Panggung

Ooh, Seni(man), Riwayatmu Kini…

SOAL kebudayaan, wabil khusus kesenian dan seniman, di negeri ini yang tidak kunjung mendapat perhatian — kecuali “seni” yang menghasilkan banyak uang karena sesuai dengan selera pasar[1] — saya sebenarnya sudah cukup mafhum. Tapi, tak urung saya kaget juga, walau tak sampai pingsan, membaca “Raibnya Direktorat Kesenian” yang ditulis Een Herdiani, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia Bandung yang juga Ketua Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia di Pikiran Rakyat, 8 Januari 2019.

Disebutkan, ada perubahan struktur organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 82 Tahun 2019, terutama pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan. Sebelumnya, susunan organisasi Ditjen Kebudayaan menurut Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2019 terdapat Sekretariat Dirjen, Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Direktorat Kesenian, Direktorat Sejarah, dan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya.

Kini, menurut Perpres yang baru, di bawah Dirjen Kebudayaan terdapat lima direktorat: (1) Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, (2) Perfilman, Musik, dan Media Baru, (3) Perlindungan Kebudayaan, (4) Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, (5) Tenaga dan Pembinaan Lembaga Kebudayaan.

Seperti halnya Een Herdiani, siapa pun akan bertanya-tanya ke mana Direktorat Kesenian? Apakah pemerintah tidak menganggap penting kesenian, kecuali film, musik, dan media baru? Bagaimana dengan kesenian lain seperti seni tari, seni rupa, teater, dan sastra? Melihat rumpun ilmu seni, ada tiga, yaitu seni pertunjukan, seni rupa dan desain, dan seni media; kenapa yang diurus Kemendikbud hanya sebagian saja dari kesenian seperti yang tertera film, musik, dan media baru?

Ah, saya jadi teringat dengan jawaban Nadiem Makarim, bos Gojek yang baru diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ketika ditanya tentang kebudayaan. Dirjen Kebudayaan menjadi bagian integral dari kementerian yang kini dipimpin Nadiem, bukan? Dari judulnya “Ubah Kebudayaan ke Teknologi”  sudah membuat saya berkerut. Terlebih, ketika membacanya secara keseluruhan. Wartawan Tribun Network Reza Deni Saputra bertanya kepada Nadiem Makarim, “Soal kebudayaan, apakah Anda sudah punya rencana terobosan?”

Jawaban Pak Menteri (paragraf di koran sengaja saya satukan):  “Saya belum bisa bilang terobosannya seperti apa, tapi yang jelas berhubung saya milenial dan background-nya teknologi, sudah pasti ada perubahan ke arah sana. Saya belum bisa mention apa rencana yang saya lakukan. Hal yang sudah jelas adalah kita ingin fokus kepada manusia yang keluar dari sistem pendidikan ini seperti apa.Satu, harus berkarakter, merupakan suatu sistem pendidikan  berdasarkan kompetensi, bukan informasi saja. Kedua, harus relevansi. Presiden selalu bilang link and match antara industri dan institusi pendidikan. Skill-skill tersebut yang kita pelajari harus relevan.Tentunya prinsip utamanya yaitu gotong-royong dan kolaborasi. Kita tidak bisa melakukan ini sendirian, harus ada gotong-royong. Pusat dan daerah, orangtua, guru, murid, semua harus gotong-royong menciptakan institusi dan kualitas pendidikan yang lebih baik.” (Tribun Lampung, 25 Oktober 2019)

Terus terang, saya tidak paham dengan Kebudayaan yang dimaksudkan Nadiem. Tapi, saya keburu keder melihat bagaimana ‘rakyat’ Endonesah mengelu-elukan sosok Pak Nadiem yang muda-ganteng-milenial dan saya mencoba memahami harapan perubahan dari sosok beliyou. Okelah, barangkali ada sesuatu yang akan dibawa oleh Pak Nadiem bagi kemajuan pendidikan dan tentu saja kebudayaan.

***

Itu sudah, saya berupaya melupakan itu, termasuk ketika Direktorat Kesenian menghilang dari Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Barangkali, saya salah sangka atau under estimate dengan beliyou. Saya berupaya berbaik sangka saja. Bagaimana pun beliyou adalah bapak dari para rupawan, sineas, teaterawan, sastrawan, novelis, cerpenis, penyair, … semua seniman dan termasuk budayawan.

Tapi, saya membaca lagi bagaimana  Mendidikbud dikritik karena menggandeng Netflix untuk memberikan pelatihan bagi para pembuat film Indonesia belajar ke Amerika Serikat (AS). Sebab, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) ini belum memenuhi aturan yang ada di Indonesia. Netflix belum berbadan hukum Indonesia. Padahal,  berdasarkan PP Perdagangan melalui Sistem Elektronik No.80/2019 Netflix bila berbisnis di Indonesia harus memiliki badan hukum usaha tetap di Indonesia.

Selain itu, operasi Netflix di Indonesia sedang disorot. Pasalnya, perusahaan video on demand (VOD) ini belum membayar pajak dari bisnis di tanah air. Netflix memanfaatkan celah dari belum adanya regulasi yang jelas soal bisnis over the top (OTT). Menteri Sri Mulyani pun sedang mengusulkan aturan omnibus law perpajakan. Salah satunya pemerintah bisa menarik pajak terhadap perusahaan yang tidak memiliki kantor tapi berbisnis di Indonesia. Aturan ini akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kemitraan Kemendikbud dan Netflik pun dinilai bukan terobosan, melainkan kebobolan.  Direktur Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan,  kerja sama Kemdikbud dengan Netflix jauh di bawah ekspektasi publik akan sosok pembaru dan diharapkan memberikan terobosan dari Nadiem Makarim. “Kita harapkan kan Kemendikbud dengan Pustekkom dan produser film Indonesia serta industri kreatif bisa mandiri bikin platform sendiri seperti Nadiem bangun Gojek,” kata Heru.

Kalau Youtuber yang berpikir gabung ke Netflix, kita bisa mafhum. Tapi, ini menteri lo?

***  

Itu film yang jelas-jelas ada direktoratnya, termasuk musik dan media baru. Yang langsung diurus sama Pak Mendikbud. Nah, bagaimana dengan tari, seni rupa, teater, dan sastra? Kesian deh lu! Siapa yang mau mengurus seni(man) yang “tak memberikan benefit” (Dalam wawancara dalam berita yang sama Nadiem berkata, “Kita harus memastikan semua rupiah yang kita keluarkan untuk negara ada benefit-nya, terutama di pendidikan.”)

Dengan latar pemikiran seperti itu, wajar jika kesenian yang diurus tentu yang akan memberikan keuntungan secara materi. Maka, wajar jika ditetapkan kementerian hanya mengurus film, musik, dan media baru – yang barangkali – memenuhi kriteria memberikan benefit itu.

Sementara itu seni tari, seni rupa, teater, dan sastra? Aah… barangkali, itu dikira hanya –pinjam istilah Mashdar Zainal – “pekerjaan mabuk” saja. Biar-biar saja, namanya juga orang mabuk. Orang mabuk masa dihormati, diapresiasi, diberi penghargaan?

***

Tapi, barangkali kesenian itu di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif? Atau, Kementerian Perdagangan? Atau, Kementerian Perindustrian?  

Ahai… kalau itu, jelas itu kesenian sebagai komoditas jualan. Semakin menyedihkan seniman yang karya seninya memang bukan untuk memenuhi selera pasar. Seniman bikin menjadi senewen deh!

***

Saya akhiri saja uneg-uneg yang agak kacau ini dengan mengajak berdendang bersama Jamal Mirdad dalam lagu “Pohon yang Rindang”:

…..

Kita ini seniman suka ikut-ikutan

Ingin cari jalan damai dan aman

Kita benci kekerasan

Kita benci peperangan

Negeri adil makmur kita rindukan

…..

Ooh, seniman, riwayatmu kini. []


[1] Selengkapnya baca: Udo Z Karzi. “Kebudayaan di Era Serbapolitis dan Serbauang”, kertas kerja untuk Temu Redaktur Kebudayaan Temu Redaktur Kebudayaan se-Indonesia 2012, di Jakarta, 9-11 Oktober 2012.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top