Cerita Pendek

Penyair yang Dirundung Kesepian

Cerpen Norrahman Alif

BARANGKALI bagi Rudian perihal cinta, pasangan, dan rencana membangun rumah tangga terlalu dini dibicarakan untuk saat ini. Padahal usianya sudah menginjak angka ke 50 tahun. Sementara ia masih tak sama sekali membicarakan calon pendamping hidup apalagi memikirkan rencana untuk menikah.

Mungkin, dalam pikirannya yang ada hanya larik-larik puisi Chairi Anwar yang selalu dibaca setiap saat, dimana ketika imajinasinya sedang buntu untuk menulis puisi. Rudian kita tahu, ia sudah sejak tingkat sekolah dasar menulis puisi. Namun sampai kini masih saja tak memilik buku puisi. Padahal sudah banyak para penerbit; lewat kenalan kawan dari kawannya ingin membantu menerbitkan antologi puisi perdananya. Namun ia menolak dengan alasan masih belum waktunya.

Sudah setahun ini Rudian tinggal bersama kami di rumah Kandang Puisi: saya, Sahni, Tohari dan Tohir yang kerap kali mengawaninya. Dimana kegiatan sehari-hari kami hanya menulis dan membaca buku. Selain itu adalah bersih-bersih dan berjamaah, karena kebutalan rumah kami berhadap-hadapan dengan langgar milik warga.

Namun, dalam setahun Rudian hidup bersama kami –tak sekali-kali ia membuka mulut secara terus-terang walaupun sekadar berbicara soal cinta apalagi mengenai sastra. Mungkin bisa dimaklumi bila ia sudah kurang jeli mendengar. Tetapi kami pun jua lebih memaklumi bila sewaktu-waktu ingin bicara pada kami, apalagi soal dirinya yang sudah lama membisu dalam kelajangannya yang sudah cenderung lama ini.

Akhir-akhir ini, Sahni entah Tohari dan Tohir selalu memantau Rudian, terutama saya sendiri. Karena ia cenderung unik dalam memperlakukan hidupnya. Ia selalu mencari ruang-ruang kesunyian, ketika sewaktu-waktu kami mengadakan diskusi mingguan ataupun sekadar ngobrol soal puisi di rumah ini. Dan, ia tidak sekadar menyia-nyiakan kesunyiannya itu. Sebab di tangannya buku puisi dan novel tak pernah lepas dari genggamannya, bahkan tidurnya pun bersama buku-buku.

Seperti yang pernah kami lihat tempo hari. Sekitar 10 jam lamanya Rudian membaca buku novel The Maze Runner karangan James Dashner di depan teras langgar sendirian. Bahkan bila pantatnya kesemutan, karena terlalu lama duduk membaca buku. Ia pun berdiri, dengan membusungkan dada di bawah terang lampu merkuri, dengan posisi kedua tangan memegang buku. Sementara posisi kepala sambil menunduk dengan sepasang mata menelanjangi kata-kata dari halaman ke halaman dalam bukunya.

Sementara kami yang memandangnya saat itu, sungguh sangat iri hati pada kesemangatannya. Barangkali baginya, foktor usia tidak menjadi kendala untuk tetap semangat dalam membaca dan berkarya. Walaupun saya sendiri sering bertanya-tanya dalam kepala, ketika melihat uban-ubannya mulai mengantikan posisi rambut hitamnya di kepala Rudian. Namun ia masih tetap semangat seperti sediakala sewaktu pertama kalinya kami bertatap muka secara langsung di rumah menulis ini.

Barangkali ia meyakini; bahwa hidup bukan untuk mencari istri, akan tetapi mencari ilmu dan kenikmatan menulis puisi.

Karena Rudian adalah sesosok penulis puisi yang paling tua di rumah ini, walaupun identitasnya masih bersetatus lajang tua. Kami pun selalu menghormatinya, bahkan tiap-tiap ia tak punya uang makan, kami rela sumbangan seribuan untuk sekadar membelikan ia nasi, agar tetap hidup dan rajin menulis puisi bersama kami.

Sebab katanya suatu ketika ditanya mengapa terus menulis puisi. Ia selalu menjawab, kalau puisi tak pernah habis di pelajari dan dituliskan. Ibarat air laut yang tak pernah habis sebagai tinta untuk sekadar menuliskan riwayat kehidupan ini.

***

Ternyata jam sudah menunjukkan pukul 00:02, sementara Rudian pun bangun sebagaimana yang ia lakukan pada setiap malamnya. Setelah mencuci muka, lalu ia pun menatap kami sambil tersenyum pada Aljas, lalu pada saya yang sedang menulis sepintas riwayat hidupnya yang kesepian tanpa kekasih itu.

Beberapa saat, setelah Rudian berdiri sambil mereganggan otot-ototnya yang kaku, sehabis mengumpulkan kekuatan untuk membaca buku atau menulis puisi. Lalu ia pun menjalankan rutinitasnya, sebagaimana di malam-malam sebelumnya. Namun sebelum ia menulis puisi atau mengambil buku yang belum sempat dibaca. Tiba ia duduk di teras depan, seperti patung perenung – sambil menatap kegelapan dengan tatapan mata kosong ke ujung barat yang penuh rerimbunan pohon bambu. Entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini. Atau sekadar mengingat-ingat hasil bacaannya yang ia baca tadi siang.

Tapi ketika diperhatikan dalam dalam, Rudian tidak benar-benar membaca ulang apa yang sudah pernah ia baca sejak tadi siang. Sebab terlihat dari raut wajahnya gelisah, tatapan matanya sendu. Namun masih berusaha tersenyum kepadaku, ketika sesekali kutangkap lirikan matanya.

Apa mungkin, Rudian sedang memikirkan kesepiannya yang terlalu panjang dalam hidupnya yang masih lajang. Namun tak pantas dikatakan belum punya istri, ketika disetarakan dengan kami yang rata-rata masih berusia 19 tahunan ini. Karena kami masih bocah-bocah kencur di mata Rudian, sementara ia sendiri sudah seperti pohon tua yang belum jua berbuah.

Bahkan bilapun bersumpah ditabrak mobil, bahwa dirinya masih lajang di depan kekasihnya. Seandainya Rudian punya pacar yang seumuran dengan kami. Sementara ia berusaha jujur tentang riwayat dirinya yang sudah tidak pantas mengaku lajang. Walau dirinya sejujurnya masih belum menyentuh satu kali pun kulit perempuan.

Mungkin masih membutuhkan waktu yang lama, sekadar untuk membuktikan kejujuran hati Rudian pada kekasihnya. Atau bahkan mungkin, masih membutuhkan riset keberanan. Kalau dirinya benar lajang melalui kedua orang tuanya, ataupun lewat teman-teman dekatnya.

Karena di zaman yang serba kabur mencari kejujuran tunggal ini. Bisa saja kekasihnya berpikiran dengan percaya diri kalau ia sekadar mengaku-ngaku lajang, padahal sudah ribuan kali perempuan ia setubuhi secara jalang.

Tetapi begitulah nasib seorang penyair lajang tua. Walau bagaimana pun, kebanyakan manusia lelaki atau perempuan sama saja di era milenial ini –terlebih dahulu memandang penampilan baru setelah itu kekayaannya.

Sementara Rudian hanya memiliki pengetahuan dan puisi sebagai harta satu-satunya kekayaan yang ia miliki. Selain itu sama seperti kami, hidup luntang-lantung mencari makan dari hasil tulisan bila-bila dimuat di media berhonor.

Lalu setelah lama Rudian bergumul dengan pikiran sendiri di teras depan. Ia tiba-tiba bangkit berjalan dan lalu duduk disebalahku sembari tangannya meraba-raba tasnya. Ternyata ia sejak tadi mencari inpirasi untuk menulis puisi malam ini.

“Sedang nulis apa, Mas?” tanyanya kemudian padaku yang sedang menulis riwayat kelajangannya.

“Ah, ini menulis cerpen, Rudian,” jawabku sambil cengengesan.

Namun, beruntunglah ia tak menanyakan tema apa yang sedang aku tulis ini. Bahkan bilapun bertanya seperti itu, aku masih punya alasan untuk berbohong. Sementara yang aku takutkan, bila-bila ia ingin membacanya. Karena nama Rudian yang kujadikan tokoh utama dalam cerpen ini adalah nama aslinya.

Setelah beberapa patah kata, Rudian lontarkan walau sekadar basa-basi agar tidak terlihat resah di depanku. Akhirnya, ia pun membuka leptopnya lalu menyalakannya. Dan kebiasaan yang sangat asing dari Rudian ini ketika memulai menulis kata pertama dalam puisinya. Ia berdiam terlebih dahulu menatap layar, atau sesekali matanya menatap liar ke segala arah. Dan yang unik dari Rudian adalah dahinya yang berkernyit-kernyit, sambil tersenyum tipis menatap langit-langit – seakan sedang berbicara dengan lamunannya sendiri.

Tak lama kemudian, pandangan mata Rudian tertuju ke microsoft word yang masih putih tanpa kotoran imajinasi pada layar leptopnya. Sementara jari-jarinya, bergerak-gerak di atas keiboary –seakan mengambil ancang-ancang untuk menulis sesuatu. Lalu pada menit ke tiga, terdengarlah suara-suara ketikan mengisi kekosongan waktu dari jari-jari tangan Rudian disampingku menulis puisi dengan raut muka serius. []

Kutub, 2019

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top