Cerita Bersambung

Negarabatin (12)

Hendra yang duduk di sebelahku semeja berdiri juga sambil berkata, “Pak Guru, ada cacing.”

Nah, ribut sekelas. Yang tidak enaknya Hendra main tuduh saja berkata padaku, “Hai… cacingan kamu.”

Jelas saja aku tak mau mengaku.

“Bukan. Cacing itu bukan dari saya,” kataku.

Entahlah,  dari mana asal cacing yang ada di bangkuku. Cuma membuatku malu saja.

#5

NGAJI JAMA TAMONG, NGAJI DI SURAU

Bersamaan dengan aku masuk sekolah, belajar membaca, menulis, dan berhitung; aku juga mulai mengaji. Awalnya di rumah saja. “Tamong[1], sini belajar ngaji. Mesti bisa membaca Alquran juga. Jangan cuma pintar di sekolah saja,” kata Tamong Hakim kepadaku.

Tamong Hakim mengatakan juga kepada bak dan mak. “Sejak malam ini, bakda Magrib menunggu Isya, tamong ini saya ajari ngaji,” ujar Tamong Hakim kepada Jahri.

Demikianlah aku mulai mengaji Juzz Amma dengan Tamong.

Alif date a… alif bawa i … alif dapan u… a i u.

Ba date ba… ba bawa bi … ba dapan bu … ba bi bu.

Ta date ta… ta bawa ti…  ta dapan tu …ta ti tu.

Ada pula:  tanda mati, misalnya ba date ba nun mati jadi ban.  Tanda sabdu, seperti alif bawa sabdu nun bawa … inni.

Terus mengaji Amma dengan dengan Tamong setiap malam. Aku dengar-dengar dari orang-orang, Hakim, Tamong-ku, ketika masih muda sempat belajar agama  di Sumatera Barat. Bisa benar kalau hendak menjadi guru mengaji atau ustaz. Tapi, Tamong tak mau. Ia lebih suka mengoret di lading. Jika tidak jalan manjau[2] sambil sebabalak awak[3] dengan siapa saja, tidak memilih orang.

Sejak kecil aku dan adik lelakiku memang tidur bersama tamong. Selain mengaji, Tamong banyak pula omong-omong, ngobrol, bewarah[4], sambil melihat-lihat bukunya. Ada satu lemari besar buku tamong. Awalnya aku tak bisa membacanya. Bagaimana tidak, buku-buku tamong itu menggunakan “huruf Arab gundul”[5] semua.

“Bagaimana cara membaca ini, Mong kalau tak ada anaknya,” tanyaku.

“Dikira-kira saja. Sama dengan huruf Latin yang dibuang huruf vokalnya. Seperti ini, dibaca ‘Rukun Sembahyang Mayit’. Ini ‘kewajiban sesame umat muslim’, … begitu seterusnya,” ujar Tamong sambil membuka beberapa halaman buku yang diambil dari lemari tua.

Tamong suka pula bercerita kala ia masih muda. Ketika muda, Tamong memang sering berjalan-jalan, bersekolah agama jauh sampai Sumatera Barat, sempat pula berladang di Ranau, dan tempat-tempat lain. Tapi, karena anak tertua laki-laki, dulu Tamong diminta oleh tuyuk, orang tuanya pulang mengurus, menunggu rumah, dan menjaga pekon. Nah, begitu pula bak-ku, Jahri diminta Tamongku mulang pekon.

Ya, kalau tidak begitu, urunglah aku dilahirkan di Negarabatin. Hahai do

Kembali ke ngaji, mungkin setahun lebih aku mengaji dengan Tamong.

Kata Hakim kepada Jahri, “Ini Tamong sudah pandai mengaji. Dengan saya cukup. Antarkan Tamong pergi ngaji di Surau.”

>> BERSAMBUNG


[1] Panggilan kakek kepada cucu laki-lakinya atau nenek kepada cucu perempuannya.

[2] berkunjung ke tetangga, sanak-famili, kenalan

[3] berbesar omong, ngobrol ngalor-ngidul

[4] mendongeng

[5] huruf Arab Melayu, huruf Jawi

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top