Esai

Islam yang Sejati itu Tidak Mengusir, Ia Justru Menyambut

Oleh Akhmad Idris

MASIH terekam jelas di dalam ingatan saat Gus Dur berada di garda terdepan untuk membela tabloid Monitor (di tahun 1990 sejumlah kelompok Islam merusak kantor tabloid Monitor sekaligus memaksa pemerintah membredelnya sebab memuat survei yang dianggap menghina Nabi Muhammad) dan juga kala membela kelompok Ahmadiyah (yang saat itu dianggap menyebarkankan ajaran sesat). Hal yang perlu digarisbawahi dari sikap yang dipilih oleh Gus Dur adalah sisi humanitariannya.

Pembelaannya tidak berarti mengamini tindakan Monitor dan Ahmadiyah, tetapi atas dasar penolakan terhadap tindak kekerasan dan sikap main hakim sendiri. Islam sendiri sejatinya sudah jauh-jauh hari menolak tindak kekerasan dan sikap main hakim sendiri, sebut saja konsep Maqashid al-Syari’ah yang disebutkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustasyfa bahwa tujuan syariat untuk umat manusia adalah melindungi agama & keyakinan; jiwa; akal; keturunan; dan harta umat manusia. Semakin jelas, bahwa kekerasan sama sekali bukan tujuan dari syari’at agama Islam itu sendiri.

Gus Dur lebih memilih menyambut daripada mengusir, sebab ramah itu indah dan marah itu bencana. Saking bencananya, fiqih melarang seorang hakim memutuskan suatu perkara ketika dalam keadaan marah. Agaknya memang sebuah kesalahan sudah seyogianya dirangkul untuk dituntun menuju kebenaran, tidak malah disudutkan dengan pelbagai hujatan dan makian. Hal ini mengingatkan pada kisah Nabi Ibrahim dan seorang Majusi dalam kitab ar-Risalah karya Imam al-Qusyairi (mashur dengan sebutan Risalatul Qusyairiyah). Dikisahkan kala itu seorang Majusi ingin mengundang Nabi Ibrahim dalam sebuah jamuan makan. Menanggapi undangan tersebut, Nabi Ibrahim berkenan mendatangi jamuan makan tersebut dengan sebuah syarat, yaitu orang Majusi tersebut mau beriman kepada Allah SWT. Mendengar jawaban Nabi Ibrahim, orang Majusi tersebut kecewa lalu pergi begitu saja. Selang beberapa saat, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Ibrahim. Wahyu tersebut berbunyi: “Selama lima puluh tahun Kami (Allah) telah memberinya makan, meskipun ia seorang yang kafir. (Lalu apa salahnya) jika engkau menerima satu porsi makanan darinya tanpa menuntutnya untuk beralih agama?” Tanpa menunggu lama, Nabi Ibrahim segera mengejar si orang Majusi untuk meminta maaf atas tindakan sebelumnya sekaligus menerima undangan jamuan makan. Orang Majusi yang sedikit kebingungan dengan perubahan mendadak sikap Nabi Ibrahim, lalu bertanya ihwal hal yang mendasarinya untuk meminta maaf. Akhirnya Nabi Ibrahim menceritakan hal yang telah terjadi sebelumnya. Hebatnya (atas Kuasa-Nya), orang Majusi takjub dengan Tuhan Nabi Ibrahim dan memutuskan untuk beriman kepada-Nya tanpa syarat apapun.

Kisah antara Nabi Ibrahim dan orang Majusi di atas merupakan gambaran sejati tentang agama (Islam). Setiap manusia memang boleh-boleh saja merasa berbeda dengan yang lainnya karena perbedaan keyakinan atau keimanan, namun panggilan kemanusiaan (saling menghormati, saling menghargai, saling membantu, dan saling-saling yang lain) adalah sebuah cerita yang berbeda. Kisah di atas juga mengajarkan bahwa satu di antara cara yang paling ampuh untuk mendakwahkan keimanan adalah dengan cinta, bukan dengan marah-marah. Si orang Majusi memutuskan ingin beriman kepada Allah bukan karena ajakan Nabi Ibrahim, tetapi karena kasih sayang Allah kepada seluruh umat manusia — tanpa memandang ia kafir atau bukan — dalam cerita yang dituturkan oleh Nabi Ibrahim. Tentu saja hati orang Majusi tersebut baper sebaper-bapernya. Bagaimana tidak baper, jika Allah (yang notabenenya belum ia akui sebagai Tuhan) justru menegur Nabi Ibrahim karena menolak ajakan seseorang yang belum mengakui-Nya sebagai Tuhan? Hancur sudah pertahanan ke-majusi-annya gegara suatu hal yang disebut ‘cinta’. Tak berlebihan jika seorang budayawan nasional, Sujiwo Tedjo mengatakan bahwa bukankah kehidupan menjadi lebih mati jika tanpa dilandasi cinta dan kasih?

Pada akhirnya, dimensi pemikiran Gus Dur — yang sering dianggap nyeleneh oleh sebagian orang — mampu menerjemahkan Islam secara terbuka yang mampu menghormati perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara umat manusia dengan cinta. Selain masalah tabloid Monitor dan gerakan Ahmadiyah, hal lain yang tak boleh lenyap dalam ingatan adalah pembelaan Gus Dur atas kasus goyang ngebor Inul Daratista (tahun 2003 Inul terancam diboikot gegara goyang ngebor-nya, namun berhasil diselamatkan oleh Gus Dur).

Jika merujuk pada pendapat Abdul Karim bin Hawazim dalam kitab ar-Risalah karya al-Qusyairi, maka Gus Dur sudah sangat layak disebut seorang Sufi. Hal ini disebabkan oleh definisi sufi itu sendiri adalah seseorang yang mampu melihat alasan untuk memaafkan perbuatan yang dianggap tidak baik dan Gus Dur mampu menunjukkan hal tersebut kala membela Inul. Senada dengan yang disebutkan di dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107 bahwa Islam adalah Rahmatan lil Alamin. At-Thabari dalam tafsirnya memaknai Rahmatan lil Alamin sebagaimana madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa Islam adalah rahmat untuk seluruh alam, sehingga tujuan Nabi Muhammad diutus adalah menciptakan kehidupan sosial yang saling menghormati, mengasihi, dan menghindari saling benci. []

——————
Akhmad Idris, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya

2 Comments

2 Comments

  1. Avatar

    Soepardji

    Desember 15, 2020 at 6:11 pm

    Thank you so much ya Sir🙏

    • Udo Z Karzi

      Udo Z Karzi

      Desember 15, 2020 at 7:27 pm

      Terima kasih juga. Tabik.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top