Human

Di Ulegan Sambal, Cinta Kami Bersemi Kala Nyambai dan Rambak Bura

Prosesi perkawinan adat Lampung Saibatin di Banjarmasin, Gunungsugeh, Liwa, Lampung Barat. | Ist

“Kami tidak punya aplikasi kencan, tapi hafal siapa saja yang datang.”

“Kami tak tahu algoritma, tapi tahu betul siapa yang sedang berasan.”

“Dan ya, kami jatuh cinta… di sela ulegan sambal dan suara terbangan dan cetong tetawak (gong).”

DI ZAMAN ketika cinta tumbuh dari tatapan diam di balik panci dan suara pantun yang saling sindir, ada satu panggung utama bagi muli-meranai (gadis-jejaka): nayuh. Hajatan pernikahan yang dulu bukan hanya soal pesta, melainkan ajang belajar hidup, menumbuhkan rasa, bahkan kadang menumbuhkan cinta. Kami menyebutnya dapur hajatan. Tempat suara piring dan sendok lebih romantis dari notifikasi ponsel.

Sekira dua minggu sebelum Hari H, muli-meranai baya—anak-anak muda dari keluarga satu kampung—sudah datang. Bukan untuk ikut pesta, melainkan ikut repot. Mereka berkumpul dalam sebuah himpun, musyawarah kecil yang dipimpin seorang batin dari keluarga tuan rumah.

Di sana dibahas skenario acara nayuh yang akan di helat, apa saja yang di butuhkan, apa yang kurang. Kapan waktunya nyani buwak (membuat kue): buwak tat, cucor, kumbang Loyang, dll. Kapan bikin kelapa goreng, kapan mulai buinjaman (pinjam-meminjam), mulai dari tikar, panci hingga garam dapur. Siapa yang pinjam ke siapa, kapan nyabut toge (panen tauge), tandang ke hutan, belangok (menangkap ikan di sawah), dan siapa yang ikut.

Semua dibahas rinci. Tapi, tetap saja, dalam setiap rapat itu ada yang diam-diam saling lirik. Biasanya si muli yang lihai memotong daun pisang atau si meranai yang bicaranya pelan, tetapi bisa menyusun jadwal masak tanpa lihat catatan. Manusia memang suka pada yang teratur.

Setelah himpun, pada waktu yang telah ditentukan tibalah waktunya muli-meranai baya membuat buwak tat, cucor, kumbang luyang, dll, nyabut tobe, membuat kelapa goreng, mengikis kentang, dan sebagian yang lain berburu bahan. Kami menyebutnya tandang. Berangkat ke ladang, kebun, bahkan hutan. Mencari serai, lengkuas, daun salam, daun pisang, dan kadang labu atau singkong. Di situlah biasanya perkenalan dimulai. Tidak ada “hai” ala media sosial. Yang ada: “Aku yang bawa parang, kamu yang pegang karung, ya?” Begitu saja sudah cukup untuk membangun kepercayaan awal.

Sehari sebelum Hari H, datanglah muli-meranai walian–kerabat dari pihak ibu pengantin lebu daleh kelama, dan kori–tamu undangan adat dari luar kampung. Khusus walian, biasanya ditempatkan di tempat khusus dan mendapat perlakukan agak khusus pula.

Ketika semua bahan sudah terkumpul, dimulailah proses yang disebut rambak bura. Mengiris, menggiling, dan menyiapkan semua bumbu. Pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh kori, tamu kehormatan, yang diam-diam paling kuat motong bawang tanpa nangis. Walian duduk menemani sambil ngobrol dan sesekali ikut ngulek.

Sementara baya, tim rumah, bertugas menyediakan alat. Yang menarik, saat rambak bura, meranai-meranai mulai nyambai—berbalas pantun, kadang asal, kadang lucu, kadang gombal tipis. Ada gong/tetawak, ada terbangan, dan ada getar-getar rasa yang tak bisa dijelaskan. Lucunya, ada juga meranai jebus—datang tanpa surat, tapi rajin bantu dan paling aktif nyambung obrolan. Mungkin itu definisi cinta tanpa undangan.

Malam pun tiba. Nyambai jadi agenda utama. Yang tadi mengiris bumbu, kini duduk bersila. Tarian, pantun, dan suara tawa bersahut-sahutan. Saling sindir, saling goda, kadang ada yang pura-pura tidak bisa pantun, padahal hafal sampai tiga bait. Tapi begitulah, di sana, cinta tak langsung tunjuk tangan. Ia lewat suara. Lewat kata-kata yang dilempar seperti main kelereng, siapa tahu nyangkut di hati lawan main.

Tepat tengah malam, saat pantun mulai kehabisan rima, dapur kembali hidup. Makanan ringan dikeluarkan: nasi goreng, kopi kental, cucur, kumbang luyang, dan buak tat. Istirahat sambil mengganjal perut. Tapi hati tetap jalan. Setelah itu, nyambai berlanjut. Yang tadi hanya saling lirik, mulai saling sapa. Yang sebelumnya hanya rekan motong daun pepaya, kini mulai bertukar cerita masa kecil.

Sekitar pukul tiga pagi, saat ayam belum sempat bangun, giliran parut kelapa. Ngecil—memeras santan. Bukan cuma kelapa yang diperas, tapi juga perasaan yang mulai tumpah lewat tawa kecil. Di sinilah biasanya bekhasan—pendekatan pelan-pelan—berlangsung paling lancar. Tak ada musik, tak ada lilin. Hanya santan, tangan basah, dan tatapan yang pelan tapi jelas.

Menjelang subuh, para muli-meranai mulai memasak. Dipimpin juragan, seperti kepala koki di restoran mahal. Masakan-masakan mulai menguap ke udara, mencampur aroma rempah dan perasaan. Semua bergerak cepat. Karena tepat pukul sembilan pagi, semuanya harus selesai. Para jebus mulai pamit. Tapi yang hatinya masih menggantung biasanya tetap tinggal, menunggu acara adat—siapa tahu, dapat restu sebelum acara beharak.

Setelah arak-arakan dan pemberian gelar adat (butetah), semua duduk makan bersama dalam acara pangan. Makanan yang tadi diolah ramai-ramai, kini disantap pelan-pelan. Yang dulunya saling bantu potong daging, kini duduk satu piring. Ada yang saling curi pandang. Kalau kata orang tua: “Kalau sudah makan bareng, tinggal bawa ke rumah saja.”

Besok paginya, muli-meranai baya kembali ambil tugas: bebasuhan. Mencuci piring, perabot, dan alat-alat pinjaman. Setelah bersih, mereka keliling kampung, mengantar kembali apa yang dipinjam. Tapi sebelum bubar, dilakukan pelaporan ke batin—si pemimpin awal. Disampaikan alat apa saja yang dipakai, rusak atau tidak, dan kalau rusak, bagaimana gantinya.

Transparan, jelas, dan penuh tanggung jawab. Biasanya, batin hanya mengangguk sambil berkata, “Terima kasih. Kalian sudah membantu, sudah menjalankan amanah.” Dan, pada momen itu, meski lelah, semua merasa bangga. Ada yang diam-diam menyeka peluh, dan ada juga yang diam-diam menyimpan satu nama di dalam hati.

Sekarang, semua terasa jauh. Generasi baru lebih kenal kamera dari pada alat parut. Mereka lebih suka membagikan senyum di layar ketimbang di dapur. Tak banyak lagi yang tahu rasanya jatuh cinta lewat ulegan sambal. Padahal di situ ada proses, ada gotong-royong, ada kerjasama, dan ada hikmah yang sulit diajarkan di kelas mana pun.

Kami bukan hanya belajar masak. Kami belajar hidup. Kami belajar bertanggung jawab, belajar berkata baik lewat pantun, belajar bekerja dalam sistem, dan diam-diam belajar mencintai dengan cara yang sangat sederhana.

Hari ini, mungkin rambut kami sudah diselingi uban. Tapi setiap kali mencium aroma santan yang dimasak dengan daun salam, atau dengar suara terbangan, kami serasa kembali ke masa itu. Masa di kala cinta itu tak perlu janji, cukup hadir dan ikut nyambai.

Jadi kalau suatu hari kamu diajak ke nayuh, jangan tanya: “WiFi-nya kencang nggak?” Tanyalah: “Saya bantu bagian mana, dan siapa yang di situ?” []

——————-
Ali Rukman — yang rindu bau bawang dan suara nyambai, praktisi pemberdayaan masyarakat, tinggal di Bandar Lampung. Penulis buku Saya Belajar dari Sini: Pengalaman Mendampingi Masyarakat Lampung Barat (2015).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top