Mitos Sampah
Cerpen Tri Jazilatul Khasanah
AKU kembali ke kampung kelahiranku, setelah tujuh tahun melanglang buana. Sepertinya belum banyak yang berubah darinya. Tanah lembab dan pohon-pohon menjulang dengan tatanan halaman yang asri. Kuhirup sepoi udara pagi yang menyegarkan paru-paruku.
Masih agak aneh rasanya untuk keluar rumah, tapi suasana seperti inilah yang kurindukan. Kuayunkan sapu lidi untuk mengumpulkan daun-daun berguguran di halaman. Sembari menunggu puluhan bebek diarak oleh sang penggembala lewat depan rumahku. Para petani berangkat ke sawah dengan onthelnya pada pagi masih berkabut.
Kembali kuhirup udara pagi, kunikmati sepenuh hati. Emak muncul dari dalam rumah, hendak membeli bahan masakan di mlijo (pedagang sayur).
“Nduk, kenapa melamun?” tanya Emak sekenanya.
“Oh nggak, Mak. Mata rasanya masih digelayuti kantuk saja.”
“Hem … ya sana lekas mandi biar nggak ngantuk. Anak perawannya emak, yang emak andalkan, jangan malas-malasan lo, ya.”
“Mak-mak, ya nggak malas to, tadi malam saja aku lembur bikin materi untuk sosialisasi besok ke balai desa.”
“Lho jadi to, Nduk? Kamu yakin?”
“Ya, jadilah, Mak. Yakin-yakin saja, Mak,” jawabku sembari membenarkan posisi batangan sapu lidi yang semerawut.
Begitulah percakapan pagi ini dengan Emak tentang huru-hara di kampung kami dalam setahun ini. Aku bergegas menyelesaikan bersih-bersih halaman. Lanjut membantu Emak di dapur menyiapkan sarapan. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul enam. Ketika hendak menaruh lauk di meja makan, mataku tertuju pada dua jendela samping rumah. Kuhampiri sembari mengamati sekeliling.
“Pohon-pohon sebelah jadi ditebang ya, Mak?” Tanyaku pada Emak yang sedang focus menumis sayur.
“Ya jadi to, Nduk. Paling sebentar lagi para tukang datang bawa gergaji mesin. Kenapa emang?”
“Ndak apa-apa, Mak,” jawabku enteng.
Benar saja. Beberapa jam kemudian suara deru gergaji mesin bergemuruh. Satu persatu pohon pun tumbang. Seakan apa yang dikhawatirkan Bapak di masa silam terjadi juga.
***
Entah kenapa hari ini aku malas sekali untuk pergi keluar. Rasanya ingin menikmati hidup tanpa beban. Rebahan atau duduk santai sambil membaca berita hari ini dan menikmati teh melati. Baru saja kunyalakan televisi, dan berita hari ini membuatku tercengang.
Banjir bandang menerjang beberapa daerah di Jawa Timur.
“Allahu Rabbi. Berita apa lagi ini? Baru saja kemarin Jakarta, Banten, dan Jawa Barat tenggelam,” batinku.
Aku melanjutkan menyimak berita pagi ini. Terlihat di layar televisi, penyebab banjir bandang. Banjir yang diduga berasal dari kawasan hutan lindung Gunung Suket dikarenakan kondisi tegakan di hutan lindung tersebut tidak rapat, bahkan didominasi oleh alang-alang. Hal itu terjadi karena insiden kebaran yang hampir merenggut 60 hektar hutan dari 75 hektar di tahun 2019 silam.
Faktor lain terjadinya banjir tersebut tidak lepas dari intensitas curah hujan yang tinggi, yang mengguyur kawasan Gunung Suket. Debit air tidak mampu ditampung oleh saluran irigasi yang memang lebarnya tidak memadai, sehingga air meluap hebat.
Aku berusaha merenungi. Kuselipkan pertanyaan di kepala. “Apa inikah yang disebut kehidupan akhir zaman dengan bencana di mana-mana akibat ulah manusia?”
“Nduk, sini cepetan!” Suara lengkingan yang tak lain suara emak membuyarkan lamunanku. Aku bergegas menghampirinya. Aku tak mau dianggap anak durhaka. Begitulah Emak, sekali panggil harus segera datang.
“Ada apa to, Mak?” Tanyaku sembari mendekati Emak yang sedang selonjoran di bangku bambu panjang. Terlihat emak sedang asyik menghaluskan ijuk yang sudah terpisah dari daunnya.
“Bantu Emak sini daripada nonton tivi.”
Sudah kuduga. Itu artinya Emak sedang ingin mengajakku berbicara empat mata.
“Iya deh, Mak.” Aku pun akhirnya memosisikan diri seperti emak. Duduk berselonjor meluruskan kedua kaki. Dan tangan pun mulai cekatan memisahkan daun dengan ijuknya.
“Nduk, besok jadi pengarahan?” Tanya emak dengan raut serius.
“Insyaallah, jadi, Mak.”
“Kamu yakin?”
“Hem … ditanya gini lagi. Aku sudah mantap menjadi pegiat lingkungan, Mak.”
Tiba-tiba Emak terlihat khawatir.
“Tenang saja, Mak. Aku melakukan sosialisasi tak lain dan tak bukan hanya untuk kebaikan bersama. Untuk masa depan juga. Yaah … meski rasanya berat untuk mengubah pola pikir masyarakat. Tidak mudah, Mak, tapi aku ingat pesan Bapak untuk terus membuka jalan pikiran masyarakat apalagi yang berhubungan dengan lingkungan.”
Emak menyimak dengan saksama.
“Emak nggak mau, kan, tiap hari dikirimi sampah di depan jalan, hanya karena enggan membakarnya karena takut kualat. Coba Emak lihat berita banjir yang menimpa Jakarta dan sekitarnya. Apa coba yang ditemui kalau bukan sampah-sampah dari rumah tangga. Selain itu, ruang terbuka hijau seakin terbatas. Tanah telah tertutup semen. Lah, ke mana terus larinya air kalau begitu. Kita perlu introspeksi diri, Mak.”
Emak mulai mencerna apa yang kukatakan, dan aku terus meluapkan segala isi hati.
“Coba lihat desa kita sekarang, Mak. Lahan sebelah akan berubah jadi gedung. Jalan depan rumah pun akan segera diaspal. Lantas, kemana air hujan akan melarikan diri, jika tidak mampu terserap ke tanah? Ditambah sampa-sampah yang dengan seenaknya saja dilempar ke kali. Huuf …,” kuhela napas panjang.
“Lakukanlah jika pengarahan itu akan berdampak baik, Nduk. Emak cuman bisa mendukung.”
“Ya, Mak, terima kasih, Mak.”
***
Matahari telah purna menghangatkan bumi. Cakrawala berhias parade senja. Aku bergegas menyucikan diri. Azan magrib pun lekas berkumandang. Setelah menunaikan sholat berjamaah dengan Emak, aku langsung menyepi di kamar. Rasanya rindu untuk tunduk pada Illahi sembari menumpahkan segala isi hati. Mempersiapkan diri untuk sosialisasi esok hari.
“Allahu Rabbi, mudahkanlah urusanku besok.”
Aku membuka lembaran kitab suci sejenak, sembari merenungi ayat-ayat-Nya hingga mataku terhenti pada sebuah pemaknaan yang begitu menampar.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” [ar-Rûm/30:41]
“Astaghfirullahaladzim. Ya Rabb, ampunilah kami yang masih saja membuat kerusakan di atas bumi, yang telah Engkau titipkan kepada Kami.”
Hari telah berganti lagi. Aku menutup Al-Qur’an sembari melanjutkan zikir pagi sebagai doa perlindungan. Setelahnya mempersiapkan diri untuk sosialisasi di balai desa.
“Sarapan dulu, Nduk,” seru Emak dari dapur.
“Iya, Mak.”
Energiku bertambah setelah menyantap masakan Emak. Aku pun pamit sembari meminta doa restu. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku tak mau terlambat.
***
Rasa berdebar, tapi langkahku tetap maju pasti. Terlihat para pegawai kantor desa sudah berdatangan. Para warga juga memenuhi kursi yang tersedia di barisan depan. Ada juga wartawan yang meliput. Tak ketinggalan, Emak pun datang, sembari menatapku memberi sinyal bahwa semua akan baik-baik saja.
Bismillah. Sembari kutarik napas panjang. Kuambil mikrofon dan kumulai pembicaraan hingga menuju inti dari sosialisasi.
“Jadi begini, Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Kita tahu bahwa di zaman modern ini semua serbamudah. Barang-barang juga mudah didapat di pasar, toko, dan swalayan. Tapi kemudahan-kemudahan itu juga menyisakan masalah. Seperti sampah plastik, bungkus jajan, pembalut, dan popok. Jika kita tidak mampu mengolahnya, maka kita harus memusnahkannya. Lebih mudahnya dengan cara dibakar.”
“Dibakar!” Tiba-tiba suara riuh warga mulai tampak.
“Apa kamu tidak takut kualat? Kalau sampah plastik tidak masalah. Tapi jangan sampai berani membakar barang yang pernah melekat di tubuh kita. Bisa kualat!” Sanggah yang lain.
Aku tahu sosialisai ini akan menimbulkan kontroversi. Kucoba memainkan logika dengan melemparkan pertanyaan kepada mereka.
“Lantas, jika tidak dibakar, mau dikemanakan sampah itu?”
“Buang saja ke kali!” Sanggah Bapak berkumis tebal dengan sebatang rokok di mulutnya.
Aku mulai geram. “Ke kali? Apa Bapak-bapak dan Ibu-ibu tidak mengamati berita tentang kejadian banjir yang sering terjadi? Coba kenali penyebabnya. Ya, salah satunya adalah sampah yang dibuang ke kali. Kali yang seharusnya menjadi aliran air ke laut, menjadi tersumbat gara-gara sampah. Saat hujan, kali tidak mampu menampung besarnya aliran air.”
Mereka mulai memahami. Aku pun melanjutkan.
“Pak, Bu, soal kualat itu cuma mitos. Apakah Bapak-Ibu sudah melihat faktanya? Apa perlu Allah mengirim banjir beserta penyakit? Pak, Bu, sampah yang tidak dikelola dengan baik, juga menyebabkan tumbulnya penyakit lo!”
Mereka mulai mencerna sugestiku. Karena nyatanya mereka hanya ter-mindset oleh masa lalu tanpa membuktikan keilmiahannya. Tanpa memilih dan memilah mana yang benar. Mayoritas warga setuju, meskipun ada yang masih belum legowo.
“Alhamdulillah, terima kasih, Ya Rabb,” lirihku. Hasil sosialisasi kemarin telah diliput media massa. Sebuah kejutan, sepekan dari sosialisasi waktu itu, datang seorang pengusaha ke desa kami. Ia hendak membantu warga dengan medirikan bank sampah. Aku bersyukur orang-orang tersadar dari mitos sampah.[]