Cerita Pendek

Pigura yang Menangis

Cerpen Anggi Nugraha

PADA waktu-waktu tertentu pigura itu selalu saja basah. Meski tak turun hujan, tak juga tampak ada atap yang bocor, ia memang selalu terlihat basah. Akan tetapi, sebagaimana langit yang pasti menangis, ia juga tak pernah tahu kapan tangisannya itu akan berakhir.

Sepuluh tahun sudah berlalu di mana pigura itu lama terpajang. Selama sembilan tahun yang telah menghilang, ia layaknya pigura pada umumnya. Ia hanya kotor oleh debu-debu yang melekat. Ternodai oleh sawang, juga puluhan titik-titik dari kotoran nyamuk, lalat, juga cicak yang kebetulan hinggap. Dan seperti biasanya, ia akan segera dibersihkan oleh seorang lelaki paruh baya penghuni kamar itu. Namun, setahun berselang, ia selalu bersedih. Ia selalu meneteskan air mata.

”Lihatlah dinding itu!” ucap seorang perempuan seraya menunjuk pada dinding yang ia maksud. Selalu saja, manakala ia datang, ia merasa dinding itu terlihat basah.

”Mungkin semalam hujan!” jawab sang lelaki sembari membuka pintu kamarnya di pagi hari. Tampak di luar cuaca begitu lembap. Ada titik air yang menggantung di sebuah sudut genting di seberang kamarnya. Rumput-rumput pun kuyup. Pertanda benar, semalam turun hujan. Dan mereka betul-betul telah terlelap pada saat-saat yang begitu gelap.

”Tidakkah kau pulang hari ini?” tanyanya pada sang lelaki.

”Rasa-rasanya tidak perlu.”

”Emang kau tak rindu pada mereka?” seraya berucap, perempuan itu menggiring pandangan sang lelaki pada pigura yang menggantung di dinding sana.

”Ah, sudahlah! Lupakan!” pria itu pun kembali memeluk mesra kekasihnya sembari menanti datangnya sinar mentari.

Namanya memang Mentari. Anak-anak murid di sekolah memanggilnya Ibu Tari. Seperti namanya, ia memang selalu dinanti. Termasuk oleh pria itu, pria yang telah lama jadi penghuni kamar tersebut.

Kisah pun berawal dari 360 hari yang silam, di mana lelaki itu mulai bekerja sebagai seorang guru baru. Kesabaran memang selalu saja berbuah manis. Setelah bertahun-tahun menjadi guru honorer di sebuah sekolah dasar, kini, di sekolah yang baru ia menerima honor tanpa perlu lagi menunggu tiga bulan pada pihak sekolah untuk gajinya dibayarkan; pegawai negeri.

”Perkenalkan, saya Deni Rizal, guru baru di sekolah ini,” seraya menjulurkan tangannya pada guru perempuan itu.

”Tari… Mentari,” jawabnya, singkat.

Itulah waktu-waktu pertama, tatkala tak ubahnya kedua insan itu seperti rekan sejawat. Mentari yang telah lama hidup sendiri—karena suaminya telah pergi bersama seorang biduan dan tak lagi kembali itu—lambat laun merasa ada yang lain saat Deni Rizal menatapnya. Seperti ada yang bertandang pada bola matanya yang telah lama kosong, untuk akhirnya menetap dan tak mau lagi pergi.

Seiring berjalan waktu, mereka berdua sering terlihat pulang bersama. Dan lambat laun Mentari lebih dari sekadar mengerti, bahwa bersama Deni Rizal, hidupnya jadi lebih berwarna.

Lantas, ada apa dengan pigura itu? Pigura yang selalu menangis itu?

3600 hari. Layaknya CCTV. Pigura itu telah merekam apa saja yang terlihat. Ia telah menjadi saksi, di mana pada masa-masa yang pernah ada dulu, sosok laki-laki penghuni kamar kos itu tampak begitu setia pada pasangannya nun jauh di sana. Namun, adakah yang lebih mengancam kesetiaan seorang lelaki pada pasangannya selain daripada jarak?

Kini, lelaki itu jadi jarang pulang. Tak seperti biasanya di mana dua minggu sekali ia pasti kembali ke rumahnya di luar kota itu, menghabiskan waktunya tuk bercumbu mesra dengan anak juga istrinya. Kini, cinta yang lain telah membawanya pada dunia yang baru. Cinta, memanglah benar surga kecil di dalam hati, yang tak pernah bisa diartikan.

”Coba kau simpan saja pigura itu!” pinta Mentari di satu hari. ”Aku seperti dimata-matai. Mata istrimu itu, lho! Lihatlah ia selalu menatapku tajam.”

”Tenanglah!”

”Tapi aku takut, Sayang!”

Bilamana Mentari merasa takut, Mentari bisa tidak datang berhari-hari bahkan berminggu-minggu ke tempat itu. Dan pada saat-saat seperti itu, pigura itu pun tak pernah menangis. Namun, bukankah cinta itu seperti magnet? Meskipun ia terbelah jadi dua, magnet itu akan selalu ingin bersatu. Seperti kedua insan itu, yang pada akhirnya kembali bertemu dan tinggal bersama. Bila sudah begitu, giliran pigura itu yang akan menangis berhari-hari, bahkan berminggu-minggu.

Semakin hari berganti, keduanya pun kini terlihat semakin mesra saja. Pigura itu pun semakin tersiksa menahan perihnya beban hidup. Selama ini ia jadi penopang kesedihan wajah-wajah di foto itu. Setiap mata dalam foto itu mengalirkan air mata kesedihan.  Karena terlalu seringnya foto itu menangis, pigura itu pun menjadi lembap dan mulai rapuh. Rayap-rayap pun mulai asyik meremahnya.

Tapi seperti yang sudah-sudah, laki-laki itu memang teramat piawai mendamaikan kekasih barunya. Menenangkan hatinya.  Meyakinkannya bahwa takkan terjadi apa-apa atas semua hal yang tengah mereka lalui. Sedangkan di sana, di tempat yang lain, Aghnia, sang istri sah Deni Rizal mulai resah pikirannya. Sungguh benar bila Tuhan menciptakan perempuan dengan perasaan yang teramat dalam.

Aghnia mulai merasakan ada yang berbeda pada saat suaminya itu mengangkat telepon. Kini, suaminya itu tidak semesra dulu. Ia pun sering terlambat membalas pesan singkat. Tak jarang juga ia tidak membalas pesan atau tak mengangkat telepon darinya sama sekali.

Karena itu, entah kenapa, seperti ada yang menggerakkan Aghnia untuk menyambangi kota itu, kota di mana telah sepuluh tahun suaminya itu menetap untuk bekerja. Maka, kegelisahannya itu semakin tak tertanggungkan. Segera ia pun berkemas. Di sebuah pagi yang cerah, ia mengajak serta kedua anaknya. Aldi, sang anak lelaki, begitu senang tatkala ia akan bertemu dengan ayahnya. Begitupun dengan Arina, anak perempuan mereka, ia pun sangat ceria akan memberi kejutan pada ayahnya, karena sesuai rencana, mereka pergi tanpa memberi kabar terlebih dahulu pada ayah tercintanya.

Syahdan, ketiganya pun menumpang bus ke kota itu. Dibutuhkan waktu kurang lebih setengah hari tuk menuju ke sana. Di tengah perjalanan, pikiran Aghnia teramat kalut. Tak tentu arah. Selalu saja pikiran-pikiran buruk menghantuinya. Apakah hal itu yang disebut intuisi? Atau jauh-jauh sedari dulu orang-orang Yunani menyebutnya sebagai ”firas”? Pastinya, Aghnia tampak begitu murung. Gambaran terburuk dari bayangan-bayangan itu adalah pada saat nanti, ketika ia mengetuk pintu kamar suaminya, maka ia kan dapati seorang perempuan di dalamnya tengah berpelukan, bercumbu mesra bersama suami tercintanya. Sungguh, meski tampak berulang-ulang ia mencoba tuk melupakan, pikiran itu lagi-lagi datang. Meski demikian beruntung, sesekali lamunannya itu dikacaukan oleh ajakan sang bungsu, Arina, untuk melihat burung-burung yang terbang rendah di luar sana. Tampak pula pemandangan sepasang kakek-nenek yang masih kuat berboncengan menggunakan sepeda ontel tua. ”Indah sekali,” pikirnya. Sedangkan dalam pada itu, si sulung, Aldi, tengah terlelap sedari tadi.

Dan waktu pun mengalir seperti air. Tak dinyana setengah hari hampir berlalu tatkala Deni Rizal baru kembali dari mengajar. Tak ketinggalan Mentari yang tak lama datang dengan motor yang berbeda.

”Hari ini aku tak enak perasaan!” ucap Mentari setelah ia memarkir kendaraannya itu.

”Ah, mungkin kamu kecapekan! Istirahatlah!” ucap Deni Rizal. Lantas tak lama, keduanya pun tampak terlihat memasuki kamar.

Di dinding kamar itu tampak pigura perlahan basah. Kini kayunya semakin terkikis. Pada salah satu ujungnya, pigura itu memang sudah tak lagi saling mengikat. Habis dimakan rayap. Dan bisa saja, angin yang berembus dari luar akan mengempaskannya. Namun demikian, di luar, udara setenang purnama.

Di tempat berbeda, Aghnia, dan kedua anaknya satu jam lagi akan memasuki kota itu. Kini ketiganya masih berada di jalan tol di mana kanan kirinya tampak jurang begitu curam. Sang bungsu kini tampak tertidur. Sedangkan si sulung, menatap lika-liku jalanan. Aghnia masih saja dengan pikiran-pikiran buruk yang menghantuinya itu. Hingga tak lama, tiba-tiba saja sopir kehilangan kendali. Dalam kecepatan bus-nya yang tinggi itu ia kehilangan keseimbangan karena rem-nya blong. Seketika saja, para penumpang pun berteriak histeris. Setiap pasang mata menatap nanar pada sekitar. Segala cara sopir itu lakukan untuk menghentikan bus itu. Tapi sia-sia, karena tak lama, bus itu pun membentur pemarka dan akhirnya terjun bebas ke jurang yang dalam.

Sementara di sana, di kamar itu, tatkala kedua insan sedang dimabuk cinta, tiba-tiba pigura itu jatuh ke lantai.

Praaaaang….

Bingkai, kaca, juga foto yang ada di dalamnya berserakan begitu saja.

Keduanya terkejut mendapati hal itu. Tak ada binatang yang melintas atau pun angin yang menerpa, namun pigura itu jatuh. Deni Rizal dan Mentari pun seketika bersitatap. Kedua bola matanya saling berbincang kini. Lantas, keduanya pun memunguti puing-puing tersebut. Mungkin, itulah kali terakhir pigura itu menangis, sebelum akhirnya Deni Rizal memutuskan untuk tak lagi memajangnya. Namun, Deni Rizal juga belum menyadari, bahwa setelah pigura itu terempas, ia akan merasakan betapa perihnya sebuah kehilangan. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top