Keluarga Karjono
Cerpen Mahan Jamil Hudani
BAPAK Karjono adalah seorang guru yang tinggal di kampung sebelah barat laut kampungku. Ia adalah lelaki tua yang begitu sangat sederhana. Perawakan Pak Karjono biasa saja untuk tidak mengatakan kecil. Bagi banyak orang mungkin lelaki tua beranak empat yang kesemuanya adalah perempuan itu biasa saja, tak ada yang istimewa, tapi bagiku dia memiliki keistimewaan tersendiri.
Aku sebenarnya tak mengenal secara pribadi lelaki itu meski tentulah aku memiliki memori dan sepotong rekaman kisah tersendiri tentangnya. Aku tiba-tiba teringat kembali pada Pak Karjono karena beberapa hari lalu aku duduk satu bus dengan istri beliau dan banyak berbincang selama berjam-jam.
Liburan akhir tahun ini aku pulang kampung selama enam hari. Aku naik bus langsung dari Jakarta menuju kampungku. Dulu tak ada bus langsung menuju kampung kami, baru beberapa tahun ini ada bus pulang pergi dari kampungku menuju Jakarta dan sebaliknya meski tak setiap hari. Hanya ada satu bus dengan rute itu. Bus itu milik pak Idrus, seorang kaya di kampung kami. Butuh waktu sekitar 14 jam dari Jakarta untuk sampai kampungku. Nah, tentulah aku memiliki kesempatan panjang berbincang dengan Ibu Karjono selama dalam perjalanan karena perempuan yang sangat ramah itu duduk bersebelahan denganku. Bu Karjono bercerita jika ia baru saja menengok anaknya yang bernama Widya Ningsih yang tinggal dan bekerja di Jakarta. Seingatku Widya seusia denganku. Hanya saja sejak lulus SD, aku melanjutkan SMP hingga bangku perguruan tinggi di kota. Waktu duduk di bangku SD pun aku tak satu sekolah dengan Widya, cuma kami sering bertemu di pasar meski kami tak saling ngobrol jika bertemu. \
Pada awalnya tentulah aku tak begitu paham dengan Ibu Karjono. Memoriku tentangnya hanya sebatas saat aku duduk di SD. Aku sering melihat Ibu Karjono berboncengan sepeda motor dengan suaminya melintasi jalanan kampung kami. Keramahan sikap Bu Karjono dari mulai pertama ia duduk di bus membuat suasana menjadi sangat cair..
***
Dua puluh lima tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SD kampungku, aku sering melihat seorang lelaki berkaca mata tebal dengan istrinya melintas jalan kampungku. Sepeda motor bebek tua berwarna hijau itu begitu akrab di mataku. Lelaki berkaca mata dengan dandanan selalu rapi itu yang kemudian kuketahui bernama Bapak Karjono mengendarai sepeda motor tuanya dengan sangat hati-hati. Aku dan teman-teman sering menertawakan sepeda motor Bapak Karjono.
“Wah, kalau aku sih lebih suka naik gerobak daripada naik sepeda motor bebek tua Pak Karjono,” kata Ardiman temanku. Ia yang biasanya memulai topik pembicaraan.
“Haha…masih kencang lari gerobak sapinya Wiji atau Lek Slamet ya, Man,” timpal Johari.
“Eh jangan salah, biar motor tua, tapi itu tak pernah mogok. Cuma tidak bisa lari cepat saja,” kataku. Kami lalu tertawa terbahak bersama sehabis Pak Karjono melintas di kampung kami. Kadang Pak Karjono berkendara sendiri, tetapi paling sering ia bersama istrinya, terkadang juga bersama putri-putrinya bersempit-sempitan dengan motor tuanya.
“Iya ya, kenapa Pak Karjono tidak ganti motor. Motor tua seperti itu seharusnya sudah masuk museum,” tambah Ardiman yang membuat kami kembali terbahak.
Setiap Pak Karjono melintas di kampung kami, kami sering menertawakannya. Mula-mula hanya menertawakan sepeda motornya, lama kelamaan kami menertawakan kacamata tebalnya, mengolok-olok rumahnya yang sederhana dan kecil yang dindingnya terbuat dari papan hingga membicarakan empat anak perempuannya yang manis-manis.
Aku pernah bertanya pada ayah dan ibuku kenapa sering sekali Pak Karjono melintas jalanan kampung kami. Jawaban ayah dan ibuku waktu itu tak begitu menarik perhatianku. Tapi beberapa tahun kemudian, jawaban itu menjadi sesuatu yang sangat mengusik dan menjadi sesuatu yang istimewa dari seorang Pak Karjono di mataku. Ayah dan ibuku bercerita jika pak Karjono akan selalu datang pada setiap orang yang mengadakan hajatan baik khitanan atau pernikahan. Pak Karjono dan istrinya akan datang apakah mereka diundang ataupun tak diundang. Bahkan pak Karjono akan datang juga meski mereka yang punya hajat itu berasal dari kampung-kampung di bagian atas desaku. Ada banyak desa di atas sana, pantaslah Pak Karjono sering melintas kampung kami dengan sepeda motor bebek tua warna hijaunya yang setia. Masih kata ibu dan ayahku, Pak Karjono juga akan melayat orang-orang yang meninggal di kampungku dan kampung sekitar.
Begitu juga saat kutanya pada ayah dan ibuku kenapa Pak Karjono tidak mau mengganti sepeda motornya dengan yang baru. Kini aku menyadari sepenuhnya jawaban ayah dan ibuku. Butuh waktu lama bagi guru honorer untuk menjadi seorang PNS. Gaji PNS ketika itupun tak begitu besar. Tentulah dalam bayanganku Pak Karjono hidup dalam kesederhanaan terlebih dengan membiayai beberapa anak yang masih bersekolah. Sangat berat jika harus membeli sepeda motor baru.
***
Sekitar lima belas tahun yang lalu, saat aku telah duduk di bangku perguruan tinggi, aku ingat jika di rumah Pak Karjono ada hajatan. Anak perempuan pertama Pak Karjono menikah. Aku lupa namanya, yang kutahu jika dia adalah kakaknya Widya Ningsih. Orang tuaku datang ke sana memenuhi undangan. Aku juga datang untuk menonton hiburan. Biasanya di kampungku jika ada orang hajatan, mereka mengadakan hiburan seperti organ tunggal atau dangdutan atau terkadang layar tancap.
Aku melihat dangdutan itu dari kejauhan saja. Aku bahkan tak bisa melihat rumah Pak Karjono yang tertutup oleh panggung dan para penonton yang berjejal serta tenda-tenda pedagang yang berjajar sepanjang jalan. Tentu pula aku tak bisa melihat wajah Bapak dan Ibu Karjono. Kusaksikan sendiri jalanan begitu ramai di depan hingga beberapa rumah di sekitar Pak Karjono. Aku belum pernah menyaksikan pesta pernikahan yang begitu ramai di kampungku seperti itu. Serasa pernikahan itu dilakukan oleh seorang pejabat ternama. Aku jadi ingat ucapan ayah dan ibuku dulu bahwa pak Karjono dan istri adalah orang yang sangat rajin menghadiri orang-orang kampung yang punya hajatan. Sangat wajar jika pada pesta di rumah Pak Karjono banyak sekali orang datang hingga dari kampung-kampung lain.
***
Perjalananku kembali ke Jakarta kali ini dipenuhi dengan kehangatan dan keramahan keluarga Pak Karjono. Sejak bertemu Bu Karjono di bus ini tempo hari, beliau mengundangku untuk berkunjung ke rumahnya. Pada awalnya aku ragu tapi Ibu Karjono tak sedang berbasa-basi ketika itu. Aku melihat keramahan dan keseriusan di wajahnya. Itulah mengapa kemarin kuputuskan datang mengunjungi mereka.
Rumah mereka telah berubah. Rumah itu kini lebih besar dan indah tak lagi seperti dulu saat aku, Ardiman, dan teman-temanku sering mengolok-oloknya. Bapak dan Ibu Karjono sangat ramah menyambutku. Kami berbincang hampir seharian. Aku tak menjumpai anak-anak Pak Karjono, mereka telah menikah semua dan mengikuti suami-suami mereka. Tentu banyak hal yang saling kami ceritakan. Satu yang membuatku takjub adalah sepeda motor bebek tua hijau yang sering kusaksikan seperempat abad lalu itu masih bertahan dan terawat. Pak Karjono masih sangat rajin mengurusi sepeda motor itu meski kulihat ia dan keluarganya tentu jauh lebih baik dalam hal ekonomi. Keluarga itu kini telah mapan. Pak Karjono meski telah pensiun dari PNS, ia mampu membangun rumah dan membeli mobil baru dan anak-anaknya relatif sukses bekerja di Jakarta tapi lelaki rapi berkacamata tebal itu tetap setia dengan sepeda motor tua itu.
Sepeda motor itu masih sehat kawan. Kemarin Pak Karjono mengajakku ke kebunnya yang sangat luas. Ia mengisi masa pensiun dengan bertani dan berkebun. Kami memetik mangga. Pak Karjono memberi oleh-oleh mangga yang cukup banyak untuk ayah dan ibuku juga buat kubawa ke kota. Ya..kawan, kebun Pak Karjono sangat luas, itu yang membuatnya cukup mapan selain ia juga mendapat tunjangan sebagai seorang pensiunan PNS, meski tentulah jumlah uang yang ia terima tak terlalu besar. Dari kebun itulah ia bisa menata hidup keluarga dan anak-anaknya secara perlahan tapi pasti dengan ketekunan, keuletan yang tinggi dan kerja keras. Kawan, kau mungkin menduga-duga kenapa pak Karjono bisa mempunyai kebun dan sawah seluas itu. Aku tahu karena beliau telah bercerita padaku. Tentu ia tak membeli kebun seluas itu sekaligus, tetapi ia membelinya secara bertahap. Kuharap kau tak memiliki pikiran macam-macam, semua butuh proses dan perjuangan. Biar sedikit kuberitahu padamu kawan, semua bermula dari lima belas tahun lalu, saat beliau menikahkan anak perempuan sulungnya dan tamu yang datang begitu ramai. Lima belas tahun lalu itupun dimulai dari belasan tahun sebelumnya saat pak Karjono rajin datang ke hajatan-hajatan orang kampung, saat aku dan teman-teman sering mengolok beliau dan keluarganya ketika melintas berkendara dengan sepeda motor bebek tua hijau yang larinya masih kalah dengan gerobak sapi milik Wiji dan Lek Slamet. []