Negarabatin (2)
Negarabatin itu negeri antah barantah, kata istriku. Mungkin. Tapi bukan pula karena itu aku jarang pulang. Padahal, dalam ukuranku yang biasa berjalan-jalan, Negarabatin yang hanya lima sampai jam perjalanan mobil tidak terlalu jauh. Tapi, memang kalau enggan walau dekat rasanya menjadi jauh.
Tapi, entah kenapa… mati-matian aku membuang pekon-ku dari kepalaku, dari hatiku, dari ingatanku, selalu saja ada bahan yang menjadi lantaran bahwa Negarabatin tidak mungkin hendak hilang dariku.
“Oh, kamu rupanya yang punya nama ini,” begitu kata Yosi di Facebook melihat fotoku yang ganteng. Hahai!
“Nah, kukira kamu sudah tahu…” ujarku.
“Sudah lama juga kita tidak bertemu.”
“Iya, ini kita bertemu di Facebook.”
“Siapa teman-teman se-SDN 1 Negarabatin kita yang ada di sini?”
“Aduh… entah. Sedikit yang main Facebook-an. Di Karang ini ada Nur, Astina. Ada juga Jaya, tetapi tidak main-main medsos. Ijal di Lubuklinggau… Yang di pekon saja, jadi pengusaha sukses ada Sodri. Kifli, Romzi… sudah meninggal. Gadis, Ati, Maman, Polok, Netti, Yestri, … entah siapa-siapa lagi saya tidak tahu mereka di mana sekarang….”
Sulit juga aku hendak mengingat-ingat teman sekelas waktu Sokolah Dasar di Negarabatin. Kumpulan anak ngawur, anak gila-gilaan, anak pengganggu yang lain, anak dungu, anak penangis, anak ingusan, anak bauk, … ada semua jenis temanku. Mengenang perilaku kami kala bocah, sering aku senyum-senyum sendiri, terkadang terbahak tak sadar.
Nah, kalau begini bagaimana aku lupa pada Negarabatin. Terlalu banyak cerita dari kampung halamanku ini. Sayang jika tidak ditulis.
Kareana itu, baiklah kumulai berkisah.
#2
RUMAH PANGGUNG HAMPIR ROBOH
Hujan lebat sekali sejak sore tak usai-usai. Ditambah angin kuat pula. Walau rumah beton, hujan angin seperti ini tetap saja membuat rasa takut. Apalagi orang yang di rumah panggung ini. Bagaimana tak ketakutan jika melihat keadaan rumah. Dinding bambunya sudah mulai rapuh. Ada juga yang sudah bubukan. Rumahnya pula tidak lagi lurus berdirinya, sudah condong ke kanan seperti hendak roboh. Atap sengnya sudah berlubang di beberapa tempat. Terkadang sengnya seperti hendak terbang ditiup angin kencang.
Mengkhawatirkan jika ada gempa besar. Jangankan gempa, angin ribut saja membuat seisi rumah resah.
Tengah malam ini hujan lebat bercampur angin. Di luar kelam pekat. Hanya ada sinar kecil dari lampu minyak tanah dari rumah-rumah di Negarabatin. Listrik belum masuk ke pekon ini. Lampu petromak yang biasanya dinyalakan sore sebelum Magrib sejak pukul 10 sudah dimatikan.
Di rumah panggung yang hampir roboh, seorang perempuan gelisah sejak sore. Ia sendirian di kamar tidur. Tidur salah, berdiri tak nyaman, duduk juga gelisah. Diusapnya perut besarnya. Sudah Sembilan bulan lebih. Seperti sudah waktunya. Mana pula suaminya belum datang juga. Ia sudah berpesan kepada ulo-ulo[1]sayuran menitip pesan agar Jahri, suaminya secepatnya pulang ke Negarabatin. Suaminya bekerja di Ulok Krui, dekat laut sekira satu jam perjalanan mobil oplet, tetapi ngetemnya bisa lima jam.
“Tak lama lagi,” kata Nenek Rakimah, dukun beranak kemarin ketika melihat perempuan hamil ini karena ia mengatakan bayi yang di dalam perutnya sudah sering menendang-nendang dinding rahimnya.
Kala bayi di dalam perutnya meninju-ninju, langsung ia pegang perutnya sambil senyum-senyum sendiri.
“Anak kita lelaki,” kata Jahri.
“Perempuan,” Zanaha membantah.
>> BERSAMBUNG
[1] Ulo adalah agen/pedagang sayuran atau lauk yang mengambil dan menjual kembali sayuran/lauk ke pedagang lain, misalnya mengambil sayuran dari Liwa, Lampung Barat dan menjualnya kembali ke Krui, Pesisir Barat, dan sebaliknya mengambil ikan di Krui untuk mengopernya ke pedagang ikan di Liwa.