinggi, bukan dengan menyimak atau mendengarkan. Kemampuan berliterasi masyarakat, khususnya para peserta didik di lembaga pendidikan formal, tentunya berkaitan erat dengan tuntutan keterampilan membaca yang diharapkan berujung pada kemampuan masyarakat dalam memahami dan mengolah informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Sebuah kemampuan berpikir yang sangat diperlukan di era disrupsi saat ini dengan persoalan budaya literasi yang masih rendah. Apalagi visi Presiden Joko Widodo tahun 2019-2024, yakni SDM Unggul Indonesia Maju.
Namun demikiankah kenyataannya?
Tentu saja tidak, jika kita lihat standar yang ditetapkan UNESCO dalam Indeks Favorit bacaan adalah minimal 3 buku dalam setiap tahunnya. Sehingga, dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa dan total bacaan hanya 22.318.083 juta eksemplar, artinya satu buku ditunggu sebanyak 90 orang.
Bila kita lihat lebih dekat salah satu variabel yang digunakan oleh Central Connecticut State University, yaitu perpustakaan dan akses bacaan, kondisi di lapangan saat ini adalah sebagai berikut:
Data yang dilansir oleh Perpustakaan Nasional (Lakip Perpusnas 2016) menyebutkan bahwa tingkat ketersediaan perpustakaan secara nasional baru terpenuhi 20 persen, yakni baru 154.359 perpustakaan dari rasio kebutuhan sebesar 767.951 perpustakaan. Adapun perpustakaan umum, yakni perpustakaan yang diselenggarakan oleh pemerintah dari tingkat pusat, daerah, kecamatan, sampai desa, serta perpustakaan komunitas (Pasal 22 UU No.43/2007 tentang Perpustakaan) baru mencapai ketersediaan 26 persen dari rasio yang dibutuhkan.
Disparitas antara ketersediaan dan kebutuhan perpustakaan umum di atas terutama terletak di tingkat perpustakaan kecamatan yang baru terpenuhi 8 persen dan perpustakaan desa yang baru terpenuhi 26 persen dari rasio kebutuhan. Ketersediaan perpustakaan umum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (Perpustakaan Daerah dan Perpustakaan Kabupaten/Kota) memang telah mencapai lebih dari 90 persen. Namun, hal itu belum menjamin kebutuhan bacaan masyarakat di pelosok, mengingat lokasi perpustakaan provinsi dan perpustakaan kabupaten/kota umumnya terletak di pusatkota.
Begitu pula keberadaan took buku juga masih tergolong sedikit dan tidak merata. Jaringan Toko Buku Gramedia misalnya, baru sekitar 113 toko. Sementara jaringan took buku lainnya jauh lebih sedikit lagi jumlahnya. Toko-toko buku tersebut umumnya juga terletak di kota besar atau setidaknya di ibukota provinsi atau ibu kota kabupaten, sehingga akses masyarakat di pelosok tidak terwadahi.
Rendahnya akses masyarakat terhadap bacaan terkonfirmasi dari hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai persentase penduduk di atas 10 tahun yang mengakses media, terutama apabila membandingkan antara meningkatnya akses masyarakat terhadap televisi yang berbanding terbalik dengan akses masyarakat terhadap suratkabar/majalah. Persentase penduduk Indonesia yang menonton televise pada 2009–2015 mencapai lebih dari 90 persen. Sementara penduduk yang mendengarkan radio dan membaca surat kabar cenderung menurun. Pada 2009, pendengar radio sekitar 23,50 persen menjadi 7,5 persen di tahun 2015. Sedangkan pembaca surat kabar sekitar 18,94 persen di tahun 2009, menjadi 13,11 persen di tahun 2015 (Statistik Sosial Budaya, 2015).
Jadi, boleh dibilang rendahnya tingkat membaca bukan karena kurangnya minat, melainkan karena kurangnya kesempatan (akses) untuk membaca. []
———————
Yusril Izha Mahendra, Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan/ Fakultas Ekonomi dan
Bisnis/ Universitas Lampung
