Jika Uang Jin Dimakan Setan
Oleh Gufron Aziz Fuadi
DI kalangan tertentu ada ungkapan “uang jin dimakan setan” untuk menunjukkan bahwa uang yang didapat sumbernya tidak jelas, tidak ada nomenklaturnya. Dan, uang seperti ini biasanya dihabiskan untuk apa, juga tidak jelas.
Dalam hal ini ada cerita nyata dari seorang kawan, waktu dulu masih ngantor di sebelah kantor gubernur. Kawan itu cerita, “Kemarin dapat uang sekian juta. Terus pulang kantor ke rumah. Belum sampai malam uang itu sudah habis karena ada yang datang. Inilah itulah nggak jelas… Heh memang dasar, uang jin dimakan setan…”
Menduduki jabatan dengan fungsi dan kewenangan tertentu akan memiliki kesempatan atau kerawanan untuk mendapatkan banyak uang dan sejenisnya dari jin.
Tetapi juga membuka kesempatan besar bagi setan untuk memakannya.
Kalau setannya seperti cerita kawan di atas masih mending. Tetapi tidak sedikit setannya berupa penyakit atau kecelakaan yang menimpa dirinya atau keluarganya. Dan lebih parah lagi kalau setan nya berupa hamba hukum yang bisa menyeretnya ke hotel prodeo yang menghabiskan dana tidak sedikit untuk mengurus ini dan itu agar bebas atau tidak lama tinggal di hotel prodeo.
Sudah begitu, meskipun kesengsaraan yang ditimbulkan sangat jelas dan terasa, tetapi jin dan setannya tidak bisa diruqyah.
Begitulah kisah uang jin dimakan setan. Dulu, Khalifah Umar bin Khattab menangis terharu saat mendengar bahwa gubernurnya di Homs, Said bin Amir, hidupnya sangat miskin. Segera Umar mengirim uang 1.000 dinar untuknya. Ketika gubernur Said menerima uang tersebut ia langsung istirja’, mengucapkan, Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Istrinya bertanya, “Apakah datang kabar kepadamu bahwa Khalifah Umar wafat?”
Said menjawab, “Lebih dahsyat dari itu! Telah datang kepadaku dunia untuk merusak akhiratku.”
Akhirnya, Said bin Amir menyedekahkan semua uang yang diterimanya untuk fakir-miskin.
Raja Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Umayyah pernah menawarkan kepada Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab untuk mencukupi segala kebutuhannya. Namun Salim yang hidupnya sangat sederhana menolaknya dengan halus.
Pernah juga Raja Harun Al Rasyid dari dinasti Abbasiyah memberi uang 1.000 dinar kepada Fudhail bin Iyadh, seorang ulama besar, tapi Fudhail dengan tegas menolaknya.
Syekh Muhammad Amin Syinqithi (1325-1393 H) menolak pemberian rumah mewah dan tanah yang luas di Kota Thaif dari seseorang, padahal ia orang yang sederhana. Karena uang gaji bulanannya habis untuk keluarga dan murid-muridnya.
Mengapa mereka menolak uang, alasannya karena:
1. Khawatir dunia akan melalaikannya dari akhirat. Mereka sangat faham bahwa dunia itu kemayu, genit dan selalu bersolek menggoda manusia. Bila diikuti sedikit saja, ia akan terus menyeretnya.
2. Mereka khawatir tidak lagi menjadi orang yang merdeka dalam amar makruf nahi mungkar. Sebab orang yang sudah menadahkan tangannya, persendian tangannya jadi ngilu sehingga sulit untuk mencegah pelaku kemungkaran, apalagi menamparnya.
Orang beriman yang punya kekuasaan, baik eksekutif, legislatif atau yudikatif tentu akan takut jika menerima uang dari jin yang biasanya jenis uang haram yang tidak beda jauh dengan uang dari Tuyul.
Namun, karena beriman itu tidak mudah, karena jalannya bisa tergelincir ke radikul, maka agak sulit mencari orang yang beriman dan bertaqwa dengan benar, meskipun setiap shalat jumat di masjid, khatib selalu mengingatkannya.
Harta dan tahta adalah nikmat sekaligus amanat yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram maka nerakalah yang berhak membakarnya.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Sedang terkait dengan jabatan: Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (pejabat)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini (jabatan/kepemimpinan) adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya (benar sesuai aturan), dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).
Uang haram menyebabkan doa tidak dikabul, penyebab hilangnya keberkahan, penyebab kehinaan umat, dan pertanda akan datangnya azab Allah.
Contoh dalam sekala besar tentang hilangnya keberkahan harta adalah bila masyarakat hanya akan memilih calon tertentu dalam pemilu. Pilkada atau pilpres asal calon atau timsesnya memberikan sejumlah uang.
Hilangnya keberkahan buda ditandai dengan uang yang diterimanya cepat habis atau terkadang Allah menghukumnya dengan ditimpa bencana dan malapetaka, seperti banjir, gempa bumi, atau hidup semakin susah, hutang semakin bertambah atau lainnya.
Bisa jadi, teguran Allah berupa penyakit yang diderita si penyuap dan penerima suap. Atau bahkan Allah menghukumnya dengan melihat kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan bagaikan kebenaran.
Firman Allah: “Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka”. (An Nisa: 120)
Semoga Allah menolong kita untuk bisa melihat yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Wallahua’lam bi shawab. []