Pustaka

Gus Dur, Literasi, dan Kita

Oleh Ahmad Farisi

SETIAP kali mendengar nama Gus Dur, saya selalu merasa bangga dengannya. Secara pribadi, saya sangat mengaguminya. Pun saya tidak semasa dengannya, tetapi saya merasa dia selalu dekat dengan saya. Seakan Gus Dur masih ada di alam fana ini, memperjuangkan kemanusian, demokrasi dan hak-hak minoritas lainnya.

Suatu ketika, saya pernah membaca biografi perjuangannya yang terangkung dalam Biografi Gus Dur karya Greg Barton. Air mata saya berlinang dan hati saya terhanyut pilu mengetahui bagaimana ia berjuang dan mengorbankan dirinya untuk kepentingan kehidupan bangsa ini.

Sekali lagi, saya sangat mengaguminya. Bagi saya, ia adalah pejuang sejati bangsa ini yang belum ada gantinya. Bagi saya, ia adalah bagian dari keluarga saya, kita dan Anda.

Sekonyong-konyongnya, ada tiga alasan konkret mengapa saya begitu sangat mengagumi dan mencintainya. Pertama, karena dalam pandangan saya, ia adalah sosok satu-satunya yang rela memperjuangkan kemanusian tanpa pamrih dan imbalan apa pun. Perjuangannya betul-betul lahir dari nuraninya. Bagi dia, membela kemanusiaan adalah kewajibannya sebagai manusia.

Hal itu, tergambar jelas dalam sebuah celetukannya yang hingga kini masih abadi, celetukan itu berbunyi bahwa “manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia. Karena itu, memuliakan manusia sama halnya dengan memuliakan Tuhan. Sebaliknya, menghina dan meremehkan manusia, itu sama saja dengan menghina dan meremehkan Tuhan.”

Kedua, sebab bagi saya ia adalah sang pluralisme sejati. Sang pluralis yang berani membela kepentingan kaum atau suku minoritas yang tertindas pun berisiko fatal kepada dirinya sendiri.

Ketiga, adalah karena ia juga merupakan seorang peecinta literasi. Ya, bagi saya, Gus Dur bukan hanya sosok manusia humanis dan pluralis. Tetapi ia, juga sosok yang sangat gemar berliterasi; membaca menulis dan berkontemplasi.

Dalam catatan Grag Barton pada buku Biografi Gus Dur, diceritakan bahwa menurutnya Gus Dur sudah sangat menyukai dunia literasi sejak ia masih kecil. Kesukaannya terhadap dunia literasi ia ungkapkan dengan kesukaannya membaca buku-buku. Semasa teman-teman sebayanya masih suka berlarian di halaman atau amperan rumah, ia memilih menyendiri—menyelami lautan kata-kata dalam lembaran buku-buku.

Sejak tinggal di Menteng, Jakarta Pusat, menurut Greg, Gus Dur sudah aktif membaca. Hal itu dipengaruhi karena di rumahnya itu terdapat banyak buku, majalah, koran dan sejumlah surat kabar lainnya.

Pasca meninggalnya sang ayah, Wahid Hasyim, pada usia ke 38 tahun karena kecelakaan, sementara Gus Dur masih berusia 12 tahun, ketertarikan Gus Dur untuk membaca buku-buku semakin menguat. Ia jarang keluar rumah tanpa membawa sebuah buku. Bila ada sesuatu yang tak dapat ditemukannya di perpustakaan rumahnya, ia di izinkan mencari di toko-toko yang menjual buku bekas di Jakarta (Greg Barton, 2020).

Jadi, adalah suatu kepantasan jika sejak 2015 lalu The Wahid Institute bersama Komodo Dragon Foundation mendirikan patung Gus Dur kecil yang sedang berdiri membaca buku, yang ditempatkan di Taman Amir Hamza, yang merupakan tempat bermain Gus Dur semasa kecil.

***

Setelah itu, pada tahun 1954, Gus Dur pergi ke Yogyakarta untuk belajar. Di Jogja inilah, kesenangan Gus Dur membaca semakin menemukan puncaknya. Pasalnya, bagi Gus Dur yang pencinta buku, toko-toko yang menjual buku bekas di kota ini sangat membawa berkah kepadanya.

Bagi Gus Dur tiada hari tanpa buku. Dan membacanya adalah keharusan. Bahkan, sebagaimana diceritakan oleh Hairus Salim HS, dalam Sang Kosmopolit (2020), saat kuliah di Al-Azhar, Kairo pun, Gus Dur sangat jarang mengikuti kuliah di kelas-kelas bersama teman-temannya yang lain. Ketimbang mengikuti kelas yang membosankan itu, Gus Dur lebih senang dan pas membaca buku.

Tidak hanya buku, Gus Dur juga kerap membaca apa saja yang ia dapat baca. Potongan surat kabar, majalah dan yang lainnya. Salah satu kesukaan bacaan Gus Dur adalah Komik China. Bagi Gus Dur, komik China bukan hanya berisi cerita fiksi belaka. Ada banyak pelajaran di dalamnya, salah satunya pelajaran tentang ketundukan seorang murid kepada guru.

Tidak hanya membaca. Gus Dur juga gemar menulis artikel populer di media massa. Sebut saja salah satunya Koran Tempo. Dalam tulisannya, putra mantan Menteri Agama era Soekarno itu menyoroti berbagai isu yang sedang terjadi, mulai dari politik, agama, kebudayaan dan isu-isu sosial lainnya. Saat ini, tulisan-tulisannya yang pernah tersiar di media massa itu, telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku. Salah satunya buku berjudul Tuhan Tak Perlu Dibela.

Dalam catatan Hairus Salim HS pada Sang Kosmopolit itu, baginya Gus Dur adalah bagian dari dua presiden Indonesia yang menulis, setelah Soekarno. Jadi, selain Gus Dur dan Soekarno, tidak ada sampai hari ini ada presiden kita yang gemar menulis seperti mereka. Menarik bukan?

Pertanyaannya kemudian, mengapa Gus Duru berliterasi? Sejauh ini, sebagai pengagum dan pencinta Gus Dur, dalam berbagai literatur saya belum pernah menemukan mengapa Gus Dur menaruh perhatian yang begitu besar pada dunia literasi (baca-tulis)?

Akan tetapi, dalam hemat saya, alasan paling tepat dan pas untuk menjawab pertanyaan itu adalah karena Gus Dur sadar, dengan berliterasi (membaca dan menulis) cakrawala pemikiran manusia akan cemerlang, terbuka dan kritis merespon perkembangan zaman dan sosial. Sehingga, dengan hal itu manusia bisa menolak ketertinggalan dan keterpurukan.

Begitulah, Gus Dur dan literasi. Kita, bagaimana? []

———————-
Ahmad Farisi, bergiat di Forum menulis Gawiksa Institue Jokjakarta.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top