Lingkaran

Cerpen De Eka Putrakha
“Lingkaran kecil, lingkaran kecil, lingkaran besar. Diberi pisang, diberi pisang, tak mau makan …”
ROSMA tidak akan membiarkan anak gadisnya bermain sendirian di halaman rumah semenjak kejadian aneh yang dirasakannya. Dirinya telah mewanti-wanti agar Amira menurut apa yang dikatakannya. Apalagi di kampung ini tidak ada anak perempuan yang seumuran dengannya. Bukan lantaran adanya bocah laki-laki yang akan menjahilinya, bukan itu. Melainkan batin Rosma merasakan hal yang tidak beres dalam setahun belakangan ini. Amira lebih memilih menyeret mainannya dari kamar untuk bermain di bawah rerimbunan pohon pisang.
“Biarkan saja, Ros. Namanya juga anak kecil, wajar dia bicara sendiri. Itu hanyalah imajinasinya saja terhadap barang mainannya,”
“Tapi, Bu …”
“Sudahlah, dulu waktu kau seumuran Amira juga begitu,”
“Tapi ini lain, Bu,”
“Lain kenapa?”
“Susah juga menjelaskannya …”
“Atau segeralah beri dia adik, kasihan juga melihat cucu ibu kesepian begitu.”
Rosma hanya menarik napas dalam-dalam sebab tidak ada hal yang akan memperkuat pengaduannya. Atau mungkin hanya kecemasannya yang berlebihan saja sehingga berpikiran aneh. Ingin dirinya menceritakan kejadian tempo hari saat Amira menghilang itu, setelah mencari-cari sekeliling rumah luar-dalam namun tidak juga ditemukan. Hingga anak gadisnya itu tiba-tiba bertanya “Ibu sedang mencari apa?” dan sontak mengagetkannya. Ternyata Amira sejak tadi berada di dekat batu tempat biasanya bermain. Jikalau Rosma menceritakannya juga, paling ibunya akan menuduh dirinya kurang menjaga Amira sehingga diurungkannya cerita itu serta merta.
***
Petang ini Rosma sengaja duduk di teras rumah sambil pandangannya diarahkan kepada Amira yang tengah asyik bermain. Gadis kecil itu memang lucu, simpulnya sambil terus mengamati tingkah polah Amira dari kejauhan. Seperti biasa boneka akan ditaruh di atas batu dan dirinya mengambil sebuah ranting sambil menggoreskan sesuatu ke tanah. Rosma memerhatikan mulut anaknya sedang bergumam dan sesekali tersenyum. Setelah gumamannya selesai Amira bergeser dari tempatnya tadi lalu menggoreskan hal serupa ke tanah sambil bergumam kembali.
Setelah memperhatikan sekian lama, Rosma mulai merasakan keanehan. Amira terlihat bercakap dengan bonekanya juga dengan goresan-goresan yang dibuatnya tadi. Penasaran Rosma berdiri dan menghampiri tempat bermain anak gadisnya itu. Dilihatnya ada beberapa gambar orang-orangan botak yang tersenyum lebar. Rosma mengerutkan kening dengan gambar yang dibuat anaknya itu. Dirinya meyakini belum pernah mengajarkan Amira membuat gambar seperti itu apalagi di atas tanah.
“Coba Ibu ingin lihat caramu membuat gambar ini lagi Amira!”
Pinta Rosma setengah gugup sebab dirinya belum pernah ikut campur dalam permainan anaknya itu. Lantas Amira mengambil kembali ranting yang sempat dibuangnya tadi sambil tersenyum. Sepertinya gadis kecil itu menyenangi apa yang disuruhkan ibunya.
“Lingkaran kecil, lingkaran kecil, lingkaran besar. Diberi pisang, diberi pisang, tak mau makan …”
“Hentikan, Amira!”
Tiba-tiba Rosma mulai merasakan keanehan dari balik rimbun pohon pisang, bulu kuduknya merinding. Amira hanya memasang tatapan bingung ke arah ibunya. Tidak ingin Amira terus menatapnya, Rosma kembali meminta untuk melanjutkan apa yang disuruhkannya tadi.
“… Enam, enam, berliku-liku. Enam, enam, diberi siku.”
Rosma meliarkan pandangan ke segala penjuru rumah, juga ke rerimbunan pisang di hadapannya.
“Bu lihat boneka itu tadi tersenyum! Dia senang karena ibu ikut bermain,” tunjuk Amira dengan polosnya. Sejurus kemudian Rosma melihat di sudut matanya sesosok bayangan hitam yang sekelebat menghilang.
“Ayo Amira, sekarang masuk rumah!” Perintah Rosma tanpa menghiraukan ocehan anaknya itu.
***
“Sebenarnya Rosma sudah kehabisan akal untuk menjelaskan mengenai Amira, Bu.”
Ibunya hanya terdiam sambil melihat ke arah cucunya yang tengah asyik bermain. Dirinya seakan melihat Rosma kecil pada diri cucunya itu. Iras wajahnya hampir serupa, begitu batinnya. Cucunya begitu aktif dan periang namun sayang dirinya hanya bisa bermain sendirian tanpa teman sebaya atau adik yang dinanti-nantikan. Pengaduan Rosma tidak langsung diresponnya, hanya menggeser sedikit duduk seraya mengatup bibirnya rapat-rapat beberapa saat.
“Amira kan tidak bermain jauh-jauh?”
“Memang tidak, Bu. Tapi …”
“Sudahlah Rosma, setiap kali ibu mampir kau selalu saja menceritakan kekhawatiran mengenai Amira.”
“Tapi ada sesuatu yang selalu menemaninya,” ucap Rosma singkat. Hening sesaat. Ibunya lantas mengalihkan pandangan lagi ke arah Amira yang bermain dengan riang.
“Mulai sekarang kau harus selalu mengawasinya, Rosma. Kalau dapat bujuklah agar Amira tidak bermain di sana lagi!” balas ibunya dengan nada serius.
Tidak berapa lama ibunya pamit untuk pulang dan meninggalkan kebingungan pada diri Rosma.
***
Di tengah guyuran hujan yang semakin lebat tampak seorang perempuan muda berlari sekencang-kencangnya membelah malam. Air matanya yang berderai telah bercampur tetesan hujan yang menghujam kepedihan hatinya. Dirinya tidak tahu lagi arah yang akan dituju. Sesuatu baru saja menimpanya. Dirinya baru saja disekap oleh beberapa orang pada sebuah rumah kosong yang entah di mana. Hingga keesok paginya seorang penduduk desa yang hendak berangkat ke sawah mendapatinya tergeletak di pinggir jalan, sehingga dirinya dapat kembali ke desa tempat tinggalnya.
Beberapa waktu berlalu ibu perempuan muda itu menyadari bahwa anaknya telah berbadan dua. Karena tidak ingin masa depannya hancur, ibunya mencari berbagai cara agar janin dalam perut anaknya itu dilenyapkan. Sebelum semuanya terlambat, sebelum semua penduduk kampung memberi aib padanya.
“Sekarang kau tetaplah seorang perempuan muda tanpa cela, Dalimah,” ucap ibunya suatu ketika sambil menutupi liang tanah kemudian menanami setunas pisang setingggi lututnya. “Tugasmu hanyalah merawat pisang ini selama hayat di kandung badan. Jika suatu hari nanti telah merimbun, setiap pekan kau harus menyediakan sebuah pisang kepok untuk dilempar ke dalam rerimbunan ini nanti!”
Dalimah hanya menyerngitkan kening. Rasa perih di badannya belum kunjung hilang. Lalu dilihatnya ibunya mengambil ranting dan menggariskan sebentuk lingkaran berdiameter tiga meter mengelilingi tunas pisang yang ditanam tadi. “Jangan sampai tumbuhnya melewati garis ini, kau dapat mengiranya nanti.” Perempuan muda itu hanya mengangguk dan masih tidak terlalu paham perintah ibunya.
Hitungan tahun akhirnya Dalimah dipersunting seorang pemuda yang melabuhkan cinta padanya. Masa lalunya sudah terkubur dan menumbuhkan harapan baru laksana sepohon pisang yang tumbuh subur di halaman rumahnya. Sekarang dirinya membina keluarga kecil dengan lahirnya permata hati yang diharapkan, gadis kecil itu diberi nama Rosma. Dalimah berjanji akan menyimpan rapat-rapat peristiwa kelam yang dialaminya dulu juga akan berusaha menyanggupi anjuran ibunya itu.
***
“Kenapa sekarang ibu tampak kebingungan?” tanya Rosma menyambut kedatangan ibunya untuk bertandang.
Tadi sempat dilihatnya sekilas ibunya melemparkan sesuatu ke dalam rerimbunan pisang di halaman.
“Mana Amira?”
“Sejak tadi berkurung di kamarnya. Begitulah kalau sudah dilarang main ke luar rumah,” jelas Rosma.
“Biar ibu yang membujuknya ke luar kamar,” balas ibunya sambil beranjak menuju pintu kamar cucunya itu.
Samar-samar Dalimah mendengar suara dendangan yang terdengar pelan dan setengah berbisik dari dalam kamar Amira. Jemarinya tidak langsung mengetuk melainkan menempelkan pendengarannya ke daun pintu untuk memastikan suara itu.
“Lingkaran kecil, lingkaran kecil, lingkaran besar …”
Dalimah terperanjat mendengar nyanyian yang dulu didengarnya saat ibunya berusaha menggugurkan kandungannya. Janin yang sedianya adalah kakak dari Rosma. Dirinya baru menyadari tentang garis lingkaran yang menjadi batas rumpun pisang. Suara cekikikan membuyarkan lamunannya.
Tok, tok, tok!
“Buka pintunya Amira! Ini nenek.”
Rosma yang memperhatikan dari tadi ikut penasaran dengan ibunya yang tiba-tiba bersuara lantang. Setelah dibukakan pintu oleh Amira, Halimah dengan sigap langsung masuk ke kamar Amira dan dengan tergesa-gesa pula dirinya berlari menuju halaman mendekati rumpun pisang.
“Ada apa Bu? apa yang terjadi?” pekik Rosma semakin bingung.
Perempuan paruh baya itu mengitari serumpun pisang sambil terus menajamkan matanya pada setiap bonggol pisang. Lantas diambilnya sebilah kayu guna memastikan ukuran lingkaran yang pernah dibuatkan ibunya di hadapannya dulu.
Alangkah terkejutnya Dalimah mendapati akar tanaman pisang telah keluar dari lingkaran yang seharusnya tidak dilewati. “Ingatlah jika melewati garis lingkaran, itu artinya ‘dia’ akan turut keluar!” Dirinya baru menyadari sesuatu telanjur terjadi. Sudah sekian lama pula tidak dilakukannya anjuran yang dulu disuruhkan padanya. Dalimah berpikir seiring berjalannya waktu “anjuran aneh” itu akan pudar sendirinya, buktinya anaknya Rosma baik-baik saja selama ini.
“Apa jangan-jangan menimpa Amira?” batinnya sambi menatap ke arah cucunya dari kejauhan.
Samar-samar kembali terdengar suara bisikkan, “lingkaran kecil, lingkaran kecil, lingkaran besar, diberi pisang, diberi pisang, tak mau makan!” Halimah menutup kedua telinganya sambil mengerang. //“Sudah terlambat, lingkaran kecil sudah menjadi lingkaran besar, selama ini kau tidak lagi memberiku pisang, sekarang aku yang akan membuat lingkaran untukmu!”
Rosma berteriak histeris menyaksikan hal yang aneh menimpa ibunya. Sejurus kemudian Amira dengan cepat berlari menuju kamarnya dan pintu dibanting keras dari dalam. Sekelebat bayangan sempat dilihatnya sebelum perempuan paruh baya itu ambruk tanpa sebab. []
