Dalam Gua

Cerpen Bulan Nurguna
PULUHAN ribu tahun sebelum masehi, di antara pegunungan yang setiap lima kali musim hujan selalu mengeluarkan api, hiduplah sekawanan manusia. Mereka terdiri dari sekitar dua puluh orang; wanita dan lelaki, serta beberapa anak, yang sudah menjelang remaja maupun yang masih dalam gendongan.
Kawanan itu hidup di dalam gua yang dalam, besar, dan dingin. Mereka menjadikan suwir-suwiran batang kayu sebagai tempat tidur, mirip sarang burung. Anak-anak yang masih bayi tidur bersama ibunya masing-masing, sedangkan yang lain bebas tidur dan bersetubuh dengan siapa pun yang diinginkan.
Pemimpin mereka bisa berganti setiap waktu. Karena pemimpin lama bisa melemah, menua, atau melakukan suatu kesalahan fatal. Pemimpin bisa berasal dari lelaki atau wanita, biasanya dari anggota yang berumur belasan sampai lebih dari lima puluh tahun.
Pada saat itu, pemimpin mereka adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun. Badannya lebih tinggi dari banyak anggota lelaki, dan paling tinggi di antara para wanita. Ia sudah pernah menyetubuhi banyak orang di dalam kawanannya, tetapi yang paling sering adalah dua orang lelaki dan seorang wanita. Lelaki pertama lebih tua darinya, yang sebelumnya memimpin mereka, sedang lelaki kedua adalah anak kandungnya sendiri. Sedangkan yang wanita sebaya dengannya, wanita yang tubuhnya paling kecil di dalam kawanan.
Suatu hari, karena persediaan makanan telah habis, wanita pemimpin itu menyuruh semua anggota untuk berburu dan mencari buah-buahan. Wanita dan lelaki yang kuat, tangkas, dan relatif muda, tidak terkecuali para remaja, disuruh berburu binatang. Sedangkan wanita dan lelaki yang sudah tua, bersama wanita yang memiliki anak kecil dan orang yang sakit-sakitan disuruh mencari buah-buahan di dekat gua.
Yang tersisa di gua hanyalah sang pemimpin. Saat itu sudah musim kemarau, dan sepertinya gunung akan meletus lagi. Sudah sering ia mengendus bau asap yang semilir dari gunung paling tinggi dan besar, di antara gugusan gunung-gunung lain. Kali ini ia khawatir, karena ketika meletus terakhir kali, gunung itu memakan banyak korban dari kawanannya.
Ia putuskan untuk pergi dari kawasan itu. Pergi entah ke mana, asal tidak di sana lagi. Tetapi, untuk pergi dibutuhkan bekal yang tidak sedikit. Sebab belum tentu di perjalanan nanti ia dan kawanannya bisa mendapatkan persediaan makanan yang cukup. Masalahnya, kawanan itu tidak hanya terdiri dari orang yang bisa mencari makanan sendiri, ada beberapa orang lebih sering merepotkan yang lain, bahkan merepotkan dirinya.
Kerepotan itu dimulai dari persediaan makanan yang sebenarnya hanya didapatkan oleh sebagian orang, tetapi dinikmati oleh semuanya. Sedangkan pada musim kemarau, banyak binatang yang mereka temukan hanya bersisa tulangnya saja, dan banyak tumbuhan yang mati, dan kalau pun tidak mati, begitu kering, bila menghasilkan buah, buahnya begitu kecil. Mata air dan air terjun yang ada di dekat gua juga cuma menghasilkan sedikit air.
Pemimpin kawanan itu sudah berkeputusan untuk membunuh semua yang lemah, yakni mereka yang sedang ditugaskan untuk mencari buah; semua orang yang ada di dekat gua, semua orang yang bisa ia jangkau lehernya dengan segera.
Ia ambil salah satu perkakas andalannya, tulang yang runcing di bagian ujung, dari tulang binatang sejenis sapi. Ia ke luar memutari gua, dengan alur spiral. Pertama, ia bertemu dengan anggotanya yang sudah sangat tua, seorang lelaki yang belum mendapatkan apa-apa, padahal sudah agak lama keluar dari gua. Ia pikir lelaki itu memang sudah tidak pantas hidup, walau masih bisa bernapas. Mereka berdua bertemu mata, lelaki itu sudah menangkap apa yang ingin dilakukan pemimpinnya, tetapi dia sudah tidak punya gerak refleks. Wanita itu menusukkan senjatanya ke leher lelaki itu, tanpa banyak perlawanan. Setelah itu, ia mencungkil satu gigi lelaki itu dengan tulang runcing yang sama.
Ia berjalan kembali, kali ini ia temukan seorang wanita yang membawa anak. Wanita itu sebenarnya telah mendapat sebiji buah, seperti gabungan antara tomat dan pisang. Tetapi buah itu sedang dimakan anaknya, dan yang tersisa di tangan anak itu hanya segenggam kecil saja, yang sepertinya akan habis dalam beberapa suap lagi dan tak akan menyisakan apa-apa untuk dibawa pulang.
Dengan gerak cepat ia berlari ke arah wanita yang tidak berusaha menghindar itu. Ditendangnya wanita itu di bagian perut, hingga terjatuh bersama anaknya. Anak itu menangis dan buah itu terlempar dari tangannya. Karena agak lapar, sang pemimpin mengambil buah itu dan memakannya. Sambil mengunyah ia membunuh ibu-anak itu; pertama ibunya, lalu anaknya, dengan cara yang sama seperti saat membunuh lelaki tua tadi. Makanan yang masih berada di dalam mulut anak itu ia keluarkan, lalu ia makan. Tidak lupa, gigi perempuan itu diambil satu, juga gigi anaknya.
Ia menemukan seorang wanita remaja yang harusnya mengikuti kawanan pemburu, karena badannya sudah cukup besar. Tetapi remaja itu mengatakan ia masih layak mencari buah-buahan saja. Ya, dia sudah menentukan nasibnya, pikir pemimpin kawanan itu. Ketika berhadap-hadapan, dengan insting yang kuat, wanita remaja itu mengerti bahwa pemimpinnya ingin bertarung dengannya. Wanita remaja itu memukul pemimpinnya dengan sekuat tenaga dan membabi buta. Tetapi hal itu tidak dibiarkan begitu saja, sang pemimpin menjambak dan memukul wajahnya, dan terakhir ia hujamkan tulang itu ke kepala bagian belakang remaja itu hingga bersimbah darah dan tersungkur. Remaja itu belum mati, tetapi ajal sepertinya telah dekat. Karena tidak mau membuang waktu sebab beberapa nyawa masih menunggu, pemimpin itu pun membuka mulut si remaja dengan kasar, dan mencungkil satu giginya yang paling kecil, gigi bawah bagian depan.
Selanjutnya ia membunuh beberapa orang lagi. Tentu,ia membunuh mereka dengan mudah. Pertarungan hanya ia dapatkan ketika membunuh wanita remaja tadi, selebihnya hanyalah orang-orang lemah yang menerima takdir mereka. Dari setiap orang yang ia bunuh, ia mengambil satu gigi.
Hari telah sore, tetapi hawa kemarau yang panas membuat matahari seakan belum banyak berubah, masih begitu terik dan kering. Ia taruh alat yang ia pakai untuk membunuh tadi di tempat semula, di salah satu sudut gua. Seluruhnya ada delapan pembunuhan. Ia puas, sudah ia lakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Sekarang, ia taruh gigi-gigi itu di atas batu besar di tepi gua. Ia nyalakan api dan mulai merapal mantra. Ia mulai memasukkan kepercayaan untuk dirinya sendiri, bahwa yang membunuh, ah, bukan membunuh, yang mengambil orang-orang lemah itu adalah Dewa Matahari dan Dewi Bulan, yang sedang membutuhkan pelayan-pelayan untuk menjaga anak-anak dari hasil persetubuhan mereka.
Seorang wanita anggota kawanan tiba-tiba kembali dengan tidak membawa apa-apa. Hari telah menjelang malam. Wanita itu menarik sang pemimpin ke dalam gua, jauh ke dalam gua, tanpa menjelaskan apa-apa. Napas wanita itu memburu, sementara sang pemimpin tetap mengikuti.
Di dalam gua yang sangat gelap, wanita itu mulai bercerita. Kawanan mereka, yang pergi sejak pagi, sebenarnya telah mendapatkan seekor binatang besar, mirip gabungan sapi dan ular. Tetapi di tengah jalan pulang, mereka bertemu dengan kawanan karnivora, hewan yang mirip serigala dicampur elang, yang baru pertama kali mereka lihat, dan ternyata begitu buas. Mereka sudah melepaskan hasil buruan mereka untuk diserahkan kepada kawanan hewan buas itu, tetapi itu tidak cukup. Mereka juga menginginkan yang menyerahkan hasil buruan itu menjadi buruan yang baru.
Hanya satu orang yang berhasil selamat, ia sungguh ketakutan. Sekarang mereka berada di dalam gua yang penuh cecabang, tidak membawa api. Sementara di luar hewan-hewan buas itu siap memangsa. Segalanya terasa gelap; kesunyian yang begitu panjang. Puluhan ribu tahun lamanya. []
Gunung Sari-Gang Metro, 29 Maret-12 April 2020
